MEMINTA
MAAF... SESEDERHANA ITUKAH?
MEMAAFKAN...
WAJIBKAH?
Sebuah Renungan oleh Rahadi W.
Bulan
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri telah usai. Pada umumnya seluruh umat muslim
berbahagia pada hari ini. Setelah menunaikan ibadah puasa sebulan penuh, kita
semua berharap rahmat dan ampunan Allah SWT akan melimpah bagi kita. Apalagi,
pada hari lebaran, silaturahmi dan saling memaafkan sudah menjadi tradisi, yang
biasa kita sebut "halal bi halal". Dengan halal bi halal, kita merasa
bahwa telah pupus segala dosa karena diampuni Allah SWT dan dimaafkan sesama
manusia. Maka, kita seolah terlahir kembali bagai bayi tanpa dosa. Kembali
suci. Kembali fitri.
Namun,
benarkah akan selalu demikian?
Bagi
saya, pertanyaan itu selalu menggelisahkan hati setiap lebaran usai. Apakah
Tuhan benar-benar mengampuni dosa-dosa saya? Bukankah pada umumnya dosa-dosa
itu adalah pengulangan dosa-dosa tahun kemarin? Masihkah akan diampuni-Nya?
Seringkali saya mendengar ustsdz-ustadz kita mengatakan bahwa Allah Maha
Pengampun, takkan berat bagi-Nya mengampuni dosa-dosa manusia, seberapa pun
besarnya. Namun bagian hatiku yang lain mengingatkan: Sebagaimana tidak ada
dosa besar bila segera disusul dengan taubat, maka tidak ada dosa kecil bila
dilakukan berulang-ulang. Ah, entahlah... Bagaimanapun juga, itu adalah rahasia
Tuhan, tak seorangpun yang mengetahui keputusan-Nya sebelum hari kiamat datang.
Yang bisa kita lakukan adalah memohon ampun dan memohon ampun lagi, di setiap
waktu dan kesempatan.
Dan
satu lagi, yang lebih menggelisahkan hati, yaitu tentang meminta maaf kepada
sesama manusia. Setiap kali saya mengucapkan permintaan maaf (tidak lupa
diiringi kata-kata "lahir dan batin") hampir selalu jawaban yang saya
dapat adalah "sama-sama..." atau semacam itu. Apakah itu artinya
semua teman-teman, keluarga, sanak-famili, handai-taulan... sudah memaafkan
kesalahan-kesalahan saya? Walaupun sepanjang tahun saya telah menjadi orang
paling menyebalkan bagi mereka?
Ya,
itulah masalahnya. Saya menggelisahkan hal itu karena pernah mendengar bahwa
Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang terhadap sesamanya sebelum orang
yang didzaliminya memaafkan. Bagaimana saya tahu bahwa orang sudah memaafkan
saya? Tentang hal ini, ada seorang teman yang bilang, “Lho... kan mereka sudah
bilang ‘sama-sama’, berarti kita sudah saling memaafkan toh?” Teman saya itu
juga mengatakan bahwa kewajiban kita adalah meminta maaf. Apabila orang yang
dimintai maaf itu tidak mau memaafkan ya biar saja, malah itu akan menjadi dosa
bagi yang bersangkutan.
Wah,
benarkah demikian? Cepat selesai dong urusannya!
Cukup
bagi kita mengulurkan tangan untuk bersalaman, kemudian mengucapkan "mohon
maaf lahir dan batin ya..." maka selesailah urusan kita dengan orang yang kita
dzalimi, sengaja ataupun tidak. Tak peduli sebesar apapun kedzaliman yang
pernah kita perbuat terhadapnya. Tak masalah apakah ia menolak memberi maaf,
atau di bibir memberi maaf tapi dalam hati menolak. Tidak penting lagi, karena
kita telah melaksanakan kewajiban untuk minta maaf. Begitukah?
Banyak
dalil yang diajukan teman-teman mengenai hal ini, bahwa seorang muslim harus
menjadi seorang pemaaf. Banyak hadits Nabi dan ayat Al-Qur'an yang membahas
tentang ini. Misalnya QS. Al-A'raaf 199: Qudzil 'afwa wa'murbil 'urfi wa-a'ridh 'anil
jaahiliin.
Artinya: "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh (jahil)". Ada juga
contoh mengenai sahabat Nabi, Abu Bakar Ash-Shidiq r.a. yang menghentikan
santunan terhadap orang yang terlibat dalam huru-hara fitnah terhadap putrinya,
Aisyah r.a. Betapa Allah langsung menegur tindakannya itu melalui ayat
Al-Qur'an. Mengapa kita tidak menjadi pemaaf? Tidakkah kita suka kalau Allah
mengampuni dosa-dosa kita?
Sesaat
saya merasa tenang mendapat penjelasan seperti itu. Tapi suatu hari saya
teringat pada sebuah hadits Nabi yang berkaitan dengan hal ini. Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang
datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun
ia juga datang membawa dosa kedzaliman.
Ia pernah mencerca Si Ini, menuduh tanpa bukti terhadap Si Itu, memakan
harta Si Anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai
tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada
Si Ini, Si Itu, dan Si Anu. Hingga apabila kebaikannya telah habis
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya, sementara belum semua
kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang dimiliki oleh orang
yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.”
(HR Muslim no. 6522)
Nah
lho... Orang-orang yang menjadi korban kedzaliman itu, mengapa mereka tidak
disuruh memaafkan saja, malah dengan izin Allah terjadi arena pembalasan dendam
di akhirat?
Terus-terang,
hadits Nabi itu membuat saya takut. Saya jadi berpikir bahwa yang penting
ternyata bukan hanya pernyataan maaf di dunia, karena kelak di akhirat hal itu
akan diperhitungkan lagi. Mestinya memang begitu, karena pemberian maaf di
dunia belum tentu benar-benar tulus. Di dunia, tidak semua orang berani
terang-terangan menolak memberi maaf. Misalnya, saat majikan kita minta maaf
pada hari Lebaran, beranikah kita jawab bahwa kita takkan memaafkan karena perbuatannya
sungguh keterlaluan? Tidak mungkin, selama kita masih menggantungkan hidup pada
majikan itu. Bisa-bisa ia akan menghentikan mata-pencaharian kita sama sekali.
Demikian
juga, kalau kita minta maaf pada orang-orang yang mungkin takut pada kita,
misalnya pada anak, istri, bawahan, atau orang-orang lain yang posisi dan
status sosialnya lebih rendah dari kita. Jangan-jangan mereka memaafkan hanya
di bibir saja, tapi dalam hati masih menyimpan dendam. Dendam yang akan menjadi
"bom waktu" bagi kita di akhirat nanti. Dan ternyata Allah SWT juga
mengakomodasi kepentingan orang-orang yang mendendam seperti ini. Tentu saja,
karena Allah bukan hanya Maha Pengampun tapi juga Maha Adil.
Yang
menarik dari hadits Nabi di atas adalah... orang yang datang dengan banyak
amal-ibadah itu mestinya adalah orang "alim". Ia pasti rajin
beribadah dan banyak beramal. Logikanya, pada hari Lebaran ia juga termasuk
orang yang saling bermaaf-maafan dengan sesama manusia yang lain. Tapi mengapa
banyak orang yang masih sakit hati dengan perbuatannya, bahkan tidak mau
memaafkan sama sekali? Ini membuat saya berpikir: MINTA MAAF SAJA TIDAK CUKUP. Mengucapkan
permintaan maaf (secara formal) saja tidak cukup, sekalipun diembel-embeli
"lahir dan batin".
Barangkali,
tidak kalah pentingnya yaitu permintaan maaf secara informal. Apa itu? Maksud
saya adalah segala tindak-tanduk kita sehari-hari yang menunjukkan bahwa kita
menyesali kesalahan kita dan tidak berniat untuk mengulanginya lagi. Kalau kita
minta maaf kemudian tanpa segan-segan mengulangi perbuatan yang sama di lain
hari, masihkah orang akan memaafkan? Jangan disamakan orang biasa dengan
Rasul-rasul Allah yang sangat pemaaf. Orang biasa bisa jadi punya batas
kesabaran. Saat batas itu kita lampaui, mereka takkan memaafkan lagi. Saya
heran, sebagian kaum muslimin bahkan seolah menyamakan manusia biasa dengan
Tuhan yang Maha Pengampun, sehingga enak saja minta maaf berulang-ulang untuk
perbuatan yang juga diulang-ulang lagi, lalu dengan entengnya mengatakan:
"Saya kan sudah minta maaf!"
Satu
lagi yang juga tidak kalah penting... Bagaimana caranya agar orang selalu
memaafkan kita, bahkan sebelum kita mengucapkan permintaan maaf? Saya rasa yang
penting adalah akhlak kita sehari-hari. Bila dalam keseharian kita selalu
bersikap sopan dan santun terhadap sesama, ramah, suka menolong, dan juga
pemaaf, maka bila sekali waktu kita khilaf sebagai manusia, orang akan mudah
memaafkan. Bandingkan dengan orang yang angkuh, sombong, pelit, pemarah,
pendendam, enggan mempermudah urusan orang, dan tidak peduli bila kelakuannya
menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain, maka orang seperti ini bila
melakukan kesalahan sedikit saja akan sangat diperhitungkan orang.
Ketika
saya hampir selesai menuliskan renungan ini, di televisi semua stasiun berita memberitakan
tentang Afriyani, pengemudi Xenia maut yang telah "membunuh" sembilan
orang di Tugu Tani, yang divonis lima belas tahun penjara. Tidak seorangpun
dari sanak-saudara korban yang ridho dengan vonis itu. Bahkan seorang ibu
meraung-raung sampai pingsan karena tidak rela pembunuh putrinya hanya dihukum
ringan (menurut dia). Mengapa mereka tidak memaafkan, bukankah Afriyani sudah
meminta maaf secara terbuka? Bukankah Allah dan Rasul-Nya menganjurkan kita
menjadi orang yang pemaaf?
Di
sisi lain, keluarga Afriyani juga tak rela karena menganggap hukuman itu
terlalu berat dibandingkan kesalahannya. Jadi apakah menurut mereka hukuman
Tuhan di akhirat atas kesalahan menghilangkan sembilan nyawa itu akan lebih
ringan dari lima belas tahun penjara?
Wallahu
a'lam bishshawab.
Saya
tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Mungkin kita akan tahu
jawabannya pada Hari Perhitungan kelak, ketika para korban yang kehilangan
nyawa itu ditanyai. Apakah mereka akan memaafkan Afriyani? Atau sebaliknya: mereka
akan mengambil pahalanya, atau bila tidak ada lagi pahala Afriyani yang bisa
diambil maka ia bebankan dosanya kepada Afriyani sebagai tebusan atas kedzaliman
itu?
Sekali
lagi, wallahu a'lam bishshawab.
Malang, 31 Agustus 2012
Rahadi W.
TENTANG PENULIS :
Rahadi W. Lahir tahun 1971 di Jombang, Jawa Timur. Lulusan FK Universitas Brawijaya Malang
tahun 1997. Pernah aktif di majalah kampus dengan menjadi Pimred Majalah DIGNOSTIKA FK
Unibraw. Sekarang menjadi PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim
Sumsel dan sedang menjalani tugas
belajar di RSUD Syaiful Anwar Malang. Tinggal di Jl. Serayu Selatan No. 22A
Malang. Bisa dihubungi melalui e-mail: rahadiwidodo@ymail.com atau FB https://www.facebook.com/rahadiwidodo.
Persoalan minta maaf dan memaafkan apabila ditelaah lebih dalam ternyata bukan masalah yang sederhana, ya. Saya setuju apabila urusan yg. satu ini tidak menunggu saat tertentu misalnya ketika lebaran tiba. Kesannya kok seperti ritual basa basi saja. Mungkin meminta maaf dengan penuh penyesalan dan bertekad tidak mengulanginya lagi akan lebih bermakna. Memaafkan dengan penuh keikhlasan memaknai arti manusia takkan pernah luput dari salah, terasa menyejukkan. Sedangkan Allah SWT saja disebut sebagai Al Ghoffaar, masa kita makhlukNYA menjadi pendendam. Setidaknya itulah pendapat saya.. :)
BalasHapusAdmin : Ya setuju dengan mas Nopi. Terimakasih berkenan berkunjung.
BalasHapusSaya sangat setuju dengan pendapat nya mas Nopi, salam kenal dan sukses terus ya mas :)
BalasHapus