Sabtu, 25 Mei 2013

Sharing Menulis Cerpen bersama Bang Asa Mulchias (Pekan 1)

Sharing Menulis Cerpen bersama Bang Asa Mulchias (Pekan 1)

Nah, sahabat KPS yang suka nulis cerpen. Ini nih tips-tips agar cerpen kita lebih bernah. Kebet terus ya… ini dia…
***
Asa Mulchias Oke, saya komen bagian awal cerpen Yuli ya?

CINTA DAN SAHABAT

Perlahan, cerita ini terlahir kembali di lamunanku. Saat itu, masa SMA ku lalui dengan cerita yang jauh lebih perih dari masa hidupku sekarang. Cinta yang tak pernah kunjung aku raih, karena orang yang aku cinta mungkin bukanlah jodohku. Saya Rahma dan cinta saya Adli, cinta itu hadir di berbeda sekolah. Aku dan adli berbeda sekolah, dan adli punya cintanya sendiri walau cinta itu bukanlah aku. Lestari wanita tercantik, pintar dan sedikit menor berhasil di gaet adli karena memang adli juga punya sesuatu popularitas di sekolah, adli adalah ketua OSIS banyak anak-anak sekelas bahkan kakak kelas juga ada yang memberanikan diri menyatakan cintanya lebih dulu, kak frizcha adalah wakil ketua OSIS.

***

Dari bagian ini, ada yang perlu disimak:
Dari paragraf satu saja, sudah terlalu banyak karakter. Ada Rahma, Adli, Lestari, Kak Frizcha. Hindari ini dalam cerpen. Bukan hanya pada paragraf satu, tapi pada keseluruhan isi cerpen. Sebisa mungkin, tonjolkan beberapa karakter saja. Karena cerpen tidak sama dengan novel. Ruangnya terbatas, hanya beberapa halaman saja. Jika input banyak karakter, pembaca akan bingung karena dijejali terlalu banyak orang yang harus "dikenali" dan memungkinkan juga cerpen jadi bias.


Dua, dalam fiksi, prinsipnya adalah show, don't tell. Jangan sebutkan, tapi tunjukkan. Misal, dia marah. Ini tell namanya. Fiksi tidak mengatakan marah dengan marah, tapi tunjukkan bahwa orang itu marah. Misal, "Wajahnya memerah. Rahangnya bergemeretak, lalu... BRAK! Tangannya memukul meja." Jika dilihat dari paragraf ini, sudah terlalu banyak tell, bukan show.

Asa Mulchias @nadya: ada banyak cara membangun feel dalam membuat cerpen. Pertama, banyak baca. Nadya suka baca? Kalau suka, harusnya ada banyak gagasan yang hendak ditumpahkan. Tapi kalau malas baca cerpen, padahal mau bikin cerpen, itu "wajar" namanya. Cobalah baca cerpen-cerpen yang didaulat menang atau berhasil dimuat media. Mereka menunjukkan cara yang oke dalam membuat cerpen.

Dua, pendalaman konflik dan karakter. Seberapa dalam kita tahu karakter, itu akan membantu kita tetap menulis cerpen dan menjaga atmosfirnya. Begitu juga konflik. Makin besar konfliknya, makin besar pula kemungkinan kita bisa bertahan. Nah, sekarang coba lihat karakternya: apakah dia karakter yang benar-benar kita tahu? Apa hobinya? Bagaimana dia berjalan? Apa yang diam-diam dia sembunyikan? Pun konflik. Apakah konfliknya akan membuat kita sebagai pengarang bersemangat menulis? Jika tidak, jangan heran, jangan heran 

Asa Mulchias @resha: judul yang menarik itu memang perlu diupayakan, walau datangnya tak jelas juga. Namun, saya percaya pisau yang diasah itu makin lama makin tajam. Brainstorming judul, pernah dilakukan? Brainstorming judul itu menulis apa saja judul yang terlintas di kepala kita, tanpa diedit, tanpa disensor. Tulis saja, tulis semuanya. Ini seperti mengeluarkan kotoran dari saluran air yang mampet. Kalau kotorannya tidak keluar, jangan harap airnya akan keluar. Makin ditulis, akan makin banyak ide tentang judul yang lebih oke.

Bantu juga diri Resha dengan banyak baca buku dengan judul-judul unik. Banyak pula baca buku dengan gaya tutur yang lain dari biasa. Selain memperkaya kosa kata penulis, karya-karya itu membantu otak kita berkembang dalam mengeksplor judul

Asa Mulchias Laila Rahma Sr.: itu ada hubungannya dengan jam terbang. Biasanya, orang yang baru mulai menulis punya penyakit sama: melantur. Ini terjadi karena otaknya belum terbiasa fokus dengan apa yang sedang ditulis. Jadi solusinya apa? Rajin menulis setiap hari. Jangan hanya pas lagi mood. Tapi menulislah tiap hari, mood atau tidak mood. Tekniknya sama dengan brainstorming judul. Menulis apa saja, tanpa dibatasi, tanpa teori. Makin sering menulis tanpa beban, makin terlatih untuk focus

Asa Mulchias Resha T. Novia: berhenti karena apa? Kalau jenuh, obatnya ya istirahat. Penulis manusia juga kok 
Tapi, kalau berhenti karena idenya habis, nah kudu dicari tahu dulu di bagian mana ide itu habis. Kemungkinan penulisnya kurang prepare sebelum menulis. Prepare itu bisa dari kerangka, riset, pendalaman karakter, konflik, dan lain-lain.

Asa Mulchias Soal cerpen: Saat Wanita Merasai Cinta- Dutio Infired Halima
Cerpen itu satu konflik, dan konflik sedapat mungkin jelas di mata pembaca. Terlihat dalam cerpen ini penulisnya sudah mampu menulis dengan mengalir, namun sayang: konfliknya apa ya? Jika konfliknya adalah wanita yang sedang jatuh cinta, maka sepanjang cerita pembaca akan melihat curhatan jatuh cinta--yang mana kita juga kerap temukan pada cerpen lainnya. Kalau pembaca sudah terlebih dahulu merasa, "Ah, paling ini cerpen tentang ungkapan rasa cinta," bahaya bagi penulis karena cerpennya sedang terancam untuk ditinggalkan.


Jadi, konflik itu penting. Dan mencicil konflik itu juga jauh lebih penting. Jangan beberkan semua konflik di awal, karena itu sama saja dengan push up 100 kali sebelum kita lari marathon. Sudah capek duluan 

Asa Mulchias @Acha: konfliknya belum kuat. Sebab kasus seperti itu sudah sering diangkat. Yang perlu diwaspadai dari tema cinta adalah sudah terlalu banyak penulis yang menulis soal itu. Dan kemungkinan kita dibandingkan, pembaca bosan, itu besar. Berbeda bila jam terbang kepenulisan kita telah matang. Tema cinta yang relatif basi pun bisa dikemas menarik. Saya saran, untuk penulis baru, banyak baca dan temukan tema yang belum banyak diangkat. Ini membantu kita juga dalam "persaingan kepenulisan" karena minim pembanding.

Asa Mulchias @nurhalima dan anazkia: sedikit share ya. Saya pernah jadi redaktur majalah dan bertugas menyeleksi cerpen. Tahu waktu yang saya butuhkan untuk menolak cerpen? Bisa kurang dari 30 detik. Emang agak "kejam" ya, tapi saya diminta menyeleksi 3 tumpukan naskah cerpen dan saya tak mungkin membacanya satu demi satu sampai selesai. 

Yang redaktur lakukan adalah melihat awal, tengah, dan ending. Kalau bagian awal kita tidak "ditangkap" oleh rasa menarik dari cerpen, maka redaktur akan melihat bagian tengahnya. Oh, begini. Oh, begitu. Tuh kan begini. Tuh kan begitu. Lihat ending? Nah, pasti begini, pasti begitu. Dan sret, sret, saya coret naskahnya.

Dalam menulis, kita harus eye-catching dari awal. Beneran deh 

·         Asa Mulchias Berikut, saya kasih contoh cerpen saya. Judulnya: Nona Manis Pesek Sekali
Asa Mulchias Hari ini Manis ulang tahun. Sweet seventeen! Perayaan besar-besaran. Menyewa gedung dan penyanyi wanita segala. Khas orang berada. Biaya: ratusan juta. Kecil. Tidak seberapa. Namanya juga orang kaya. Paling tidak bisa pusing soal uang.
“Apa permintaan kamu, Sayang?”
“Iya. Di hari spesial ini, kamu bisa minta apa saja dari Mama dan Papa.”
“Sungguh, Pa?”
“Sungguh, dong.”
“Sungguh, Ma?”
“Sungguh, dong.”
Manis mencubit-cubit bibir bawahnya. Mencari ide—bola matanya berputar-putar. Tapi, lama dicari, gagasan itu tak muncul jua.
 
“Mmm... nanti saja, deh, Pa. Manis ingin pesta dulu, nih!”
“Oh, iya!” Papa menyesali kebodohannya, “Maafkan Papa, Sayang. Papa lupa. Baiklah, nikmati dulu pestamu yang mewah ini. Papa dan Mama akan menunggu permintaanmu dengan bahagia.”
“Terima kasih, Papa,” Manis lalu melenggang hura-hura. Bernyanyi lagu happy birthday, make a wish, tiup lilin, gemuruh tepuk tangan, salaman plus cium pipi teman-teman. Tertawa. Lepas. Lebar sekali. Ini memang momentumnya. Untuk itulah, mama dan papa Manis tidak akan sudi merusaknya. Ya, sebisa mungkin, tidak akan ada kibasan kepala hari ini. Permintaan Manis—keturunan idaman yang baru nongol 10 tahun pasca ijab kabul—harus diwujudkan, apapun itu.
 
“Manis ingin operasi plastik, Pa,” tukas Manis begitu saja kala pesta telah usai. Uhuk uhuk, Mama langsung tersedak. Papa menganga terperanjat. Ha? Apa?!
 
“Operasi p-plastik?” tergeragap orang tua, tidak menyangka. “Buat apa, Manis? Memangnya bagian wajah mana yang kamu anggap jelek?”
“Hidung, Pa!”
“Hidung?”
“Iya, Manis mau mancung, Pa. Tidak pesek seperti sekarang!”
“Tapi, Sayang...,” Papa membetulkan letak kacamatanya, “bagi Papa, hidung kamu sudah bagus kok. Tidak kurang satu apapun. Kamu... minta kado yang lain saja, ya. Pasti Papa kabulkan!”
“Lho?” Manis meradang—delikan bingkai mata, indikasi tidak rela, “Papa bagaimana, sih!? Tadi di pesta, Papa ‘kan sudah janji mau turuti segala maunya Manis. Tapi sekarang kok omongannya beda lagi?!”
“Bukan begitu, Manis.”
“Habis?” menantang.
“Papa kira hidung kamu tidak butuh operasi plastik. Tidak perlu dipermak-permak lagi, Manis. Bagus begitu; alami—bukan buatan. Percayalah… kamu sudah manis kok, Anakku. Bahkan maniiis sekali!”
Rayuan gombal. Orang tolol mana yang akan percaya?
“Huh!” Gadis bersubang berlian itu mendengus kasar, “Bicara memang gampang, Pa! Tapi selama ini ‘kan Manis yang merasakan punya hidung cetakan luar angkasa begini. Apa Papa tahu, gara-gara hidung Manis pesek, sampai sekarang Manis belum juga punya pacar. Udah begitu, Manis diledekin terus lagi. Cowok-cowok di sekolah bilang hidung Manis mirip kue cucur; jajanan pasar. Manis sakit hati, Pa. Manis tidak tahan! Pokoknya Manis mau operasi! Manis tidak mau sakit hati lagi! Titik!”


Asa Mulchias Tentang cerpen Nadya, Tiga Butir Pengkhianatan

Pertama, temanya berat. Jika dibawakan dengan gaya yang berat, pembaca mungkin akan menghindar.
 

Kedua, menyadari tema berat, penulis perlu pintar-pintar memilih angle penceritaan. Salah angle itu kiamat
 

Ketiga, karakter bukanlah suara penulis. Karakter itu memiliki cara pandangnya sendiri, bukan personifikasi dari ide penulis. Berbeda dengan nonfiksi, di mana penulis menjadi dirinya sendiri, menuangkan semua gagasannya dengan verbal dan apa adanya. Tapi dalam fiksi, berbicara tema yang berat, lalu penulis masuk ke dalam salah satu karakter (seringkali menjadi orang tua yang bijak, atau karakter-karakter "guru" yang mengkritisi tanpa cacat), akan menyebabkan cerpen seperti ceramah. Ingat: cerpen itu adalah cerita pendek, ceramah pendek
 

Dalam cerita, penulis menyampaikan pesan lewat interaksi karakter, kejadian, respon, dampak, sesuatu yang bisa dirasakan pembaca, walau tidak dituliskan pesannya. Jika kita bisa menulis fiksi yang semacam itu, kita akan dihargai dan tidak akan dicap tukang ceramah. Kalau mau menyampaikan ide blak-blakan, ambil jalur nonfiksi. Itu aman. Tapi fiksi itu riskan.
 

Pesannya sederhana: jangan jadikan karakter sebagai corong penulis menyuarakan ide pribadinya. Biarkan karakter itu berpikir dan merasakan sesuai dengan karakternya. Maka, kita pun mendapatkan cerita yang kaya.

Asa Mulchias @nurhalima: sip. Saya salut sama penulis yang bermental siap dikritik. Semangat terus, ya!

Asa Mulchias Bagi yang tertarik untuk menulis cerpen secara lebih profesional, saya buka bimbingan cerpen dan asistensi cerpen. Ada juga private bimbingan novel dan asistensi novel. Dalam bimbingan, saya akan tuntun peserta untuk bisa menulis cerpen atau novel agar lebih terarah dan tidak berantakan. Sedang dalam asistensi cerpen atau novel, saya akan bertindak seperti teman sharing, editor, menyarankan ini dan itu sehingga naskah lebih ciamik dan terarah. Bagi yang tertarik, bisa add saya dan inbox. Nanti kita bicarakan lebih dalam. Private saya based on request, artinya saya akan gali dulu ekspektasi teman-teman, merumuskan masalah, lalu baru menentukan obat dan langkah-langkah pengobatannya.

Asa Mulchias Oke, segitu dulu ya, Teman-teman. Mohon maaf kalau ada kata-kata yang salah. Semoga teman-teman semangat belajar, bukan semangat minta dipuji. 

Nurhalima Tanjung: wah, selamat kalau begitu. Memang, dunia penulisan itu subjektif. Ada yang bilang cocok, ada yang tidak. Saya punya naskah yang ditolak di mana-mana, tapi akhirnya diterima oleh satu penerbit yang punya sudut pandang beda. Bukan berarti satu cerpen dibilang kurang, itu berarti kurang juga bagi orang lain 


Prito Windiarto Asa Mulchias
Author of "Jiwa-jiwa Gagah yang Pantang Menyerah" 
ASA MANAGEMENT: Islamic Education, Spiritual Motivation, and Writing Course. Contact: (021) 41896720. Follow: @Asa_Mulchias. Email: asa.mulchias@gmail.com

#Ada yang masih penasaran? Makanya gabung di Grup FB KPS (Komunitas Pena Santri). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar