Minggu, 26 Mei 2013

Cerpen: Seuntai Harapan

Cerpen: Seuntai Harapan
Oleh: Shusi Essilent


Aku adalah anak kelahiran Mei 1993 dan terlahir dari kalangan keluarga yang waktu itu bisa dibilang tercukupi, karena saat itu Ayahku bekerja sebagai penjual matrial terbesar di kampung tempat tinggalku, sementara ibuku pun seorang tukang jahit yang selalu banyak orderan disertai dengan warung yang cukup besar.
Sementara waktu itu, semua kakakku tidak ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yang ada dalam pikiran mereka hanya kerja dan kerja, dengan 1001 alasan, hingga orangtuaku pun akhirnya jera menasehatinya.
Dunia memang berputar. Kadang di bawah, terkadang pula di atas. Begitu pula dengan keadaan ekonomi keluargaku, kerjaan Ayahku bangkrut karena terlalu banyak orang yang menghutang, pada akhirnya berhenti dari profesi itu. Dan hanya menekuni sebagai pedagang warung saja.
Usiaku saat itu masih 2 tahun, dan masa-masanya ingin dimanja. Terlebih sebagai anak bungsu. Sehingga apapun yang aku minta selalu dikabulkannya. Pamanku yang saat itu selalu datang untuk meminjam uang yang cukup besar selalu dituruti oleh ayahku, meski ibu dan semua kakakku telah curiga akan tipu muslihatnya kepada Ayah. Sementara Ayahku tak menggubris mereka, dan hanya tunduk patuh pada paman saja.
Namun lambat laun Ayahku pun tersadar ketika simpanan makin berkurang, sementara janji dari paman tak pernah ditepati. Dari sanalah semua bangkrut. Tak ada lagi warung besar, tak ada lagi orderan baju pada ibuku, karena semakin banyak tukang jahit. Sementara saat itu aku duduk di kelas 4 SD, dan kakakku yang baru saja menyelesaikan sekolah dasarnya, tak tahu harus melanjutkan kemana.
Mungkin, sudah kehendak-Nya. Anak dari guru Ayahku semasa di pesantren datang menghampiri rumah kami. Itu pun beliau harus mencari-cari dahulu letak di mana tempat tinggal keluargaku, yang bertujuan untuk menanyakan anak Ayahku yang masih bersekolah, dan  bersedia dimasukkan dan dididik oleh beliau. Akhirnya kakakku pun di masukkan ke lembaga pendidikan itu, Pondok pesantren modern Al-madina yang berada di Pandeglang, yang saat ini kami masih tinggal di sana, dan masuk sebagai kelas 1 KMI (kuliyyatu-l- mualliminAl-islamiyyah).
Setelah aku menyelesaikan sekolah dasar, aku pun disekolahkan di lembaga itu. Sejak saat itulah kedua orangtuaku berharap banyak kepada aku dan kakakku, begitu pula dengan kakakku yang telah berumah tangga, mereka menyesal tak mendengarkan nasihat  orangtua dulu untuk melanjutkan sekolah. Dan nasihat pun tak pernah henti, selalu mengalir seperti air kepadaku dan kakakku, agar kami berdua dapat menjadi orang yang berilmu dan berpendidikan.
Orangtuaku berjuang keras untuk membiayai kami berdua,hampir setiap minggu kami ditengoknya, dari rumah yang terletak di kecamatan Tunjung teja menuju Pandeglang yang cukup jauh, dengan senang hati ditempuh oleh Ayahku seorang diri yang kini sudah mulai renta, yang seharusnya mereka gunakan waktu senja itu dengan istirahat saja, tapi dia semakin berkerja keras, membanting tulang dengan cara berkebun dan turun ke sawah yang dahulu tak pernah dilakukannya sendiri, kini harus turun sendiri agar hasilnya lebih banyak. Semuanya mereka lakukan demi aku dan kakakku di pesantren yang telah menuruti permintaannya untuk terus menuntut ilmu.
Aku berpikir dan sebisa mungkin aku belajar dengan fokus, agar aku dapat membanggakan mereka. Alhasil, tak ada yang sia-sia jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah setiap tahun aku selalu masuk dalam 3 besar, meski aku sendiri ragu mendapatnya, serta terpilih dalam komunitas untuk memperdalam ilmu nahwu bersama Mudir (Pimpinan pondok) ketika aku duduk di kelas 2 semester akhir, ketika itu aku semakin menyenangi B. Arab dan bertekad untuk masuk Sastra Arab jika aku sudah lulus nanti.
Semangatku pun semakin menggebu-gebu untuk membanggakan kedua orangtuaku, namun…aku yang sering mengeluh atas keadaanku yang pemalu dan tak bisa melafalkan huruf R dengan jelas. Itulah yang membuatku semakin malu dan enggan bersuara, dan lebih senang berdiam diri saja, hingga aku dapat sebutan Silentygirl dari teman dan guruku.
Akhir kelas 5 KMI atau kelas 2 MA, aku senang membaca cerpen dan  menulis cerita, karena dengan menulis aku bisa mencurahkan isi hatiku pada secarik kertas putih, dan tak perlu bagiku untuk banyak omong, meski saat itu dalam kepengurusan aku menduduki bagian pengajaran yang harus berperan aktiv ketika para anggota di mesjid, dan tentunya harus banyak mengeluarkan suara.
Liburan semester pun tiba, dan itu adalah liburan terakhir. Karena liburan lebaran nanti aku tidak pulang, dan itu sudah peraturan mutlaq dari pondok untuk menetap di sana bagi siswa akhir KMI, yang mana waktunya itu dipakai dengan belajar sungguh-sungguh untuk mempersiapkan program di kelas akhir itu, terlebih hafalan setengahnya dari nadzom al-fiah atau 500 baitnya, yang dihafal di atas panggung-di depan khalayak ramai pada hari H nanti. Yang tentunya akan membanggakan bagi yang hafal dan memalukan keluarga pula bagi yang tidak hafal.
Seperti biasa, waktu liburanku dihabiskan dengan di rumah saja, bahkan hanya untuk duduk di serambinya pun aku enggan karena malu dan tak punya nyali. Namun orangtuaku pun tak pernah berkomen apa-apa, hanya sesekali menyuruhku keluar rumah saja.
Saat liburan itulah aku benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana orangtua berjuang demi aku dan kakakku di pondok, semua simpanannya mulai surut, bahkan dibilang telah habis apa-apa, sementara orang yang mempunyai sangkutan kepada Ayahku hanya mengulur-ngulur janji, tak seorang pun dari mereka yang menepatinya, terlebih pamanku yang mempunya sangkutan cukup besar itu.
Di kejauhan sana, hatiku menjerit. Melihat keadaan mereka yang berjuang keras untukku. Aku lihat ibuku yang sedang tertidur tergeletak di lantai, dari raut mukanya terlihat sangat lelah, kulitnya pun kini mulai berkeriput. Serta rambut yang dulu hitam kini berganti menjadi putih. Bahkan rumah pun tempat mereka berteduh, kini mulai compang-camping, besar, tapi berserakan tak terurus. Dan jika hujan, bocor pun di mana-mana. Tapi mereka tak pedulikan itu, uang yang mereka hasilkan selalu dikumpulkanuntuk aku dan kakakku di pondok. Terkadang jika kami minta sesuatu, langsung dikabulkannya, tak tahu mereka dapat uang dari mana?.
Semampu mungkin aku membantu mereka,bahkan pernah terucap kepada Ayah ketika dia menengokku di Pondok “aku ingin berkerja dan pindah dari pesantren, udah gak betah”. Namun, Ayah tak menggubrisku, bahkan dia pulang begitu aja meninggalkanku yang sedang menangis saat itu setelah menasehatiku.
Aku yang saat itu berpikir kalau Ayahku egois, harus selalu menuruti perintahnya. Tapi aku salah, semuanya untuk kebaikanku. Beberapa hari setelah itu, nasehat kembali meluncur padaku, oleh saudaraku yang menjadi tenaga pengajar di sana, bahwasannya Ayahku menangis kepada teman dekatnya, karena mendengar aku yang ingin pindah. Merasa akan gagal kembali mendidik anaknya.
“Ya Allah…begitu durhakanya aku, telah membuat orang tua menangis, aku telah menghancurkan harapan besarnya kepadaku”. Aku pun bersegera minta maaf kepadanya, atas kekhilafanku kemarin. Aku berjanji untuk mengharumkan nama mereka, apa pun akan kutempuh untuk mereka, Anythink for you…Ayah...Ibu.
Dipelulusan kemarin, aku beserta satu temanku mampu membawa harum nama graduette  (Alumni) kami saat itu, terlebih Orangtua. Dengan pertama kalinya ada Alumni yang mampu menghafal Al-fiah1002bait. Orangtuaku menangis haru atas itu, bahkan orang yang menghadiri pun ikut menumpahkan air mata kebanggaan. Sehingga banyak orang yang menguji atas prestasi yang kami raih. Meski aku hanya sebatas menghafalnya saja, tanpa aku paham satu persatu makna dari bait Al-fiah itu. Lain halnya dengan temanku itu yang bernama Ade, dia hampir paham semuanya, terlebih setelah lulus dia mendalami kembali semua ajaran kitab kuning, serta Al-fiah. Karena untuk melanjutkan kembali perjuangan pondok salaf Ayahnya yang tak lama setelah pelulusan kemarin telah menghadap Sang Ilahi.
Aku benar-benar mensyukuri atas apa yang telah Allah anugerahkan padaku, saking bangganya Orangtua, mereka ceritakan atas prestasiku kepada saudara-saudara, bahkan tak sedikit pujian dari Orang yang menghadiri acara itu kepada Ayah dan ibuku sampai mereka bertanya, “Amal apa yang dilakukan ibu, hingga punya anakpintar seperti ini”.
Terkadang aku risau, jika mendengar itu. Karena aku tak seperti yang mereka bayangkan. Aku tak bisa apa-apa, hanya sebatas hafal saja, lain halnya dengan temanku itu. Itu pun kemarin hafalnya, jika ditanya sekarang aku masih hafal atau tidak, aku tak sanggup untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku yang jarang sekali mengulang kembali, meski hadiahnya sebuahlaptop, telah ada ditanganku, serta untuk meraihnya, Orangtuaku harus menjual ini dan itu terlebih dulu, dan dengan niat aku akan tetap mengulanginya lagi.
Setelah mendapatkan panggilan pengabdian. Banyak waktu yang terbuang sia-sia, Aku yang saat itu hanya mendapati jadwal mengajar ba’da dzuhur saja, tak kugunakan dengan baik, meski setelah pelulusan itu aku mendapati amanat langsung dari Mudir untuk menghafal Al-Qur’an dan mengulang kembali hafalan Alfiah. Kuliah pun tak seutuhnya mendarah daging, karena aku yang telah berambisi untuk mengambil Sastra Arab, tapi harus rela masuk ke dalam Sastra Inggris, meski kata Dosen, semua bahasa sama saja.
Pikiranku saat ini kacau balau, bahkan aku mendapat sebutan “Galau Nusantara”dari Dosenku, semuanya karena ulahku sendiri. Aku yang terjebak dalam permainan cinta. Meski sebelumnya aku telah berniat tak akan mengenal make affair dahulu sebelum aku menyandang gelar sarjana. Namun, saat itu aku terjebak, aku yang berpikir dia sangat perfect dalam ukuran manusia di mataku, tapi nyatanya dia melukaiku, cinta pertamaku berakhir tragis. Berhari-hari sampai berbulan-bulan aku larut dalam kesedihan, bahkan ketika MK dimulai pun, aku menangis, tak mampu lagi menahan bendungan air mata ini. Untung saja saat itu Dosennya mengerti akan keadaanku.
Tapi kini, setelah dua bulan berjalan. Aku kembali memikirkan Orang tua. Mungkin, jika mereka tahu aku seperti ini. Mereka akan kecewa. Ayah, Ibumaafkanaku, entah untuk yang keberapa kali aku membuat kalian kecewa. Ya Allah… mohon ampun aku. Terkadang aku menyesali, kenapa semuanya harus terjadi, mengapa aku harus bertemu dengan dirinya? Namun… aku tersadar, semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak-Nya, dan semuanya pasti ada hikmahnya, serta memberikan pelajaran untukku.
Yang ada dalam benakku sekarang, aku hanya ingin ketenangan hati, ketenangan untuk belajar seperti dulu, tanpa harus memikirkan apa-apa. Serta membahagiakan Orangtuaku. Mewujudkan impian besar mereka, melihat aku mengenakan Toga−baju kebanggaan Sarjana. Karena semuanya akan aku lakukan untukmu, Ayah…dan ibuku.YaAllah…tunjukan aku jalan lurus-Mu−menuju  jalan yang KAU ridhai.
Pandeglang, 23 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar