Siang begitu terik udara panas menyeruak, mengalirkan penuh-keringat, matahari sudah agak condong ke barat namun sinarnya masih membara, udara sumpek dikawani polusi.
Keadaan itu tak menyurutkan langkah pemberani untuk berjuang, tak mengurangkan niatan mulia para mukhlisin.
Seorang yang mengendarai MIO tampak berbelok disimpang lima berjalan lurus kemudian berbelok lagi di sebuah simpangan. Memasuki jalan A Yani kecepatan motor mulai dikurangi kini ia memasuki jalan yang lebih kecil bahkan menembus gang-gang, menuju sebuah tempat kecil diluasnya kota lumpia.
Setelah bersusah payah berkelok menyusuri gang sempit akhirnya ia tiba, motornya berhenti didepan sebuah gedung mirip gedung sekolah ukuran mini, buku berderet mesra, sebuah plang menegaskan identitas tempat ini “Taman Bacaan Raudatul Quro” disingkat TBRQ.
Kemudian pengendara memarkir motor di halaman, membuka helm, ternyat seorang wanita -berjilbab biru muda- tingginya porposional peluh keluar dari keningnya namun sama sekali tak memudarkan pesona kecantikannya.
Wajahnya unik, perpaduan wajah melayu dan cina matanya sipit, namun tak se-sipit mata cina umumnya, alisnya tebal, hidung mancung kuli nya kuning langsat, dan sorot matanya bening-teduh- tenang.
Ia bergegas membuka pintu yang masih tekunci, waktu menunjukan pukul setengah dua siang. Setengah jam lagi waktu resmi masuk taman bacaan.
Sebuah taman bacaan dipinggir semarang, taman bacaan sekaligus tempat belajar anak-anak terlantar pendiriannya adalah Relawan Semarang Kita yang domotori asatidzah Ponpes Modern Darul Qiyam 4.
Kemudian ia duduk dikursi meja kerjanya (sebuah ruang kecil kantor kecil taman bacaan). Mengeluarkan mushaf kecil dari tas, melantunkan ayat qauliyahNya, lirih tapi merdu menyejukan.
Beberapa menit kemudian diakhiri qiraah juz ’ama-nya, kemudian ia mengeluarkan sebuah buku, bukan buku psikologinya Freud, Torndike, atau Covey yang ia baca, (asal tahu saja dia sedang giat-giatnya belajar psikologi untuk melanjutkan S2 jurusan psikologi UNDIP). Kini buku yang dibacanya adalah sebuah buku fiksi novel tepatnya.
Entah novel genre apa yang dibacanya yang pasti ia telihat asyik-masyuk tak bergeming-serius, bahkan mungkin terhanyut, buktinya ia diam saja ketika tanpa disadarinya anak-anak taman bacaan berdatangan memasuki ruang kelas, ada juga yang asyik bermain jungkit di depan, ia baru tersadar dari keasyik-masyukan-nya ketik seseorang beruluk salam kemudian menyapanya.
Yesi relawan lain TBRQ tersenyum ketika melihat seseorang yang disapanya gelagapan membalas uluk salam.
“serius amat bacanya? “ tanya Yesi dalam hati
si wanita buru-buru menutup bukunya kemudian menyambut Yesi-bersalaman.
Waktu menunjukan pukul 13.55, lima menit lagi kelas dimulai, anak-anak semakin banyak datang.
Wanita berjilbab biru muda bergegas memasukan novel yang tadi dibacanya, novel yang sutau saat nanti akan menjadi semacam wasilah, merubah sedikit-banyak kisah hidupnya tanpa ia sadari.
Pukul 14.00 tepat lonceng berdentang kelas dimulai, 50 anak masuk dan dipisah menjadi dua kelas mereka akan belajar bersama orang Relawan yang bertugas hari ini Yesi dan wanita berjilbab biru. Dengan semangat kedua relawan itu membimbing, anak-anak belajar antusias, anak generasi penerus itu belajar dengan riang,.
Ah… Dipundak anak-anak itulah suatu saat nanti negeri ini disandarkan.
Tak sadarkah kita?
NB: oya lupa aku belum mengenalkan nama Wanita berjilbab biru itu E….. namanya Zahra al fahima, baiklah bagaimana kalau ku pakai saja nama itu wanita itu “Zahra al fahima” sebagai judul mozaik 5 ini, setujukan?
Arahmaniyyah, 310310
Tidak ada komentar:
Posting Komentar