Minggu, 08 Agustus 2010

Mozaik 6 GONTORT AT MORNING Pagi yang menakjubkan

GONTORT AT MORNING

Pagi yang menakjubkan

Pagi ini cerah, matahari menyembul perlahan, malu-malu, semburatnya menghiasi kanvas indah di ufuk timur, aku menatapnya dari lantai dua “rumah VIP” rumah menginap yang diperuntukan bagi tamu yang berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG)

“Akh memang benar-benar kelas vip, kamar yang nyaman, makanan yang lezat, beginilah enaknya menjadi tamu “kehormatan” PMDG, diperlakukan istimewa bak raja” gumamku memuji

“sayang kiranya jika pada kunjunganku kali ini aku hanya mematung disini” lanjutku.

Karenanya aku segera bergegas, ingin rasanya mengitari, menyambangi setiap sudut pondok merasakan atmosfir khas pesantren.

Kini aku telah besiap siaga mengayuh sepeda, sepeda yang aku pinjam dari Qismu Dhiyafah[1].

Aku mengayuh sepeda ke arah selatan, tujuan pertamaku gedung Darul Hijrah yang legendaris itu. Tepat di jalan depan gedung indonesia 3 aku berpapasan dengan sebuah sepeda kumbang. Sepeda unik yang merupakan kendaraan operasional qismul amni. Sepeda yang kunaiki jelas lebih modern-modis dari sepeda kumbang itu, tapi soal pamor dan wibawa sepeda ini kalah jauh. Tahu kenapa? Karena ternyata kehadiran sepeda kumbang itu lebih menakutkan santri, ah bukan sepedannya sebenarnya, tapi pengemudinya : Qismul Amni-bagian keamannan, sang katalisator keamanaan dan disiplin pondok. Tatapan matanya tajam, telunjuk tangannya penge-jewantahan perintah, dialah fist enemy santri. Lebih parannya lagi, qismul amni bukan seorang melainkan sepuluh.

Ah terlalu berlebihan kirannya deskripsiku tadi, padahal sebenarnnya qismul amni tak seseram itu, perananya sangat penting bagi keberlangsungan disiplin pondok. Pekerjaannya pun siulit sebenarnya, bayangkan sepuluh orang pengurus bagian keamanan mengatur disiplin 3000 lebih santri, berat bukan? Bagaimana caranya? Nantilah aku ceritakan.

Setelah melewati gedung indonesia baru, berturut-turut gedung wisma hadi, koperasi pelajar, gedung tunis dan masjid jamie kemudian aku membelokan sepedaku ke arah kanan, 100 meter didepanku berdiri megah gedung Darul Hijrah, gedung yang melegenda -setidaknya menurutku.

Aku berhenti cukup lama, menatap mesra gedung asrama 2 lantai bercat hijau muda ini. Beberapa santri memperhatikannku, tapi kebanyakan tak peduli, maklum saja, mereka terbiasa “dikunjungi-ditatapi” para tetamu bahkan hampir setiap hari.

Terlebih mereka tak punya cukup waktu untuk sekedar memelototi tetamu, mereka tengah sibuk bersiap masuk kelas, ada yang sedang memakai sepatu, beberapa lainnya lari terbirit masuk kamar dengan gayung di tangan, sepertinya mereka baru selesai mandi.

Waktu menunjukan pukul setengah tujuh pagi, aku memutar haluan, tujuanku selanjutnya gedung alighart, sebuah asrama berbentuk huruf U yang diperuntukan bagi santri baru, setelah puas menatap, aku melanjutkan kayuhan ke timur, tujuanku selanjutnya sama seperti kebanyakan santri yang berjalan kaki, yakni gedung saudi, tempat ruang-ruang kelas berada.

Kini aku melintas di jalan samping rumah K.H syukri zarkasyi, para santri semakin banyak berdatangan bergerombol dengan langkah cepat.

Mendekati gedung saudi suasana semakin ramai, dari arah barat kembali banyak santri berdatangan, mereka berjalan tergesa, bahkan tak sedikit yang berlari sambil membetulkan retsletting, kancing baju, dan memasang sabuk. Kau tahu mengapa mereka tergesa? Jawabannya ada pada jam dinding yang terpampang di kantor KMI, jarum jam menunjukan waktu pukul 06.59, satu menit lagi jam pelajaran pertama dimulai. Para asatidz telah bersiaga di depan kelas, bahkan sejak lima menit sebelumnya, bersiap menghukum santri yang terlambat. Kau tahu apa hukuman bagi santri yang terlambat? Hukumannya adalah si santri wajib berdiri mematung di depan kelas sampai jam pelajaran usai, kalau tidak harus meminta maaf di depan santri di sepuluh ruang kelas, dan yang paling dihindari adalah hukuman meminta tanda tangan riayah[2]-the father of fist enemy.

Semenit berlalu, kegaduhan berkurang, dan tepat pukul 07.00 lonceng berdentang keras “teng-teng…teng-teng…teng-teng” memekakan telinga, demi mendengar dentangan lonceng itu tiba-tiba aku kebas, alam bawah sadar membawaku menyusuri waktu, menerabas masa, mengangkat anganku terbang menuju suatu pagi yang menakjubkan, 14 tahun silam.

Rukre, pagi-siang 04/08/10



[1] Bagiaan penerimaan tamu

[2] Bagian Pengasuhan Santri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar