Cerpen : Tiga Butir Pengkhianatan
Bangsa telah kehilangan jati dirinya
Lewat pemuda bangsa mampu berkata-kata
Tetapi lewat pemuda pula bangsa menjadi gagu dan tuna
netra
Siapa bilang bangsa kita merdeka?
Siapa bilang bangsa kita terlepas dari keegoannya?
Bangsa kita sedang kacau!
Pemuda banyak yang meracau
Entah mereka sedang berkata apa atau melakukan apa
Tak ada yang tahu
Hanya desau angin yang menggaruk jendela
Menjadi saksi bisu moralitas para pemuda
Aih tidak! Tidak! Bukan pemuda
Tetapi bangsa!
Pemuda adalah bangsa
Tetapi bangsa bukan pemuda
Seorang pemuda duduk gelisah menghadapi
secangkir capuccino yang masih
mengepul. Tangannya mengetuk meja pelan dengan bibir terkatup rapat yang
sesekali bergetar seolah hendak menyampaikan sesuatu. Dihadapan pemuda itu
duduk seorang lelaki paruh baya tengah memandangnya tajam, membuat si pemuda
menginterupsi tiap perkataan serta gerakan tubuhnya.
Sedari 50 menit yang lalu, lelaki paruh
baya dengan tampang bersahaja itu tengah menantinya bicara. Lebih tepatnya
berbicara demi menjawab pertanyaan lelaki paruh baya itu yang hingga detik ini
masih menari dibenaknya.
Sebenarnya pertanyaan lelaki paruh baya itu
ringan, “Apa makna sumpah pemuda?” Hanya itu. Tetapi kerongkongan si pemuda
tercekat, tak mengetahui jawaban apa
yang harus dilontarkannya sementara ia sendiri pun tak begitu mengetahui apa
itu sumpah pemuda. Setahunya, sumpah pemuda dilakukan oleh pemuda-pemuda zaman
dulu tatkala membela Tanah Air. Pemuda itu mengernyit, mencoba memutar
ingatannya kembali tentang isi sumpah pemuda.
Ketika pertamakali mendengar lelaki paruh
baya itu menyinggung soal sumpah pemuda, tiba-tiba ingatan si pemuda berputar
pada kejadian di tahun 1928 dimana para pemuda berkumpul untuk mengikrarkan 3
butir kebulatan tekad yang menyatakan bahwa mereka mengaku bertumpah darah
satu, tanah Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Mengingat 3 butir itu, bukannya merasa tenang dan menemukan
jawaban atas pertanyaan lelaki paruh baya dengan mudah, tetapi si pemuda
tiba-tiba merasakan keresahan luar biasa yang semakin membelenggunya.
Baginya, 3 butir kebulatan tekad soal
sumpah pemuda itu omong kosong adanya. Yang ia tahu, pemuda sekarang tidak
pernah menumpahkan darah demi Indonesia, dalam artian mereka enggan memperjuangkan
hak-hak bangsa Indonesia serta enggan membela kebenaran di Tanah Air-nya
sendiri. Yang paling parah adalah mereka enggan menggunakan bahasa Indonesia
seiring dengan maraknya pengaruh bahasa Inggris sebagai bahasa internasional
karena menganggap bahwa bahasa Indonesia ketinggalan zaman. Lantas, apakah itu
yang dinamakan sebagai semangat pemuda yang tercermin lewat sumpah pemuda?
Sementara pada awalnya sumpah pemuda bertujuan untuk menyatukan suku bangsa
lewat bahasa.
Pemuda itu mengangkat sedikit kepalanya,
mencoba membaca situasi dalam kafe yang semakin terasa sesak karena lelaki
paruh baya yang duduk dihadapannya ternyata memiliki beberapa pasang mata yang
bertugas menghakiminya. ‘Sial! Kakek tua
bangka ini sengaja membuat posisiku terpojok!’ maki si pemuda dalam hati.
“Jadi.. kamu sudah temukan jawaban mengenai
apa itu makna sumpah pemuda?” Suara berat si lelaki paruh baya menyapa indera
pendengaran si pemuda, membuatnya mengeluarkan keringat dingin yang kini mulai
hinggap di dahinya. Meleleh perlahan melewati pelipisnya kemudian jatuh mulus
di pipinya.
Pemuda itu mendesah, ingin ia menjawab ya,
namun ia merasa tak tahu apa-apa. Berniat menjawab tidak pun ia merasa bahwa
usahanya sia-sia saja karena itu berarti ia sedang cari mati dengan lelaki
paruh baya dihadapannya itu.
Sumpah pemuda
Sumpah pemuda
Sebenarnya... Apa itu sumpah pemuda?
Batin si pemuda kesal karena tak kunjung
menemukan jawaban yang tepat.
Sepemahaman si pemuda, sumpah pemuda masa
kini adalah sumpah setia seorang pemuda terhadap gadis yang berlabuh di
pelaminan. Seketika si pemuda merasa tertohok atas pemikiran gilanya itu karena
merasa bahwa definisi sumpah pemuda masa kini adalah definisi paling konyol dan
memuakkan. Karena pada akhirnya sumpah pemuda seperti itu hanyalah kamuflase.
Fatamorgana.
Si pemuda terkesiap tatkala tatapannya bersirobok
dengan secangkir cappucino miliknya
yang tinggal setengah. Pelan tapi pasti batinnya mencibir karena sebenarnya ia
telah mengkhianati bangsanya sendiri lewat secangkir cappucino yang dipesannya kali ini.
Ditengah kemelut hatinya, rupanya lelaki paruh
baya bisa membaca pikirannya, membuat si pemuda makin merasa jengah karena
semakin lama tatapan lelaki paruh baya seolah menelanjanginya.
“Apa kamu benar-benar tidak tahu apa itu
sumpah pemuda? Payah sekali!” Cibir lelaki paruh baya sambil menyesap kopi
hitam dalam mug-nya.
Si pemuda tampak menelan ludahnya pahit.
Sedikit tersinggung dengan perkataan lelaki paruh baya terhadapnya. Membuatnya
semakin menginterupsi tiap gerakan. Apapun itu!
“Mungkin saja. Aku memang benar-benar tak
tahu.” Tiba-tiba si pemuda berkata asal, menciptakan tawa panjang bagi lelaki
paruh baya.
“Kamu merasa takut? Merasa ragu?” Cibir lelaki
paruh baya itu lagi. “Nah! Beginilah pemuda zaman sekarang! Takut mengungkap
identitasnya sendiri. Payah!”
Si pemuda terkesiap. Merasa tak terima
dengan pernyataan lelaki paruh baya, ia menggepalkan tangannya kuat hingga
buku-buku jarinya memutih. Menahan gejolak amarah yang rasanya mencuat ke
ubun-ubun.
“Tetapi… aku tidak sepayah itu.” Elak si
pemuda.
“Lantas?”
“Entahlah. Mungkin memang benar adanya. Aku
sedang ragu. Aku sedang gundah.” Aku si pemuda pada akhirnya. Mencoba
melepaskan sisi egoisme yang sempat bertengger di hatinya.
“Hahaha…. Apa Kau butuh penasehat nak?”
tanya lelaki paruh baya dengan tatapan seriusnya.
“Mungkin.” Si pemuda mengedikkan bahunya
asal. Tak tahu harus menjawab apa. Kebingungan benar-benar membelenggunya.
Membuatnya tak berdaya dalam kuasa lelaki paruh baya.
“Apa menurutmu.. sumpah pemuda dapat
dilakukan lewat mengokang senjata?”
Pemuda itu terdiam. Kepalanya menggeleng
perlahan.
“Ah tidak! Tidak! Itu tidak bisa! Tidak
bisa!” racau si pemuda tak setuju dengan perkataan lelaki paruh baya.
“Lantas? Lewat apa sumpah pemuda
dilakukan?” sambung lelaki paruh baya.
“Kurasa…. Lewat tindakan, atau pemikiran.”
Jawab pemuda itu asal. Jelas sekali bahwa rasa gugup tengah mencekiknya semakin
dalam lagi.
“Aih.. jawaban macam apa itu nak? Apa
maksud dari tindakan atau pemikiran?” Dahi lelaki paruh baya mengernyit.
“Maksudku, bahwa mengaplikasikan kecintaan
atau perhatian kita terhadap sumpah pemuda tak perlu dilakukan lewat mengokang
senjata. Zaman sudah modern, peperangan sudah bukan alasan tepat lagi untuk
mendapatkan sebuah kemerdekaan. Tetapi, bukan berarti perdamaian juga merupakan
jalan terbaik dalam kemelut ini. Untuk itulah, demi memberikan perhatian khusus
terhadap sumpah pemuda, kita tidak perlu melewati tahap-tahap rumit lewat
perang senjata. Bukankah di dunia saat ini, perang argumen adalah hal paling
efektif untuk menunjukkan adu kebolehan?”
Lelaki paruh baya mengernyit. Ia merasa
bahwa isi kepala pemuda dihadapannya telah rusak. Perkataan pemuda itu kacau.
Entah memiliki maksud apa.
“Tunggu! Tunggu! Apa maksudmu? Jangan
berbelit-belit! Aku terlalu tua untuk mencerna kata-kata serumit itu.” Potong
lelaki paruh baya dengan menunjukkan tampang gusarnya.
Melihat lelaki paruh baya dihadapannya
terlihat gusar, pemuda itu tertawa kecil. Keberanian yang terkungkung di sisi
tersembunyi dalam dirinya tiba-tiba muncul, memaksanya untuk semakin melakukan
gugatan-gugatan yang membingungkan lelaki paruh baya di hadapannya.
“Maksudku, untuk menghargai perjuangan para
pemuda di masa lampau lewat sumpah pemuda, kita hanya perlu mengamalkan ilmunya
saja. Ilmu tentang 3 butir kebulatan tekad.”
Lelaki paruh baya itu memijat kepalanya.
Segaris senyum tipis dan misterus langsung hinggap di wajah keriputnya.
“Tiga butir kebulatan tekad? Apa itu?”
tanya lelaki paruh baya sambil menatap si pemuda tajam.
“Tiga butir itu adalah bagian dari isi
sumpah pemuda dimana 3 bagian itu sangat besar pengaruhnya bagi umat manusia
khususnya bagi masyarakat Indonesia jika mereka mampu membuka mata, menajamkan
telinga, serta mengasah kata. Bukankah selama ini masyarakat kita hanya mampu
menelan bulat kata-kata bak kerbau dicocok hidungnya. Tidakkah mereka mencoba
berpikir kreatif untuk mencari solusi setiap permasalahan yang ada diantara
umat manusia? Mengapa malah memperdebatkan hal yang tidak-tidak?”
Lelaki paruh baya kembali mengernyit,
kepalanya berdenyut kuat tatkala tatapan matanya bersirobok dengan pemuda
dihadapannya itu. Namun tatkala dilihat ada kesungguhan di mata pemuda
dihadapannya itu, maka si lelaki paruh baya merasa yakin bahwa pemuda
dihadapannya telah berubah. Bukan lagi burung dalam sangkarnya melainkan burung
yang terbang bebas di angkasa.
Dalam
keheningan malam
26.11.2012 – 23.57
*Nadya Rahmadya, Penulis, Kontributor KPS.Add her Fb : http://www.facebook.com/nrahmadya
Pendalaman karakter sangat diperlukan dalam menulis,
BalasHapusdan cerpennya asik punya!