Sabtu, 07 Agustus 2010

Mozaik 3 Menenggadah Langit untuk Seseorang di Indonesia

Merasakan atmosfir utuh kota ini tak cukup dengan tinggal satu dua hari saja butuh waktu berminggu, berbulan bahkan tahun.

Jikalau seseorang tinggal disini hanya satu dua hari saja, maka kesan yang akan ia simpulkan hanyalah negatif: begitu membara dimusim panas dan menusuk dingin dimusim dingin, keadaan itu diperparah dengan semerawutnya tata kota, sampah plastik, dedaunan dan lainnya berserakan tak teratur terasa berantakan bagi orang Indonesia sepertiku sekalipun.

Tetapi ketika seseorang sudah lama tinggal di kota ini, dengan sendirinya ia akan menemukan mutiara diantara kesemerawutan dan tumpukan sampah itu, sungguh.

Mutiara itu bukan sejenis berlian mengkilat-putih bersih, mutiara berbentuk keramahan, kehangatan persaudaraan dan gelora ilmu.

Begitulah aku melukiskan Thantha, kota tempat tinggalku sekarang. Kota ini memang tak se-gemerlap Cairo, tak se-memesona Alexandria, tak se-melegenda Luxor tapi aku selalu bersyukur Allah memilihkanku tempat ini sebagai tempat tinggal tempat berjuang menurut ilmu.

Orang Cairo menyebut kota ini sebagai kota sampah, tapi tidak bagiku, karena sekarang kairo pun beranjak menjadi kota sampah, semakin menggunung malah, sampah yang lebih menjijikan, sampah yang lebih bervirus sampah kemaksiatan, nauzdubilah. Begitu pengamatanku selama hampir 10 tahun tinggal di mesir ini, berjibaku dengan mahasiswa lainnya menurut ilmu di universitras tertua Al-azhar.

***

Dalam munajat selalu kuselipkan pula doa bagi orang yang mencintaiku dan kucintain fillah loillah, seperti munajatku ba’da magrib ini secara istimewa kumohonkan doa bagi seseorang di indonesia.

Qod aflahal mu’minun, aladzina hum fi sholatih khosyiun,.

Ayat ilahiyah kulafazkan khusyu’, Al Quran kecil kurengkuh namun mata ku tak menatap muhaf itu mataku menengadah, mengintip langit.

Langit magrib masih dihiasi mega, rembulan sabit tersenyum mesra, tak terasa satu surat al-mu’minu terdaras sudah, aku terdiam sejenak.

Kututup mushaf, aku beranjak dari beranda mesjid ingin rasanya berjalan sebentar didepan mesjid menunggu giliran setoran hafalan al-quran, tepat disamping masjid aku duduk di atas bangku, mata menengadah langit, setengah de javu, he…f hu…h kutarik dan kukeluarkan nafas, sejenak mataku terpejam, mengingat waktu 10 tahun silam.

Sebuah beranda mesjid berselonjor aku dan seorang temanku, orang yang dulu paling kubenci sekaligus teman terbaik, mata kami menengadah, menatap langit menyembulkan cita-menasbihkan mimpi, walau kami sadar sudah terlalu tua untuk bermimpi waktu itu umur ku hampir 19 umurnya setahun lebih tua, terlambatkah kami bercita di umur setua itu? entahlah.

Yang pasti waktu itu kami berjanji bahwa 10 tahun lagi kami akan kembali menengadah langit dimanapun kami berada apapun kodisinya.

Dan hari ini tuntaslan sudah janjiku ini, lupakah ia dengan janji yang terpati itu? Semoga saja tidak.

Aku yakin ia mengingatnya, haqul yakin, tapi… keraguan itu muncul lagi mengingat ia memiliki ingatan yang lemah low memory dalam mengingat-ingat peristiwa lampau.

Ah lebih baik kupastikan saja, kurogon Blackberry di celana, menekan tuts-tuts qwerty, merangkai kata, menguntai tanya, dan mengabarkan berita.

Aku tersenyum sendiri, sebuah pesan ratusan karakter kukirim, mirip sebuah surat, biarlah bukankah ia suka dengan untaian kata?

Sebuah laporan terkirim masuk, ternyata nomor hpnya aktif (no hp yang kudapat dari data fbnya).

Aku membayangkan reaksinya mendapat smsku ini, sms dari nomor asing yang tak dikenalnya, pasti awalnya ia menerka, tapi selanjutnya ia akan berkata “aha” dan tersenyum mesra “akh itu dugaanku saja”

“Akh Michel dauruka[1], panggil seseorang membuyarkan lamunanku, aku beranjak dengan senyum merekah, lucu juga cara orang Mesir memanggil namaku: mikel tepatnya Michael wardana

Army, 210310


[1] Giliranmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar