Kamis, 16 Mei 2013

Cerpen: Catatan Cinta untuk Kang Aan

Cerpen: Catatan Cinta untuk Kang Aan
Maftuhah As sa'diyah
Suasana indah di saat senja, matahari sudah terlihat di ufuk barat, langit tampak kemerah-merahan, burung-burung terbang serempak selayaknya sekelompok pasukan yang akan meyerang lawan. Semilir angin melambai-lambai menyibakkan jilbab putih seorang gadis yang sedang melangkahkan kakinya. Langkah demi langkah gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak di antara rindangnya alang-alang. Gemercik  air sungai mengalir mengikuti  arah hembusan angin yang sejuk. Rumput-rumput bergoyang menari dengan indah. Gadis itu tetap berjalan dengan mengalunkan suara lembutnya, ia berselawat lirih. Gadis itu bernama Fatimatuz Zahra, atau biasa dipanggil Zahra.
Tiba-tiba langkah kakinya terhentikan oleh suara yang memanggil-manggil namanya, “Zahra, Zahra, tunggu aku.” Panggil Ima sahabat Zahra. “Ima, dari mana kamu?” Tanya Zahra. “Aku dari rumah nenek, Ra. Kamu sendiri dari mana?” Ima balik tanya pada Zahra. “Aku dari rumah Mbak Mimin, pinjam buku Hermeunetika Al-Qur’an.” Jawab Zahra. “Hermeneutika Al-Qur’an? Bukankah kamu jurusan sosial? Hermeneutika al-Qur’an kan untuk mahasiswa jurusan Tafsir Hadis, Ra.” Kata Ima heran. “Iya sih, tapi aku ingin mempelajari dan mengetahui tentang Hermeneutika al-Qur’an.” Jawab Zahra. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin mempelajari Hermeneutika, Ra? Kamu ikut kajian tafsir ya?” Ima penasaran. “Gak kok, aku hanya ingin mengetahui seperti apa ilmu Hermeneutika itu.” Kata Zahra dengan senyum manis yang menyungging dibibirnya. “Baiklah, kalau gitu nanti aku akan belajar Hermeneutika padamu aja yah, Ra? Kata Ima dengan penuh canda. Kemudian mereka berdua meneruskan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak.
Di tengah perjalanan, Ima memulai percakapan, “Zahra, aku mau cerita nih, kamu mau dengerin tidak?”
Kemudian Zahra menjawab, “Tentu saja, memangnya kamu mau cerita apa, Ima?”
“Zahra, sejak beberapa hari yang lalu hingga sekarang seseorang mengirim sms padaku. Awalnya dia hanya sms biasa, tapi tadi malam dia sms ‘Ima, uhibbuki’ (Ima, aku mencintaimu).” Kata Ima sambil memperlihatkan sms pada Zahra.
“Oh ya.. Lalu kamu menjawabnya apa, Ima? Dan siapakah sebenarnya dia? Jika dilihat dari mata dan raut wajahmu, sepertinya kamu juga menyukainya, atau bahkan juga mencintainya, iya kan?” Zahra penasaran.
“Ah.. Zahra bisa aja. Aku tidak menjawabnya seketika itu, aku menanyakan alasannya kenapa dia mencintaiku? Sejak kapan dia mencintaiku? Baru setelah mendapatkan penjelasan darinya, aku menjawab ‘uhibbuka aidlon’ (aku juga mencintaimu). Dia adalah Kang Aan. Siapa yang tidak tertarik padanya, sudah pintar, baik, pengetahuan agamanya sangat mendalam, dan yang terakhir dia tampan pula. Dan dia berjanji suatu saat akan melamarku. Aku sangat senang, Zahra. Bagaimana menurutmu, Ra? Apakah sikapku ini salah?” Ima berekspresi sangat bahagia dan meminta pendapat pada Zahra.
“Tidak ada yang salah, Ima. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Kang Aan adalah calon imam yang baik. Dia pasti mencintaimu dengan tulus. Kalian berdua sangat cocok.” Kata Zahra singkat.
“Terimakasih, Zahra. Kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu selalu ada untukku.”
“Sama-sama, Ima. Kamu juga sahabat terbaikku. Mampir ke rumahku dulu yuk, sambil ngobrol-ngobrol lagi nanti.” Zahra mengajak Ima mampir karena sudah sampai di depan rumahnya.
“Terima kasih, Ra. Tapi aku harus pulang karena hari sudah senja. Kapan-kapan aku akan mampir ke rumahmu. Kita berpisah sampai di sini dulu ya, Assalamu’alaikum.”
“Oke. Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya, Ima.”
Keduanya pun berpisah dan beranjak ke rumah masing-masing. Hari semakin senja, matahari mulai bersembunyi di balik awan. Suasana akan berganti malam. Kan datang rembulan dan bintang-bintang yang menghiasi langit dan menyinari bumi.
***
            Di keheningan malam, dalam suasana yang diam, tiada yang bersuara satupun kecuali detak-detik jarum jam. Di sudut kamar terlihat Zahra sedang duduk terdiam, namun pikirannya tidak diam. Ia teringat ucapan sahabatnya, Ima ‘(Zahra, sejak beberapa hari yang lalu hingga sekarang seseorang mengirim sms padaku. Awalnya dia hanya sms biasa, tapi tadi malam dia sms ‘Ima, uhibbu ilaiki’ (Ima, aku mencintaimu))’. Kemudian Zahra berkata seorang diri dalam hati, “Ima, sebenarnya seseorang yang membuat aku belajar Hermeunetika al-Qur’an adalah Kang Aan. Suatu saat ia pernah bertanya padaku tentang Hermeunetika al-Qur’an. Saat itu aku jawab aku belum pernah mempelajari ilmu itu. Kemudian ia meminta memberitahuku ketika aku sudah tahu tentang ilmu tersebut. Oleh karena itu, aku terinspirasi mempelajarinya.” Tidak lama kemudian kedua mata Zahra terlelap tidur.
***
            Cuaca terasa sangat panas, seakan matahari berada di atas ubun-ubun. Hilir-mudik silih berganti mahasiswa di zona kampus STAIN Lamongan, ada yang datang dan ada yang pergi dengan jaz berwarna biru tua sambil menyandang buku ditangannya. Tak terkecuali Zahra dan Ima, keduanya hendak pulang karena sudah tidak ada jam kuliah.
 “Zahra, mampir ke rumahku dulu yuk, sekalian kita mengerjakan tugas bersama.” Kata Ima kepada Zahra.
“Oke, Ima.” Jawab Zahra singkat. Lalu keduanya berjalan menuju rumah Ima.
            Setiba di rumah Ima, mereka menunaikan sholat Dhuhur, baru kemudian mengerjakan tugas kuliah.
 “Alhamdulillah tugas kita sudah selesai.” Kata Zahra.
“Iya, Ra. Alhamdulillah, tapi kamu jangan pulang dulu ya, aku mau curhat sama kamu.” Kata Ima.
“Iya, Ima. Kamu mau curhat tentang Kang Aan ya? Bagaimana hubungan kalian?” kata Zahra dengan senyum menyungging di bibirnya.
“Yup betul sekali. Hubungan kami baik-baik saja, Ra. Mohon doanya agar sampai dipersinggahan halal. Karena minggu depan Kang Aan akan melamarku. Aku sangat bahagia, Ra.” Jawab Ima dengan bahagia.
 “Alhamdulillah kalau begitu, Im. Doaku selalu menyertai kalian berdua.” Jawab Zahra.
“Lalu kamu kapan akan menyusul, Ra?” Kata Ima.
 “Nanti jika sudah tiba masanya.” Zahra menjawab dan tersenyum.
“Baiklah kalau begitu, pokoknya dengan siapa pun nanti, kamu harus cerita sama aku ya. Dan aku berharap akulah orang pertama yang akan kamu kasih tahu. Sebagaimana aku selalu cerita padamu, Ra.” Kata Ima.
“Iya, tenang saja, Ima. Kamu akan menjadi orang pertama yang akan aku kasih tahu dengan siapa pasangan hidupku nanti. Oh iya, aku harus pulang sekarang. Karena hari sudah semakin sore.” Zahra berpamitan sambil memeluk Ima.
“Iya, Zahra. Hati-hati di jalan ya.” Jawab Ima. ‘Ima. aku titipkan Kang Aan padamu. Tolong jaga dia baik-baik ya.’ Kata Zahra dalam hati sebelum beranjak pergi.   
“Iya, Ima. Assalamu’alaikum.” Kata Zahra.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Ima.
            Tidak lama setelah melangkahkan kaki dari rumah Ima, tiba-tiba pandangan Zahra kabur, kepalanya terasa pusing, dan hidungnya berdarah. Hingga semua menjadi gelap dan Zahra tak sadarkan diri, tubuhnya lemah dan terjatuh tepat di depan halaman rumah Ima.
“Zahra, kamu kenapa?” Ima berlari ke arah Zahra.
“Tolong..tolong..Mas Ainul..tolong Zahra, dia pingsan.” Teriak Ima minta tolong pada saudaranya yang kebetulan ada di rumah. Ainul pun keluar, dan membawanya ke rumah sakit bersama Ima. Dalam perjalanan ke rumah sakit Ima menghubungi bapak dan ibu Zahra di rumah, “Assalamu’alaikum ibu, ini Ima.”
“Iya nak Ima, ada apa?” Tanya ibu Zahra.
“Tadi ketika Zahra hendak pulang, tiba-tiba dia pingsan di depan rumah Ima, bu. Sekarang saya dan Mas Ainul akan membawa Zahra ke rumah sakit. Tapi kami hendak ke rumah bapak dan ibu dulu untuk menjemput bapak dan ibu. Bagaimana, bu?” kata Ima.
“Baiklah nak Ima, kami akan bersiap-siap.” Kata ibu singkat.
***
            “Dokter, bagaimana keadaan anak kami?” Tanya ibu Zahra di ruang dokter.
“Keadaan saudari Zahra kritis, pak, bu. Seharusnya dia menjalani kemoterapi, tapi dia selalu menolak.” Kata dokter.
“Apa, Dok? Kemoterapi? Memangnya anak kami menderita penyakit apa?” bapak dan ibu Zahra terkejut.
“Apakah selama ini Zahra tidak bercerita mengenai penyakit yang dideritanya pada bapak dan ibu?” Tanya Dokter pada orang tua Zahra.
“Tidak, Dok? Sebenarnya Zahra sakit apa?” Tanya ibu Zahra sambil meneteskan air mata.
“Sejak tujuh bulan yang lalu Zahra menderita kanker otak. Waktu itu saya sudah menyuruhnya untuk melakukan kemoterapi, tapi dia menolak. Katanya biaya kemoterapi sangat mahal, jadi dia tidak melakukannya.” Dokter menjelaskan.
“Zahra, kenapa kamu tidak pernah cerita pada kami, nak. Apa tidak ada cara lain agar dia bisa sembuh, Dokter? Masih bisa dioperasi, kan?” ibu Zahra semakin cemas.
“Bisa dioperasi, bu. Tapi resikonya sangat besar.” Kata Dokter. “ Tenang, bu. Tenangkan pikiran ibu, sebaiknya sekarang kita lihat bagaimana keadaan Zahra dan berdoa agar Zahra segera sembuh.” kata bapak mencoba menenangkan ibu. Kemudian mereka ke kamar di mana Zahra dirawat.
            “Bapak… Ibu….” Lirih Zahra.
“Zahra, kamu sudah sadar, nak. Bapak dan ibu ada di sini.” Kata ibu.
“Bapak….Ibu…maafin Zahra ya, karena selama ini Zahra sudah membuat repot bapak dan ibu. Dan terimakasih untuk semuanya.” Kata Zahra dengan tetesan air mata membasahi pipi.
“Jangan bicara seperti itu, nak. Kamu adalah anak yang membanggakan. Kamu adalah anugerah bagi kami.” Kata ibu.
 “Iya, nak. Jangan lagi kamu bicara seperti itu.” Kata bapak sambil memegang tangan Zahra.
“Ima, maafin aku ya atas semua kesalahanku padamu. Dan terimakasih karena kamu sudah mau menjadi sahabat yang selalu ada untukku. Jika aku telah tiada, jangan pernah melupakan aku ya. Sering-seringlah main ke rumahku, agar bapak dan ibu tidak kesepian.” Kata Zahra pada Ima.
“Zahra, tolong jangan bicara seperti itu, kita akan selalu bersama. Kamu akan sembuh.” Kata Ima dengan memeluk Zahra.
            “Asyhaduanlaa ilaahaillallah.. wa asyhaduanna muhammadurrosulullah.” Zahra mengucapkan kalimat terakhirnya, ia pun menutup mata untuk selama-lamanya.
 “Zahra, bangun, nak. Jangan pejamkan matamu. Bangun, nak..” teriak ibu. “Innalillahi wa innailaihi roji’un, Zahra sudah meninggalkan kita semua, bu.” Kata bapak dengan tegar. Beberapa saat kemudian Zahra dipulangkan dan dimakamkan.
***
            Tiga hari setelah kepergian Zahra, Ima berkunjung ke rumah Zahra, sekalian ia juga hendak mengembalikan buku Zahra yang dipinjamnya.
“Assalamu’alaikum, ibu. Saya ingin mengembalikan buku Zahra.”
“Wa’alaikumsalam, iya, nak Ima. Masuklah ke kamar Zahra. Rumah Zahra juga rumahmu, Ima.” kata ibu. Ima pun masuk ke kamar Zahra. Ia teringat kenangan bersama sahabatnya di kamar tersebut. Ia memandangi foto Zahra dan air matanya pun membasahi pipinya. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada amplop yang bersandar di tembok di atas meja belajar Zahra. Tangan Ima menggapai amplop tersebut dan membukanya. Di dalamnya terdapat surat dari Dokter, Ima membacanya. Dalam surat tersebut tertera bahwa Fatimatuz Zahra menderita kanker otak stadium akhir.
“Tidak..Tidak mungkin.. Zahra, kenapa selama ini kamu tidak bercerita padaku bahwa kamu sakit?” kata Ima sambil sesenggukan.
Ima juga melihat buku catatan kecil berwarna biru muda. Terdapat lima buku catatan biru muda di meja belajar Zahra. Ima membacanya satu persatu, ia terkejut. Ternyata buku catatan tersebut semua berisikan tentang perasaannya terhadap Kang Aan.
“Jadi selama ini orang yang kamu cintai adalah Kang Aan, bahkan kamu mencintainya lebih dulu dari pada aku. Kamu telah mencintai Kang Aan sejak sepuluh tahun yang lalu. Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya padaku, Ra? Padahal selama ini aku bercerita tentang Kang Aan padamu. Kamu pasti cemburu, kan? Maafkan aku, Ra. Aku tidak tahu kalau kamu mencintai Kang Aan lebih dulu dari pada aku. Kamu terlalu baik, Ra. Kamu menyembunyikan banyak hal dari orang lain, padahal itu menjadi derita bagimu.” Kata Ima tak bisa berhenti menangis.
***
            Di taman kampus, Ima menemui Kang Aan, ”Kang Aan, aku ingin kamu membaca catatan-catatan ini. Ini adalah catatan cinta untukmu.” Kata Ima sambil memberikan buku catatan Zahra pada Kang Aan.
“Apa maksudmu, dik Ima? Milik siapa buku ini?” Tanya Kang Aan heran.
“Baca saja, kang. Nanti kamu akan mengerti.” Jawab Ima. kemudian Kang Aan mulai membuka satu persatu buku tersebut. Lembaran demi lembaran ia baca, tulisan di dalamnya membuat linangan air mata Kang Aan. Dalam buku tersebut, Zahra selalu menggoreskan penanya. Zahra menuliskan setiap suasana perasaannya mengenai Kang Aan. Zahra telah menulisnya dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. Sudah sepuluh tahun Zahra menuliskan perasaannya dalam lima buku catatan. Diakhir catatan, Zahra menuliskan,
            Untuk orang yang selama ini aku cintai (Kang Aan),
            Selama bertahun-tahun aku menantimu. Selama bertahun-tahun aku memendam perasaan cinta terhadapmu. Harapanku selama ini adalah kau memiliki perasaan yang sama terhadapku. Namun, harapan hanyalah sebuah harapan. Nyatanya kau menyukai seseorang. Dan ia adalah sahabatku. Saat pertama kali aku mendengarnya, aku sangat terluka. Tapi wajar jika kau memilih dia. Karena dia lebih baik, lebih cantik, lebih sholehah, lebih pintar, dan lebih cerdas dari pada aku. Dengan berbesar hati, aku akan merelakanmu bersamanya.
Hampir setiap hari aku menulis tentangmu di buku catatan kecilku. Aku menulis ketika aku merindukanmu, ketika aku ingin melihat senyummu, ketika aku ingin bertemu denganmu walaupun itu dari balik jendela dan dari kejauhan. Aku selalu menulis ‘aku akan selalu setia menunggumu dan aku akan selalu mencintaimu’. Aku ingin suatu saat nanti kamu membaca tulisan-tulisanku tentangmu, entah ketika aku masih ada atau sudah tiada. Hingga sampai saat ini, semua sms darimu, masih kusimpan di arsip pesanku. I will always wait for you!!
            “Zahra, sesungguhnya aku juga pernah memiliki perasaan yang sama terhadapmu, dan cintaku terhadapmu pun telah berlangsung hampir sepuluh tahun. Namun, ada sahabatku yang juga menyukaimu. Dia adalah Ainul, kakak kandung Ima. Sejak saat itulah aku mencoba ‘tuk melupakanmu dan akan melamar Ima, sahabatmu. Sungguh aku tidak tahu bahwa kita memiliki perasaan yang sama. Maafkan aku, Zahra.” Kata Kang Aan dalam hati dengan linangan air mata yang tidak bisa dibendung.
*cerpen ini terinspirasi dari sebuah hadis: (Diriwayatkan oleh Hakim, Khatib, Ibnu Asakir, Dailami dan lainny; Rasulullah bersabda; “Barang siapa yang jatuh cinta, lalu tetap menjaga kesucian dirinnya, menyembunyikan rasa cintanya dan bersabar hingga mati maka dia mati syahid.” Sungguh sangat beruntung orang yang mencintai dengan kesucian diri dan berlindung dari godaan syetan yang terkutuk. Tentunya orang yang menjaga cintanya yang suci hingga ia meninggal dunia). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar