Cerpen: Catatan Cinta untuk Kang Aan
Maftuhah As sa'diyah
Suasana indah di saat senja, matahari sudah terlihat
di ufuk barat, langit tampak kemerah-merahan, burung-burung terbang serempak
selayaknya sekelompok pasukan yang akan meyerang lawan. Semilir angin
melambai-lambai menyibakkan jilbab putih seorang gadis yang sedang melangkahkan
kakinya. Langkah demi langkah gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak di antara
rindangnya alang-alang. Gemercik air
sungai mengalir mengikuti arah hembusan
angin yang sejuk. Rumput-rumput bergoyang menari dengan indah. Gadis itu tetap
berjalan dengan mengalunkan suara lembutnya, ia berselawat lirih. Gadis itu
bernama Fatimatuz Zahra, atau biasa dipanggil Zahra.
Tiba-tiba langkah kakinya terhentikan oleh suara yang
memanggil-manggil namanya, “Zahra, Zahra, tunggu aku.” Panggil Ima sahabat
Zahra. “Ima, dari mana kamu?” Tanya Zahra. “Aku dari rumah nenek, Ra. Kamu
sendiri dari mana?” Ima balik tanya pada Zahra. “Aku dari rumah Mbak Mimin,
pinjam buku Hermeunetika Al-Qur’an.” Jawab Zahra. “Hermeneutika Al-Qur’an?
Bukankah kamu jurusan sosial? Hermeneutika al-Qur’an kan untuk mahasiswa
jurusan Tafsir Hadis, Ra.” Kata Ima heran. “Iya sih, tapi aku ingin mempelajari
dan mengetahui tentang Hermeneutika al-Qur’an.” Jawab Zahra. “Kenapa tiba-tiba
kamu ingin mempelajari Hermeneutika, Ra? Kamu ikut kajian tafsir ya?” Ima
penasaran. “Gak kok, aku hanya ingin mengetahui seperti apa ilmu Hermeneutika
itu.” Kata Zahra dengan senyum manis yang menyungging dibibirnya. “Baiklah,
kalau gitu nanti aku akan belajar Hermeneutika padamu aja yah, Ra? Kata Ima
dengan penuh canda. Kemudian mereka berdua meneruskan perjalanan dengan menyusuri
jalan setapak.
Di tengah perjalanan, Ima memulai percakapan, “Zahra,
aku mau cerita nih, kamu mau dengerin tidak?”
Kemudian Zahra menjawab, “Tentu saja, memangnya kamu
mau cerita apa, Ima?”
“Zahra, sejak beberapa hari yang lalu hingga sekarang
seseorang mengirim sms padaku. Awalnya dia hanya sms biasa, tapi tadi malam dia
sms ‘Ima, uhibbuki’ (Ima, aku mencintaimu).” Kata Ima sambil
memperlihatkan sms pada Zahra.
“Oh ya.. Lalu kamu menjawabnya apa, Ima? Dan siapakah
sebenarnya dia? Jika dilihat dari mata dan raut wajahmu, sepertinya kamu juga
menyukainya, atau bahkan juga mencintainya, iya kan?” Zahra penasaran.
“Ah.. Zahra bisa aja. Aku tidak menjawabnya seketika
itu, aku menanyakan alasannya kenapa dia mencintaiku? Sejak kapan dia
mencintaiku? Baru setelah mendapatkan penjelasan darinya, aku menjawab ‘uhibbuka
aidlon’ (aku juga mencintaimu). Dia adalah Kang Aan. Siapa yang tidak
tertarik padanya, sudah pintar, baik, pengetahuan agamanya sangat mendalam, dan
yang terakhir dia tampan pula. Dan dia berjanji suatu saat akan melamarku. Aku
sangat senang, Zahra. Bagaimana menurutmu, Ra? Apakah sikapku ini salah?” Ima
berekspresi sangat bahagia dan meminta pendapat pada Zahra.
“Tidak ada yang salah, Ima. Kamu sudah melakukan hal
yang benar. Kang Aan adalah calon imam yang baik. Dia pasti mencintaimu dengan
tulus. Kalian berdua sangat cocok.” Kata Zahra singkat.
“Terimakasih, Zahra. Kamu adalah sahabat terbaikku.
Kamu selalu ada untukku.”
“Sama-sama, Ima. Kamu juga sahabat terbaikku. Mampir
ke rumahku dulu yuk, sambil ngobrol-ngobrol lagi nanti.” Zahra mengajak Ima
mampir karena sudah sampai di depan rumahnya.
“Terima kasih, Ra. Tapi aku harus pulang karena hari
sudah senja. Kapan-kapan aku akan mampir ke rumahmu. Kita berpisah sampai di
sini dulu ya, Assalamu’alaikum.”
“Oke. Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya, Ima.”
Keduanya pun berpisah dan beranjak ke rumah
masing-masing. Hari semakin senja, matahari mulai bersembunyi di balik awan.
Suasana akan berganti malam. Kan datang rembulan dan bintang-bintang yang
menghiasi langit dan menyinari bumi.
***
Di
keheningan malam, dalam suasana yang diam, tiada yang bersuara satupun kecuali
detak-detik jarum jam. Di sudut kamar terlihat Zahra sedang duduk terdiam,
namun pikirannya tidak diam. Ia teringat ucapan sahabatnya, Ima ‘(Zahra,
sejak beberapa hari yang lalu hingga sekarang seseorang mengirim sms padaku.
Awalnya dia hanya sms biasa, tapi tadi malam dia sms ‘Ima, uhibbu ilaiki’ (Ima,
aku mencintaimu))’. Kemudian Zahra berkata seorang diri dalam hati, “Ima,
sebenarnya seseorang yang membuat aku belajar Hermeunetika al-Qur’an adalah
Kang Aan. Suatu saat ia pernah bertanya padaku tentang Hermeunetika al-Qur’an.
Saat itu aku jawab aku belum pernah mempelajari ilmu itu. Kemudian ia meminta
memberitahuku ketika aku sudah tahu tentang ilmu tersebut. Oleh karena itu, aku
terinspirasi mempelajarinya.” Tidak lama kemudian kedua mata Zahra terlelap
tidur.
***
Cuaca
terasa sangat panas, seakan matahari berada di atas ubun-ubun. Hilir-mudik
silih berganti mahasiswa di zona kampus STAIN Lamongan, ada yang datang dan ada
yang pergi dengan jaz berwarna biru tua sambil menyandang buku ditangannya. Tak
terkecuali Zahra dan Ima, keduanya hendak pulang karena sudah tidak ada jam
kuliah.
“Zahra, mampir
ke rumahku dulu yuk, sekalian kita mengerjakan tugas bersama.” Kata Ima kepada
Zahra.
“Oke, Ima.” Jawab Zahra singkat. Lalu keduanya
berjalan menuju rumah Ima.
Setiba
di rumah Ima, mereka menunaikan sholat Dhuhur, baru kemudian
mengerjakan tugas kuliah.
“Alhamdulillah
tugas kita sudah selesai.” Kata Zahra.
“Iya, Ra. Alhamdulillah, tapi kamu jangan pulang dulu
ya, aku mau curhat sama kamu.” Kata Ima.
“Iya, Ima. Kamu mau curhat tentang Kang Aan ya?
Bagaimana hubungan kalian?” kata Zahra dengan senyum menyungging di bibirnya.
“Yup betul sekali. Hubungan kami baik-baik saja, Ra.
Mohon doanya agar sampai dipersinggahan halal. Karena minggu depan Kang Aan
akan melamarku. Aku sangat bahagia, Ra.” Jawab Ima dengan bahagia.
“Alhamdulillah
kalau begitu, Im. Doaku selalu menyertai kalian berdua.” Jawab Zahra.
“Lalu kamu kapan akan menyusul, Ra?” Kata Ima.
“Nanti jika
sudah tiba masanya.” Zahra menjawab dan tersenyum.
“Baiklah kalau begitu, pokoknya dengan siapa pun
nanti, kamu harus cerita sama aku ya. Dan aku berharap akulah orang pertama
yang akan kamu kasih tahu. Sebagaimana aku selalu cerita padamu, Ra.” Kata Ima.
“Iya, tenang saja, Ima. Kamu akan menjadi orang pertama
yang akan aku kasih tahu dengan siapa pasangan hidupku nanti. Oh iya, aku harus
pulang sekarang. Karena hari sudah semakin sore.” Zahra berpamitan sambil
memeluk Ima.
“Iya, Zahra. Hati-hati di jalan ya.” Jawab Ima. ‘Ima.
aku titipkan Kang Aan padamu. Tolong jaga dia baik-baik ya.’ Kata Zahra
dalam hati sebelum beranjak pergi.
“Iya, Ima. Assalamu’alaikum.” Kata Zahra.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Ima.
Tidak
lama setelah melangkahkan kaki dari rumah Ima, tiba-tiba pandangan Zahra kabur,
kepalanya terasa pusing, dan hidungnya berdarah. Hingga semua menjadi gelap dan
Zahra tak sadarkan diri, tubuhnya lemah dan terjatuh tepat di depan halaman
rumah Ima.
“Zahra, kamu kenapa?” Ima berlari ke arah Zahra.
“Tolong..tolong..Mas Ainul..tolong Zahra, dia pingsan.”
Teriak Ima minta tolong pada saudaranya yang kebetulan ada di rumah. Ainul pun
keluar, dan membawanya ke rumah sakit bersama Ima. Dalam perjalanan ke rumah
sakit Ima menghubungi bapak dan ibu Zahra di rumah, “Assalamu’alaikum ibu, ini
Ima.”
“Iya nak Ima, ada apa?” Tanya ibu Zahra.
“Tadi ketika Zahra hendak pulang, tiba-tiba dia
pingsan di depan rumah Ima, bu. Sekarang saya dan Mas Ainul akan membawa Zahra
ke rumah sakit. Tapi kami hendak ke rumah bapak dan ibu dulu untuk menjemput
bapak dan ibu. Bagaimana, bu?” kata Ima.
“Baiklah nak Ima, kami akan bersiap-siap.” Kata
ibu singkat.
***
“Dokter,
bagaimana keadaan anak kami?” Tanya ibu Zahra di ruang dokter.
“Keadaan saudari Zahra kritis, pak, bu. Seharusnya dia
menjalani kemoterapi, tapi dia selalu menolak.” Kata dokter.
“Apa, Dok? Kemoterapi? Memangnya anak kami menderita
penyakit apa?” bapak dan ibu Zahra terkejut.
“Apakah selama ini Zahra tidak bercerita mengenai
penyakit yang dideritanya pada bapak dan ibu?” Tanya Dokter pada orang tua
Zahra.
“Tidak, Dok? Sebenarnya Zahra sakit apa?” Tanya ibu
Zahra sambil meneteskan air mata.
“Sejak tujuh bulan yang lalu Zahra menderita kanker otak.
Waktu itu saya sudah menyuruhnya untuk melakukan kemoterapi, tapi dia menolak.
Katanya biaya kemoterapi sangat mahal, jadi dia tidak melakukannya.” Dokter
menjelaskan.
“Zahra, kenapa kamu tidak pernah cerita pada kami,
nak. Apa tidak ada cara lain agar dia bisa sembuh, Dokter? Masih bisa
dioperasi, kan?” ibu Zahra semakin cemas.
“Bisa dioperasi, bu. Tapi resikonya sangat besar.”
Kata Dokter. “ Tenang, bu. Tenangkan pikiran ibu, sebaiknya sekarang kita lihat
bagaimana keadaan Zahra dan berdoa agar Zahra segera sembuh.” kata bapak
mencoba menenangkan ibu. Kemudian mereka ke kamar di mana Zahra dirawat.
“Bapak…
Ibu….” Lirih Zahra.
“Zahra, kamu sudah sadar, nak. Bapak dan ibu ada di
sini.” Kata ibu.
“Bapak….Ibu…maafin Zahra ya, karena selama ini Zahra
sudah membuat repot bapak dan ibu. Dan terimakasih untuk semuanya.” Kata Zahra
dengan tetesan air mata membasahi pipi.
“Jangan bicara seperti itu, nak. Kamu adalah anak yang
membanggakan. Kamu adalah anugerah bagi kami.” Kata ibu.
“Iya, nak.
Jangan lagi kamu bicara seperti itu.” Kata bapak sambil memegang tangan Zahra.
“Ima, maafin aku ya atas semua kesalahanku padamu. Dan
terimakasih karena kamu sudah mau menjadi sahabat yang selalu ada untukku. Jika
aku telah tiada, jangan pernah melupakan aku ya. Sering-seringlah main ke rumahku,
agar bapak dan ibu tidak kesepian.” Kata Zahra pada Ima.
“Zahra, tolong jangan bicara seperti itu, kita akan
selalu bersama. Kamu akan sembuh.” Kata Ima dengan memeluk Zahra.
“Asyhaduanlaa
ilaahaillallah.. wa asyhaduanna muhammadurrosulullah.” Zahra mengucapkan
kalimat terakhirnya, ia pun menutup mata untuk selama-lamanya.
“Zahra, bangun,
nak. Jangan pejamkan matamu. Bangun, nak..” teriak ibu. “Innalillahi wa
innailaihi roji’un, Zahra sudah meninggalkan kita semua, bu.” Kata bapak dengan
tegar. Beberapa saat kemudian Zahra dipulangkan dan dimakamkan.
***
Tiga
hari setelah kepergian Zahra, Ima berkunjung ke rumah Zahra, sekalian ia juga
hendak mengembalikan buku Zahra yang dipinjamnya.
“Assalamu’alaikum, ibu. Saya ingin mengembalikan buku
Zahra.”
“Wa’alaikumsalam, iya, nak Ima. Masuklah ke
kamar Zahra. Rumah Zahra juga rumahmu, Ima.” kata ibu. Ima pun masuk ke kamar
Zahra. Ia teringat kenangan bersama sahabatnya di kamar tersebut. Ia memandangi
foto Zahra dan air matanya pun membasahi pipinya. Tiba-tiba pandangan matanya
tertuju pada amplop yang bersandar di tembok di atas meja belajar Zahra. Tangan
Ima menggapai amplop tersebut dan membukanya. Di dalamnya terdapat surat dari
Dokter, Ima membacanya. Dalam surat tersebut tertera bahwa Fatimatuz Zahra
menderita kanker otak stadium akhir.
“Tidak..Tidak mungkin.. Zahra, kenapa selama ini kamu
tidak bercerita padaku bahwa kamu sakit?” kata Ima sambil sesenggukan.
Ima juga melihat buku catatan kecil berwarna biru
muda. Terdapat lima buku catatan biru muda di meja belajar Zahra. Ima
membacanya satu persatu, ia terkejut. Ternyata buku catatan tersebut semua
berisikan tentang perasaannya terhadap Kang Aan.
“Jadi selama ini orang yang kamu cintai adalah Kang
Aan, bahkan kamu mencintainya lebih dulu dari pada aku. Kamu telah mencintai
Kang Aan sejak sepuluh tahun yang lalu. Kenapa kamu tidak pernah
menceritakannya padaku, Ra? Padahal selama ini aku bercerita tentang Kang Aan
padamu. Kamu pasti cemburu, kan? Maafkan aku, Ra. Aku tidak tahu kalau kamu
mencintai Kang Aan lebih dulu dari pada aku. Kamu terlalu baik, Ra. Kamu
menyembunyikan banyak hal dari orang lain, padahal itu menjadi derita bagimu.”
Kata Ima tak bisa berhenti menangis.
***
Di
taman kampus, Ima menemui Kang Aan, ”Kang Aan, aku ingin kamu membaca
catatan-catatan ini. Ini adalah catatan cinta untukmu.” Kata Ima sambil
memberikan buku catatan Zahra pada Kang Aan.
“Apa maksudmu, dik Ima? Milik siapa buku ini?” Tanya
Kang Aan heran.
“Baca saja, kang. Nanti kamu akan mengerti.” Jawab
Ima. kemudian Kang Aan mulai membuka satu persatu buku tersebut. Lembaran demi
lembaran ia baca, tulisan di dalamnya membuat linangan air mata Kang Aan. Dalam
buku tersebut, Zahra selalu menggoreskan penanya. Zahra menuliskan setiap
suasana perasaannya mengenai Kang Aan. Zahra telah menulisnya dari hari ke
hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun.
Sudah sepuluh tahun Zahra menuliskan perasaannya dalam lima buku catatan.
Diakhir catatan, Zahra menuliskan,
Untuk
orang yang selama ini aku cintai (Kang Aan),
Selama bertahun-tahun aku menantimu. Selama
bertahun-tahun aku memendam perasaan cinta terhadapmu. Harapanku selama ini
adalah kau memiliki perasaan yang sama terhadapku. Namun, harapan hanyalah
sebuah harapan. Nyatanya kau menyukai seseorang. Dan ia adalah sahabatku. Saat
pertama kali aku mendengarnya, aku sangat terluka. Tapi wajar jika kau memilih
dia. Karena dia lebih baik, lebih cantik, lebih sholehah, lebih pintar, dan lebih
cerdas dari pada aku. Dengan berbesar hati, aku akan merelakanmu bersamanya.
Hampir setiap hari aku
menulis tentangmu di buku catatan kecilku. Aku menulis ketika aku merindukanmu,
ketika aku ingin melihat senyummu, ketika aku ingin bertemu denganmu walaupun
itu dari balik jendela dan dari kejauhan. Aku selalu menulis ‘aku akan selalu
setia menunggumu dan aku akan selalu mencintaimu’. Aku ingin suatu saat nanti
kamu membaca tulisan-tulisanku tentangmu, entah ketika aku masih ada atau sudah
tiada. Hingga sampai saat ini, semua sms darimu, masih kusimpan di arsip
pesanku. I will always wait for you!!
“Zahra,
sesungguhnya aku juga pernah memiliki perasaan yang sama terhadapmu, dan
cintaku terhadapmu pun telah berlangsung hampir sepuluh tahun. Namun, ada sahabatku
yang juga menyukaimu. Dia adalah Ainul, kakak kandung Ima. Sejak saat itulah
aku mencoba ‘tuk melupakanmu dan akan melamar Ima, sahabatmu. Sungguh aku tidak
tahu bahwa kita memiliki perasaan yang sama. Maafkan aku, Zahra.” Kata Kang
Aan dalam hati dengan linangan air mata yang tidak bisa dibendung.
*cerpen
ini terinspirasi dari sebuah hadis: (Diriwayatkan oleh Hakim, Khatib, Ibnu
Asakir, Dailami dan lainny; Rasulullah bersabda; “Barang siapa yang jatuh
cinta, lalu tetap menjaga kesucian dirinnya, menyembunyikan rasa cintanya dan
bersabar hingga mati maka dia mati syahid.” Sungguh sangat beruntung orang
yang mencintai dengan kesucian diri dan berlindung dari godaan syetan yang terkutuk.
Tentunya orang yang menjaga cintanya yang suci hingga ia meninggal dunia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar