Minggu, 08 Agustus 2010

Mozaik 6 GONTORT AT MORNING Pagi yang menakjubkan

GONTORT AT MORNING

Pagi yang menakjubkan

Pagi ini cerah, matahari menyembul perlahan, malu-malu, semburatnya menghiasi kanvas indah di ufuk timur, aku menatapnya dari lantai dua “rumah VIP” rumah menginap yang diperuntukan bagi tamu yang berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG)

“Akh memang benar-benar kelas vip, kamar yang nyaman, makanan yang lezat, beginilah enaknya menjadi tamu “kehormatan” PMDG, diperlakukan istimewa bak raja” gumamku memuji

“sayang kiranya jika pada kunjunganku kali ini aku hanya mematung disini” lanjutku.

Karenanya aku segera bergegas, ingin rasanya mengitari, menyambangi setiap sudut pondok merasakan atmosfir khas pesantren.

Kini aku telah besiap siaga mengayuh sepeda, sepeda yang aku pinjam dari Qismu Dhiyafah[1].

Aku mengayuh sepeda ke arah selatan, tujuan pertamaku gedung Darul Hijrah yang legendaris itu. Tepat di jalan depan gedung indonesia 3 aku berpapasan dengan sebuah sepeda kumbang. Sepeda unik yang merupakan kendaraan operasional qismul amni. Sepeda yang kunaiki jelas lebih modern-modis dari sepeda kumbang itu, tapi soal pamor dan wibawa sepeda ini kalah jauh. Tahu kenapa? Karena ternyata kehadiran sepeda kumbang itu lebih menakutkan santri, ah bukan sepedannya sebenarnya, tapi pengemudinya : Qismul Amni-bagian keamannan, sang katalisator keamanaan dan disiplin pondok. Tatapan matanya tajam, telunjuk tangannya penge-jewantahan perintah, dialah fist enemy santri. Lebih parannya lagi, qismul amni bukan seorang melainkan sepuluh.

Ah terlalu berlebihan kirannya deskripsiku tadi, padahal sebenarnnya qismul amni tak seseram itu, perananya sangat penting bagi keberlangsungan disiplin pondok. Pekerjaannya pun siulit sebenarnya, bayangkan sepuluh orang pengurus bagian keamanan mengatur disiplin 3000 lebih santri, berat bukan? Bagaimana caranya? Nantilah aku ceritakan.

Setelah melewati gedung indonesia baru, berturut-turut gedung wisma hadi, koperasi pelajar, gedung tunis dan masjid jamie kemudian aku membelokan sepedaku ke arah kanan, 100 meter didepanku berdiri megah gedung Darul Hijrah, gedung yang melegenda -setidaknya menurutku.

Aku berhenti cukup lama, menatap mesra gedung asrama 2 lantai bercat hijau muda ini. Beberapa santri memperhatikannku, tapi kebanyakan tak peduli, maklum saja, mereka terbiasa “dikunjungi-ditatapi” para tetamu bahkan hampir setiap hari.

Terlebih mereka tak punya cukup waktu untuk sekedar memelototi tetamu, mereka tengah sibuk bersiap masuk kelas, ada yang sedang memakai sepatu, beberapa lainnya lari terbirit masuk kamar dengan gayung di tangan, sepertinya mereka baru selesai mandi.

Waktu menunjukan pukul setengah tujuh pagi, aku memutar haluan, tujuanku selanjutnya gedung alighart, sebuah asrama berbentuk huruf U yang diperuntukan bagi santri baru, setelah puas menatap, aku melanjutkan kayuhan ke timur, tujuanku selanjutnya sama seperti kebanyakan santri yang berjalan kaki, yakni gedung saudi, tempat ruang-ruang kelas berada.

Kini aku melintas di jalan samping rumah K.H syukri zarkasyi, para santri semakin banyak berdatangan bergerombol dengan langkah cepat.

Mendekati gedung saudi suasana semakin ramai, dari arah barat kembali banyak santri berdatangan, mereka berjalan tergesa, bahkan tak sedikit yang berlari sambil membetulkan retsletting, kancing baju, dan memasang sabuk. Kau tahu mengapa mereka tergesa? Jawabannya ada pada jam dinding yang terpampang di kantor KMI, jarum jam menunjukan waktu pukul 06.59, satu menit lagi jam pelajaran pertama dimulai. Para asatidz telah bersiaga di depan kelas, bahkan sejak lima menit sebelumnya, bersiap menghukum santri yang terlambat. Kau tahu apa hukuman bagi santri yang terlambat? Hukumannya adalah si santri wajib berdiri mematung di depan kelas sampai jam pelajaran usai, kalau tidak harus meminta maaf di depan santri di sepuluh ruang kelas, dan yang paling dihindari adalah hukuman meminta tanda tangan riayah[2]-the father of fist enemy.

Semenit berlalu, kegaduhan berkurang, dan tepat pukul 07.00 lonceng berdentang keras “teng-teng…teng-teng…teng-teng” memekakan telinga, demi mendengar dentangan lonceng itu tiba-tiba aku kebas, alam bawah sadar membawaku menyusuri waktu, menerabas masa, mengangkat anganku terbang menuju suatu pagi yang menakjubkan, 14 tahun silam.

Rukre, pagi-siang 04/08/10



[1] Bagiaan penerimaan tamu

[2] Bagian Pengasuhan Santri

Meski Hanya Seminggu

Meski Hanya Seminggu -
Penulis : Novita Sekar Arum Sari

Bagaimanakah perasaan seorang anak 10 tahun tinggal sindiri dirumah dan hanya ditemani pembantu, orang tuanya sibuk bekerja di luar kota? bagaimana pula rasanya jika sahabat dekat, pergi meninggalkan kita? Silakan simak di cerpen yang ditulis oleh penulisnya saat masih duduk di kelas VII SMP . berikut cuplikannya:


Tiga hari lamanya aku hanya bisa terbaring lemah di ranjang putih. Hari ketiga aku merasa agak mendingan aku meminta bunda mengantarku berkeliling rumah sakit dengan kursi roda. Beliau membawaku ke taman rumah sakit. Aku bertanya tentang ayah yang hanya menjengukku sebentar pagi tadi. Seperti aku duga jawaban bunda tetap sama-ayah sibuk.
***
Aku tergopoh mendekati iqbal “ya iqbal ada apa?”
“tolong sampaikan pada orang tuaku, aku…..aku… sayang mereka”
“ya iqbal akan kusampaikan”
“bertahanlah iqbal, bertahan!”
Iqbal tak menjawab, ia terdiam. Kuteliti denyut nadinya. Masih berdetak..
“iqbal!!! ”Tanpa kusadari mataku meneteskan air mata. “Iqbal bangun…!!
Ayo kita pulang,” dia tetap tidak menjawab.
Iqbal tak sadarkan diri.. Aku hanya bisa menangis di pangkuannya.



Masih ada beberapa cerpen lainnya, penasaran? Semuanya ada di antologi cerpen komunitas pena santri, segera diedarkan, insyaAllah

Sabtu, 07 Agustus 2010

Mozaik 5 ….. judulnya apa ya???

Siang begitu terik udara panas menyeruak, mengalirkan penuh-keringat, matahari sudah agak condong ke barat namun sinarnya masih membara, udara sumpek dikawani polusi.
Keadaan itu tak menyurutkan langkah pemberani untuk berjuang, tak mengurangkan niatan mulia para mukhlisin.
Seorang yang mengendarai MIO tampak berbelok disimpang lima berjalan lurus kemudian berbelok lagi di sebuah simpangan. Memasuki jalan A Yani kecepatan motor mulai dikurangi kini ia memasuki jalan yang lebih kecil bahkan menembus gang-gang, menuju sebuah tempat kecil diluasnya kota lumpia.
Setelah bersusah payah berkelok menyusuri gang sempit akhirnya ia tiba, motornya berhenti didepan sebuah gedung mirip gedung sekolah ukuran mini, buku berderet mesra, sebuah plang menegaskan identitas tempat ini “Taman Bacaan Raudatul Quro” disingkat TBRQ.
Kemudian pengendara memarkir motor di halaman, membuka helm, ternyat seorang wanita -berjilbab biru muda- tingginya porposional peluh keluar dari keningnya namun sama sekali tak memudarkan pesona kecantikannya.
Wajahnya unik, perpaduan wajah melayu dan cina matanya sipit, namun tak se-sipit mata cina umumnya, alisnya tebal, hidung mancung kuli nya kuning langsat, dan sorot matanya bening-teduh- tenang.
Ia bergegas membuka pintu yang masih tekunci, waktu menunjukan pukul setengah dua siang. Setengah jam lagi waktu resmi masuk taman bacaan.
Sebuah taman bacaan dipinggir semarang, taman bacaan sekaligus tempat belajar anak-anak terlantar pendiriannya adalah Relawan Semarang Kita yang domotori asatidzah Ponpes Modern Darul Qiyam 4.
Kemudian ia duduk dikursi meja kerjanya (sebuah ruang kecil kantor kecil taman bacaan). Mengeluarkan mushaf kecil dari tas, melantunkan ayat qauliyahNya, lirih tapi merdu menyejukan.
Beberapa menit kemudian diakhiri qiraah juz ’ama-nya, kemudian ia mengeluarkan sebuah buku, bukan buku psikologinya Freud, Torndike, atau Covey yang ia baca, (asal tahu saja dia sedang giat-giatnya belajar psikologi untuk melanjutkan S2 jurusan psikologi UNDIP). Kini buku yang dibacanya adalah sebuah buku fiksi novel tepatnya.
Entah novel genre apa yang dibacanya yang pasti ia telihat asyik-masyuk tak bergeming-serius, bahkan mungkin terhanyut, buktinya ia diam saja ketika tanpa disadarinya anak-anak taman bacaan berdatangan memasuki ruang kelas, ada juga yang asyik bermain jungkit di depan, ia baru tersadar dari keasyik-masyukan-nya ketik seseorang beruluk salam kemudian menyapanya.
Yesi relawan lain TBRQ tersenyum ketika melihat seseorang yang disapanya gelagapan membalas uluk salam.
“serius amat bacanya? “ tanya Yesi dalam hati
si wanita buru-buru menutup bukunya kemudian menyambut Yesi-bersalaman.
Waktu menunjukan pukul 13.55, lima menit lagi kelas dimulai, anak-anak semakin banyak datang.
Wanita berjilbab biru muda bergegas memasukan novel yang tadi dibacanya, novel yang sutau saat nanti akan menjadi semacam wasilah, merubah sedikit-banyak kisah hidupnya tanpa ia sadari.
Pukul 14.00 tepat lonceng berdentang kelas dimulai, 50 anak masuk dan dipisah menjadi dua kelas mereka akan belajar bersama orang Relawan yang bertugas hari ini Yesi dan wanita berjilbab biru. Dengan semangat kedua relawan itu membimbing, anak-anak belajar antusias, anak generasi penerus itu belajar dengan riang,.
Ah… Dipundak anak-anak itulah suatu saat nanti negeri ini disandarkan.
Tak sadarkah kita?


NB: oya lupa aku belum mengenalkan nama Wanita berjilbab biru itu E….. namanya Zahra al fahima, baiklah bagaimana kalau ku pakai saja nama itu wanita itu “Zahra al fahima” sebagai judul mozaik 5 ini, setujukan?
Arahmaniyyah, 310310

Mozaik 4 The next hamka

Kuseruput teh hangat buatan istriku , rileks.. beruntung sekali mendapat istri yang berbakti seperti dia baru melahirkan tapi masih sempat-sempatnya membuatkan abang-nya ini teh hangat.
Seperti biasa ahad pagi selepas subuh dan tilawah qur’an aku duduk di kursi beranda rumah, ditemani teh hangat membaca buku, ada yang berbeda dipagi ini: bacaanku, biasanya buku-buku agama, kali ini sebuah fiksi, novel lebih tepatnya. sebenarnya aku tidak telalu suka membaca novel, terlalu mengada-ada dan membosankan. Hanya tetralogi laskar pelangi saja yang pernah ku-khatamkan, maklum
Tapi entahlah untuk novel yang kubaca ini aku begitu antusias, puluhan halaman kulahap tak tahu kenapa aku se-enjoy ini, alur cerita yang mempersonakah, bahasa yang puitis kah atau….. pengarang yang briliankah?.
Tepat ketika kubuka halaman 84 Hp berdenyit, kurogon hp diujung meja, kulihat nama penelepon di layar : Panther the next hamka. Aku tahu siapa penelepon.
“Halo assalammalaikum”
‘waalaikumsalam’ jawab suara disebrang, kami berbincang santai diselingi gelak tawa,
“akh dia masih seperti dulu, sok berwibawa sok berkuasa dan tetap belum ditemani siapa-siapa”.
Perbincangan berhenti dimenit kesebelas, cukup singkat untuk perbincangan nostalgia ngalor-ngidul dan aha…. Aku terperanjat.
“ummi- ummi!! teriaku sambil berjalan setengah berlari menuju kamar, kubuka pintu dan ….. istriku melintangkan jari telunjuk di bibirnya tangan lainnya mengusap-ngusap kepala bayi kami.
“Ah abang jangan keras-keras atuh entar si dede nangis”
“Iya dech afwan-afwan dindaku yang cuantik” ucapku mendekat, mengecup bayi kami
“Ada apa sih bang girang pisan”
“oh… Itu anu, e.. abang udah nentuin nama untuk bayi kita, seseorang telah memilih satu dari 5 nama itu”.
“Seseorang? 5 nama?” Istriku nampak mengerinyitkan dahi-bingung.
Kemudian kujelaskan tentang e-mail yang ku kirim lewat FB kepada seseorang disebrang, istriku nampak mengerti.
“oh… gitu, pantes atuh abang riang betul”
“yoi,,… ntar pas aqikah kunamai bayi kita secara resmi”.
“oya bang,,, abangkan belum memberitahu ana nama orang yang abang kirimin e-mail, yang katanya tamu spesial pada wisuda abang nanti”
“Ya rahasia atuh, kalau bisa coba tebak!”
“siapa?”
“Yang pasti sih shohib abang di Deha -Darul Hijriah, marhalah wahidah malah.
“E,,,,. Hendra kustiana, Fais azizy, Umar Syahban?”
Aku menggeleng
“Qismul I'lan ‘08”
“The next HAMKA” tambahku mantap-lantang
“oh pasti e…. akh….” tebakan istriku terhenti, si dede menangis, ia terbangun, mungkin terkejut mendengar suara lantangku atau popok bayinya basah, tak tahulah aku.
Army, 230310

Mozaik 3 Menenggadah Langit untuk Seseorang di Indonesia

Merasakan atmosfir utuh kota ini tak cukup dengan tinggal satu dua hari saja butuh waktu berminggu, berbulan bahkan tahun.

Jikalau seseorang tinggal disini hanya satu dua hari saja, maka kesan yang akan ia simpulkan hanyalah negatif: begitu membara dimusim panas dan menusuk dingin dimusim dingin, keadaan itu diperparah dengan semerawutnya tata kota, sampah plastik, dedaunan dan lainnya berserakan tak teratur terasa berantakan bagi orang Indonesia sepertiku sekalipun.

Tetapi ketika seseorang sudah lama tinggal di kota ini, dengan sendirinya ia akan menemukan mutiara diantara kesemerawutan dan tumpukan sampah itu, sungguh.

Mutiara itu bukan sejenis berlian mengkilat-putih bersih, mutiara berbentuk keramahan, kehangatan persaudaraan dan gelora ilmu.

Begitulah aku melukiskan Thantha, kota tempat tinggalku sekarang. Kota ini memang tak se-gemerlap Cairo, tak se-memesona Alexandria, tak se-melegenda Luxor tapi aku selalu bersyukur Allah memilihkanku tempat ini sebagai tempat tinggal tempat berjuang menurut ilmu.

Orang Cairo menyebut kota ini sebagai kota sampah, tapi tidak bagiku, karena sekarang kairo pun beranjak menjadi kota sampah, semakin menggunung malah, sampah yang lebih menjijikan, sampah yang lebih bervirus sampah kemaksiatan, nauzdubilah. Begitu pengamatanku selama hampir 10 tahun tinggal di mesir ini, berjibaku dengan mahasiswa lainnya menurut ilmu di universitras tertua Al-azhar.

***

Dalam munajat selalu kuselipkan pula doa bagi orang yang mencintaiku dan kucintain fillah loillah, seperti munajatku ba’da magrib ini secara istimewa kumohonkan doa bagi seseorang di indonesia.

Qod aflahal mu’minun, aladzina hum fi sholatih khosyiun,.

Ayat ilahiyah kulafazkan khusyu’, Al Quran kecil kurengkuh namun mata ku tak menatap muhaf itu mataku menengadah, mengintip langit.

Langit magrib masih dihiasi mega, rembulan sabit tersenyum mesra, tak terasa satu surat al-mu’minu terdaras sudah, aku terdiam sejenak.

Kututup mushaf, aku beranjak dari beranda mesjid ingin rasanya berjalan sebentar didepan mesjid menunggu giliran setoran hafalan al-quran, tepat disamping masjid aku duduk di atas bangku, mata menengadah langit, setengah de javu, he…f hu…h kutarik dan kukeluarkan nafas, sejenak mataku terpejam, mengingat waktu 10 tahun silam.

Sebuah beranda mesjid berselonjor aku dan seorang temanku, orang yang dulu paling kubenci sekaligus teman terbaik, mata kami menengadah, menatap langit menyembulkan cita-menasbihkan mimpi, walau kami sadar sudah terlalu tua untuk bermimpi waktu itu umur ku hampir 19 umurnya setahun lebih tua, terlambatkah kami bercita di umur setua itu? entahlah.

Yang pasti waktu itu kami berjanji bahwa 10 tahun lagi kami akan kembali menengadah langit dimanapun kami berada apapun kodisinya.

Dan hari ini tuntaslan sudah janjiku ini, lupakah ia dengan janji yang terpati itu? Semoga saja tidak.

Aku yakin ia mengingatnya, haqul yakin, tapi… keraguan itu muncul lagi mengingat ia memiliki ingatan yang lemah low memory dalam mengingat-ingat peristiwa lampau.

Ah lebih baik kupastikan saja, kurogon Blackberry di celana, menekan tuts-tuts qwerty, merangkai kata, menguntai tanya, dan mengabarkan berita.

Aku tersenyum sendiri, sebuah pesan ratusan karakter kukirim, mirip sebuah surat, biarlah bukankah ia suka dengan untaian kata?

Sebuah laporan terkirim masuk, ternyata nomor hpnya aktif (no hp yang kudapat dari data fbnya).

Aku membayangkan reaksinya mendapat smsku ini, sms dari nomor asing yang tak dikenalnya, pasti awalnya ia menerka, tapi selanjutnya ia akan berkata “aha” dan tersenyum mesra “akh itu dugaanku saja”

“Akh Michel dauruka[1], panggil seseorang membuyarkan lamunanku, aku beranjak dengan senyum merekah, lucu juga cara orang Mesir memanggil namaku: mikel tepatnya Michael wardana

Army, 210310


[1] Giliranmu.

Jumat, 06 Agustus 2010

Padang Ilalang Yang Hilang

Padang Ilalang Yang Hilang

Penulis : Ilalang Bintang

Tiga orang sekawan ; bintang, jhoni dan herman, bersahabat kental, merela biasa menyambit rumput untuk ternak bersama-sama di perkebunan karet negara, namun di suatu hari, kebun karet dilenyapkan untul membuat villa, bagaimana 3 sekawan itu menanggapinya? Silakan simak dicerpen ini, berikut cuplikannya:

Seperti biasa hari ahad pagi kami bertiga biasa menyusuri area perkebunan karet milik PT Perkebunan Negara (PT PN IV) mengambil rumput untuk ternak kami, membantu meringankan beban orang tua. Setelah karung penuh terisi kami biasa berteduh di bawah pohon karet besar dan rindang ini. Di hadapan kami terbentang perkebunan karet yang luas di kanan kiri rerumputan tumbuh dengan subur, hijau, pakan empuk ternak kami.

Setelah makan, tiba-tiba Herman berkata “Tang, Jhon kemarin di sekolah kita khan belajar tentang tumbuhan, e..h nomong-ngomong kamu suka tumbuhan apa jhon?”
“ e..h kalau aku sih suka pohon kaktus, aku suka akan hidupnya yang keras pantang menyerah, bayangkan sobat ia mau hidup di padang yang gersang, panas dan kering. Kamu sendiri Man?” Jhoni balik bertanya pada Herman.
“kalau aku suka bunga mawar, mawar tuh indah banget, apalagi kalu berbunga haru…..m sekali”
“huh… kaya cewek aja” ejek kami serempak.
“biarin aja, EGP gitu lho” kilah Herman.
“kamu?” Tanya Herman menunjuk kearahku.
“kalau aku suka rerumputan dan ilalang, lihatlah kawan rerumputan dan ilalang di depan kita, mereka hidup tak terurus, terlalaikan, bahkan banyak orang yang ingin mengenyahkannya.

Tapi ternyata mereka masih memberi guna bagi kita, menjadi santapan lezat ternak kita,. Mereka mengajarkan pada kita sekecil apapun kita, seremeh apapun kehidupan kita, kita mesti memberikan manfaat pada yang lainnya, ecamkan itu kawan !” ucapku lantang bak pujangga melantuntan sabda cinta.

Catatan 2 Hati

Catatan 2 Hati

Penulis :Guntur Alam

Bagaimanakah kisah kasih dua insan yang berlainan keyakinan, seorang cina tionghoa dan seorang melayu-islam, dapatkah mereka bersatu? Semua dipotret dalam 2 buah catatan manis. Cinta atau prinsip hidup yang akan mereka pilih? Temukan jawabannya di cerpen apik karya penulis handal ini, berikut cuplikannya:

--Masih ingatkah dirimu tentang danau bening di belakang sekolah kita dulu? Kita sering duduk bersama di tepi danau itu. Menghitung saban hari kuncup-kuncup teratai yang mekar. Lalu, kau akan berjuang untuk memetik setangkai. Mencari yang paling dekat dengan bibir danau. Memberikannya padaku.

“Kau secantik teratai ini,” pujimu. Sungguh, aku tak bisa menyembunyikan semu yang merona malu di pipi kanan-kiriku. Setelah itu, kita duduk dalam senyap. Bermenit-menit tanpa bicara. Sampai bel istirahat selesai berdentang dan aku bergegas bangkit dari duduk, melangkah cepat di depanmu.

Seperti itu jam istirahat yang kita lalui, bertahun-tahun. Sejak kelas empat SD sampai kelas enam. Tak lupa, kita akan membuka bekal masing-masing di tepi danau itu. Memakannya dan berbagi. Tapi, aku selalu takut, jika ibuku membekali makan siangku dengan daging. Sebab, aku tahu, daging yang aku bawa, sering tak halal bagi dirimu (aku tahu itu dari Nisa, teman sekelas kita dulu).

Minggu, 01 Agustus 2010

Penulis Hebat

Penulis Hebat
Oleh: Ilalang bintang*

Orang hebat adalah orang yang mampu melahirkan orang hebat lainnya. Orang sukses adalah orang yang mampu menyukseskan dirinya dan orang lain. Pahlawan adalah orang yang mampu memberi teladan dan inspirasi bagi selainnya.

Begitupun dengan penulis, penulis yang hebat akan melahirkan orang hebat lainnya, atau paling tidak akan menginspirsasi orang lain untuk berkarya.

Helvi Tiana Rosa (HTR), Habiburahman el Shirazy atau Andrea Hirata. Mereka adalah bagian dari penulis hebat itu.

Helvi Tiana Rosa (HTR) penulis kumcer “Ketika Mas Gagah Pergi” pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), dikatakan penulis hebat karena beliau dengan karya fiksinya mampu memotivasi remaja islam lainnya untuk berani berdakwah lewat tulisan. Maka secara tidak langsung beliau dengan “ketika mas gagah pergi”-nya menjadi icon kebangkitan fiksi remaja islami.

Andrea Hirata penulis tetralogi Laskar Pelangi ; Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov, bukan hanya memotivasi kalangan marjinal yang tertindas untuk bangkit, untuk tidak menyerah dengan keadaan, tapi beliau juga telah menginspirasi penulis lain untuk menulis buku “inspiratif” lainnya. Maka lahirlah buku/novel seirama “menyuarakan kekuatan untuk bangkit” diantaranya ; Rumah Pelangi, Menggapai Matahari, Ma Yan, Sang Pelopor, Laskar Pemimpi dan masih banyak yang lainnya.

Dan baru-baru ini kami membaca novel “Sang Pelopor” buku pertama dari trilogy Madrasah Kampung Sawah. Dari judulnya saja kita bisa merasakan nafas perjuangan pantang menyerah ala tetralogi laskar pelangi.

Terlepas dari kasus epigon (peeniruan) yang pernah di bahas majalah Annida edisi I/tahun IV September 2008 lalu, novel ini tak kalah hebatnya dari tetraolgi lascar pelangi dalam hal ide, gagasan, semangat untuk memotivasi orang lain.

Walau harus diakui sang penulis -Alang-Alang Timur (seorang yang putus sekolah selepas SMP) masih harus belajar banyak dari penulis hebat lainya untuk membuat novel dengan bahasa yang lebih mengalir dan tak terkesan kaku, dari segi bahasa novel ini terkesan mengekor kesuksesan lascar pelangi. Tapi sebagai penulis pemula, beliau layak diacungi jempol atas keberaniannya mengkritisi system pendidikan kita yang terkesan membatasi kreativitas siswanya.

Begitu pula dengan Kang Abik (sapaan akrab Habiburrahman el Shirazy) lewat karyanya yang fenomenal ; Ayat Ayat Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih (KCB, Diatas Sajadah Cinta, Dalam Mihrab Cinta dan lain-lain, beliau telah menginspirasi penulis lain untuk menulis novel bertema “cinta dalam bingkai islam”. Maka munculah belasan bahkan puluhan novel setipe mulai dari Syahadat Cinta, Syair-Syair Cinta Sang Ksatria, Bait-Bait Cinta, Syair Munajat Cinta, Dzikir-Dzikir Cinta dan lainnya.

Begitulah sekali lagi kita belajar bahwa penulis hebat adalah penulis yang mampu mengispirasi orang lain untuk berkarya.
Dan sekarang saatnya kita berkarya, are you ready?

1917/0304/09
*Ketua Harian Komunitas Pena Santri (KPS)