Cerpen: Seuntai Harapan
Aku
adalah anak kelahiran Mei 1993 dan terlahir dari kalangan keluarga yang waktu
itu bisa dibilang tercukupi, karena saat itu Ayahku bekerja sebagai penjual
matrial terbesar di kampung tempat tinggalku, sementara ibuku pun seorang
tukang jahit yang selalu banyak orderan disertai dengan warung yang cukup
besar.
Sementara
waktu itu, semua kakakku tidak ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi, yang ada dalam pikiran mereka hanya kerja dan kerja, dengan 1001
alasan, hingga orangtuaku pun akhirnya jera menasehatinya.
Dunia
memang berputar. Kadang di bawah, terkadang pula di atas. Begitu pula dengan
keadaan ekonomi keluargaku, kerjaan Ayahku bangkrut karena terlalu banyak orang
yang menghutang, pada akhirnya berhenti dari profesi itu. Dan hanya menekuni
sebagai pedagang warung saja.
Usiaku
saat itu masih 2 tahun, dan masa-masanya ingin dimanja. Terlebih sebagai anak
bungsu. Sehingga apapun yang aku minta selalu dikabulkannya. Pamanku yang saat
itu selalu datang untuk meminjam uang yang cukup besar selalu dituruti oleh
ayahku, meski ibu dan semua kakakku telah curiga akan tipu muslihatnya kepada
Ayah. Sementara Ayahku tak menggubris mereka, dan hanya tunduk patuh pada paman
saja.
Namun
lambat laun Ayahku pun tersadar ketika simpanan makin berkurang, sementara
janji dari paman tak pernah ditepati. Dari sanalah semua bangkrut. Tak ada lagi
warung besar, tak ada lagi orderan baju pada ibuku, karena semakin banyak
tukang jahit. Sementara saat itu aku duduk di kelas 4 SD, dan kakakku yang baru
saja menyelesaikan sekolah dasarnya, tak tahu harus melanjutkan kemana.
Mungkin,
sudah kehendak-Nya. Anak dari guru Ayahku semasa di pesantren datang
menghampiri rumah kami. Itu pun beliau harus mencari-cari dahulu letak di mana
tempat tinggal keluargaku, yang bertujuan untuk menanyakan anak Ayahku yang
masih bersekolah, dan bersedia
dimasukkan dan dididik oleh beliau. Akhirnya kakakku pun di masukkan ke lembaga
pendidikan itu, Pondok pesantren modern Al-madina yang berada di
Pandeglang, yang saat ini kami masih tinggal di sana, dan masuk sebagai kelas 1
KMI (kuliyyatu-l- mualliminAl-islamiyyah).
Setelah
aku menyelesaikan sekolah dasar, aku pun disekolahkan di lembaga itu. Sejak
saat itulah kedua orangtuaku berharap banyak kepada aku dan kakakku, begitu
pula dengan kakakku yang telah berumah tangga, mereka menyesal tak mendengarkan
nasihat orangtua dulu untuk melanjutkan
sekolah. Dan nasihat pun tak pernah henti, selalu mengalir seperti air kepadaku
dan kakakku, agar kami berdua dapat menjadi orang yang berilmu dan
berpendidikan.
Orangtuaku
berjuang keras untuk membiayai kami berdua,hampir setiap minggu kami
ditengoknya, dari rumah yang terletak di kecamatan Tunjung teja menuju
Pandeglang yang cukup jauh, dengan senang hati ditempuh oleh Ayahku seorang
diri yang kini sudah mulai renta, yang seharusnya mereka gunakan waktu senja
itu dengan istirahat saja, tapi dia semakin berkerja keras, membanting tulang
dengan cara berkebun dan turun ke sawah yang dahulu tak pernah dilakukannya
sendiri, kini harus turun sendiri agar hasilnya lebih banyak. Semuanya mereka
lakukan demi aku dan kakakku di pesantren yang telah menuruti permintaannya
untuk terus menuntut ilmu.
Aku berpikir
dan sebisa mungkin aku belajar dengan fokus, agar aku dapat membanggakan
mereka. Alhasil, tak ada yang sia-sia jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Alhamdulillah setiap tahun aku selalu masuk dalam 3 besar, meski aku sendiri
ragu mendapatnya, serta terpilih dalam komunitas untuk memperdalam ilmu nahwu
bersama Mudir (Pimpinan pondok) ketika aku duduk di kelas 2 semester
akhir, ketika itu aku semakin menyenangi B. Arab dan bertekad untuk masuk
Sastra Arab jika aku sudah lulus nanti.
Semangatku
pun semakin menggebu-gebu untuk membanggakan kedua orangtuaku, namun…aku yang
sering mengeluh atas keadaanku yang pemalu dan tak bisa melafalkan huruf R
dengan jelas. Itulah yang membuatku semakin malu dan enggan bersuara, dan lebih
senang berdiam diri saja, hingga aku dapat sebutan Silentygirl dari
teman dan guruku.
Akhir
kelas 5 KMI atau kelas 2 MA, aku senang membaca cerpen dan menulis cerita, karena dengan menulis aku
bisa mencurahkan isi hatiku pada secarik kertas putih, dan tak perlu bagiku untuk
banyak omong, meski saat itu dalam kepengurusan aku menduduki bagian pengajaran
yang harus berperan aktiv ketika para anggota di mesjid, dan tentunya harus
banyak mengeluarkan suara.
Liburan
semester pun tiba, dan itu adalah liburan terakhir. Karena liburan lebaran
nanti aku tidak pulang, dan itu sudah peraturan mutlaq dari pondok untuk
menetap di sana bagi siswa akhir KMI, yang mana waktunya itu dipakai dengan
belajar sungguh-sungguh untuk mempersiapkan program di kelas akhir itu,
terlebih hafalan setengahnya dari nadzom al-fiah atau 500 baitnya,
yang dihafal di atas panggung-di depan khalayak ramai pada hari H nanti. Yang
tentunya akan membanggakan bagi yang hafal dan memalukan keluarga pula bagi
yang tidak hafal.
Seperti
biasa, waktu liburanku dihabiskan dengan di rumah saja, bahkan hanya untuk
duduk di serambinya pun aku enggan karena malu dan tak punya nyali. Namun
orangtuaku pun tak pernah berkomen apa-apa, hanya sesekali menyuruhku keluar
rumah saja.
Saat
liburan itulah aku benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
bagaimana orangtua berjuang demi aku dan kakakku di pondok, semua simpanannya
mulai surut, bahkan dibilang telah habis apa-apa, sementara orang yang
mempunyai sangkutan kepada Ayahku hanya mengulur-ngulur janji, tak seorang pun
dari mereka yang menepatinya, terlebih pamanku yang mempunya sangkutan cukup
besar itu.
Di
kejauhan sana, hatiku menjerit. Melihat keadaan mereka yang berjuang keras
untukku. Aku lihat ibuku yang sedang tertidur tergeletak di lantai, dari raut
mukanya terlihat sangat lelah, kulitnya pun kini mulai berkeriput. Serta rambut
yang dulu hitam kini berganti menjadi putih. Bahkan rumah pun tempat mereka
berteduh, kini mulai compang-camping, besar, tapi berserakan tak terurus. Dan
jika hujan, bocor pun di mana-mana. Tapi mereka tak pedulikan itu, uang yang
mereka hasilkan selalu dikumpulkanuntuk aku dan kakakku di pondok. Terkadang
jika kami minta sesuatu, langsung dikabulkannya, tak tahu mereka dapat uang
dari mana?.
Semampu
mungkin aku membantu mereka,bahkan pernah terucap kepada Ayah ketika dia
menengokku di Pondok “aku ingin berkerja dan pindah dari pesantren, udah gak
betah”. Namun, Ayah tak menggubrisku, bahkan dia pulang begitu aja
meninggalkanku yang sedang menangis saat itu setelah menasehatiku.
Aku
yang saat itu berpikir kalau Ayahku egois, harus selalu menuruti perintahnya.
Tapi aku salah, semuanya untuk kebaikanku. Beberapa hari setelah itu, nasehat
kembali meluncur padaku, oleh saudaraku yang menjadi tenaga pengajar di sana,
bahwasannya Ayahku menangis kepada teman dekatnya, karena mendengar aku yang
ingin pindah. Merasa akan gagal kembali mendidik anaknya.
“Ya
Allah…begitu durhakanya aku, telah membuat orang tua menangis, aku telah
menghancurkan harapan besarnya kepadaku”. Aku
pun bersegera minta maaf kepadanya, atas kekhilafanku kemarin. Aku berjanji
untuk mengharumkan nama mereka, apa pun akan kutempuh untuk mereka, Anythink
for you…Ayah...Ibu.
Dipelulusan
kemarin, aku beserta satu temanku mampu membawa harum nama graduette (Alumni) kami saat itu, terlebih Orangtua.
Dengan pertama kalinya ada Alumni yang mampu menghafal Al-fiah1002bait.
Orangtuaku menangis haru atas itu, bahkan orang yang menghadiri pun ikut
menumpahkan air mata kebanggaan. Sehingga banyak orang yang menguji atas
prestasi yang kami raih. Meski aku hanya sebatas menghafalnya saja, tanpa aku
paham satu persatu makna dari bait Al-fiah itu. Lain halnya dengan
temanku itu yang bernama Ade, dia hampir paham semuanya, terlebih setelah lulus
dia mendalami kembali semua ajaran kitab kuning, serta Al-fiah.
Karena untuk melanjutkan kembali perjuangan pondok salaf Ayahnya yang tak
lama setelah pelulusan kemarin telah menghadap Sang Ilahi.
Aku
benar-benar mensyukuri atas apa yang telah Allah anugerahkan padaku, saking
bangganya Orangtua, mereka ceritakan atas prestasiku kepada saudara-saudara,
bahkan tak sedikit pujian dari Orang yang menghadiri acara itu kepada Ayah dan
ibuku sampai mereka bertanya, “Amal apa yang dilakukan ibu, hingga punya
anakpintar seperti ini”.
Terkadang
aku risau, jika mendengar itu. Karena aku tak seperti yang mereka bayangkan.
Aku tak bisa apa-apa, hanya sebatas hafal saja, lain halnya dengan temanku itu.
Itu pun kemarin hafalnya, jika ditanya sekarang aku masih hafal atau tidak, aku
tak sanggup untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku yang jarang sekali
mengulang kembali, meski hadiahnya sebuahlaptop, telah ada ditanganku, serta
untuk meraihnya, Orangtuaku harus menjual ini dan itu terlebih dulu, dan dengan
niat aku akan tetap mengulanginya lagi.
Setelah
mendapatkan panggilan pengabdian. Banyak waktu yang terbuang sia-sia, Aku yang
saat itu hanya mendapati jadwal mengajar ba’da dzuhur saja, tak kugunakan
dengan baik, meski setelah pelulusan itu aku mendapati amanat langsung dari
Mudir untuk menghafal Al-Qur’an dan mengulang kembali hafalan Alfiah.
Kuliah pun tak seutuhnya mendarah daging, karena aku yang telah berambisi untuk
mengambil Sastra Arab, tapi harus rela masuk ke dalam Sastra Inggris, meski
kata Dosen, semua bahasa sama saja.
Pikiranku
saat ini kacau balau, bahkan aku mendapat sebutan “Galau Nusantara”dari
Dosenku, semuanya karena ulahku sendiri. Aku yang terjebak dalam permainan cinta.
Meski sebelumnya aku telah berniat tak akan mengenal make affair dahulu
sebelum aku menyandang gelar sarjana. Namun, saat itu aku terjebak, aku yang
berpikir dia sangat perfect dalam ukuran manusia di mataku, tapi
nyatanya dia melukaiku, cinta pertamaku berakhir tragis. Berhari-hari sampai
berbulan-bulan aku larut dalam kesedihan, bahkan ketika MK dimulai pun, aku
menangis, tak mampu lagi menahan bendungan air mata ini. Untung saja saat itu
Dosennya mengerti akan keadaanku.
Tapi
kini, setelah dua bulan berjalan. Aku kembali memikirkan Orang tua. Mungkin,
jika mereka tahu aku seperti ini. Mereka akan kecewa. Ayah, Ibu…maafkanaku,
entah untuk yang keberapa kali aku membuat kalian kecewa. Ya Allah… mohon
ampun aku. Terkadang aku menyesali, kenapa semuanya harus terjadi, mengapa
aku harus bertemu dengan dirinya? Namun… aku tersadar, semua yang terjadi di
dunia ini atas kehendak-Nya, dan semuanya pasti ada hikmahnya, serta memberikan
pelajaran untukku.
Yang
ada dalam benakku sekarang, aku hanya ingin ketenangan hati, ketenangan untuk
belajar seperti dulu, tanpa harus memikirkan apa-apa. Serta membahagiakan
Orangtuaku. Mewujudkan impian besar mereka, melihat aku mengenakan Toga−baju kebanggaan
Sarjana. Karena semuanya akan aku lakukan untukmu, Ayah…dan ibuku.YaAllah…tunjukan
aku jalan lurus-Mu−menuju jalan yang KAU
ridhai.
Pandeglang, 23 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar