Menjadi Penulis Idealis Atau Matrealistis? (Majalah SABILI, No.08/Januari
2012)
oleh Untung Wahyudi
Saat ini aktivitas menulis bukan sekadar menjadi hobi, tapi seolah-olah menjadi sebuah ‘trend’ di hampir semua kalangan. Dari yang muda sampai yang tua. Lihat saja betapa gegap gempitanya semangat penulisan dan penerbitan di negeri ini, dengan bermunculannya penulis baru yang ikut meramaikan dunia literasi. Sehingga boleh dikatakan setiap hari lahir para penulis yang tersebar di beberapa media seperti koran, majalah, tabloid, buletin dan media lain. Tentu ini merupakan berita gembira yang harus kita sambut dan apresiasi. Karena hal ini menunjukkan bahwa semangat menulis masyarakat sudah berkembang. Mereka tidak hanya berperan sebagai penikmat buku, tapi juga mampu menuliskan apa-apa yang didapat dari membaca. Meminjam istilah Hernowo, mereka berusaha “mengikat makna”.
Lalu apa tujuan seseorang menulis? Pertanyaan mendasar ini mungkin sering kita dengar di beberapa pelatihan penulisan, atau dari seorang kawan yang mengetahui kita mempunyai aktivitas menulis. Helvy Tiana Rosa dalam bukunya Segenggam Gumam (Syaamil, 2003) menulis, setidaknya ada tiga tujuan seseorang menulis: nasyrul fikrah (menyebarkan pemikiran), tanmiyatil kaffah(mengembangkan kemampuan) dan kasbu al-ma’isyah (menambah penghasilan).
Pertama, menyebarkan pemikiran. Hal ini lazim menjadi tujuan seseorang dalam menulis. Karena sejatinya menulis memang untuk berbagi pengetahuan dan informasi dengan orang lain. Inilah yang menjadi alasan bahwa siapa saja bisa menjadi seorang penulis. Entah dia seorang dokter, dosen, guru, buruh pabrik, bahkan seorang penyapu jalanan pun bisa menjadi penulis. Bukankah menulis memang aktivitas yang memerdekakan seseorang untuk menyampaikan apa saja yang ada dalam pikirannya? Seorang guru bisa menulis tentang pendidikan, baik hasil pengamatannya tentang sistem pendidikan di negeri ini, atau tentang pahit getir pengalamannya selama terjun di dunia pendidikan. Begitu juga seorang dokter bisa menjadi penulis dengan tujuan berbagi ilmu tentang dunia kesehatan, pentingnya pendidikan seks bagi remaja, atau tema-tema lain seputar dunia kesehatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Ada banyak tema yang bisa dibidik seseorang untuk menulis. Seperti Andrea Hirata yang mengabadikan pengalaman pahitnya pada masa anak-anak ketika sekolah di SD Muhamadiyah di pedalaman Belitong, dalam novel tetralogi fenomenalnya Laskar Pelangi yang sempat menyedot perhatian semua kalangan karena novel ini mengangkat tema pendidikan kaum tertindas.
Kedua, mengembangkan kemampuan. Tujuan ini juga bisa diterapkan dalam menulis. Yaitu bagaimana kita mampu mengembangkan kemampuan menulis dengan banyak berlatih, bergabung dengan komunitas penulis atau aktivitas lain yang ada relevansinya dengan kepenulisan. Terbukti banyak orang yang sebelumnya tidak pernah menulis mampu mengembangkan kreatifitas menulisnya setelah menghadiri sebuah acara bedah buku atau setelah berkumpul di paguyuban penulis. Ini membuktikan bahwa seorang penulis harus bisa memperluas pergaulan, terutama di dunia maya. Karena saat ini hampir semua penulis sudah tidak “gaptek”. Minimal mereka sudah bisa mengirim karyanya ke media dengan fasilitas email yang sudah menjadi “keharusan” bagi hampir semua media karena sifatnya yang praktis. Beda dengan dulu ketika penulis harus mengirimkan karyanya lewat jasa pos.
Tujuan ketiga, menambah penghasilan. Ini tidak bisa dinafikan oleh seorang penulis, bahwa menulis akan mendatangkan penghasilan. Tentu ini berlaku bagi para penulis yang sudah mampu menembus media atau penerbit. Apakah tidak berlebihan jika kita mengharapkan upah atau honor? Wajar jika sebuah media menghargai penulis dengan honorarium yang pantas, karena menulis adalah aktivitas memeras pikiran dan juga menyita waktu. Sudah sepantasnya para penulis mendapat honor dari tulisannya yang dimuat media.
Lalu bisakah kita kaya dari menulis? Inilah yang mungkin menjadi salah satu pemicu seseorang dalam menulis; menulis karena ingin kaya! Mimpi itu bisa terwujud jika memang kita serius menulis. Misal, kita bisa menembus satu atau dua media setiap minggu, kita akan mendapatkan honor yang lumayan dari media. Apalagi kalau kita sudah terjun dalam penulisan buku yang memang cukup menggiurkan untuk ukuran seorang penulis. Terutama jika kita bisa menerbitkan buku yang punya nilai jual tinggi alias mampu menembus angka penjualan yang fantastis sehingga karya tersebut diklaim best sellerkarena berkali-kali cetak ulang. Seperti Habiburrahman el-Syirazy dan Andrea Hirata yang konon mampu mengantongi milyaran rupiah dari royalti buku-bukunya.
Tapi sebaliknya, seorang penulis akan gigit jari ketika karyanya tak bergerak di pasaran. Royalti yang diharapkan pun tak juga mengalir ke rekeningnya. Padahal sudah banyak karyanya yang diterbitkan. Atau seorang penulis yang tak pernah menerima honor karena ulah media “nakal” yang tidak mau membayar atas karya-karyanya yang dimuat.
Pertanyaannya, apakah dengan begitu kita termasuk penulis yang matrealistis?
Seorang penulis yang serius menulis dan mampu mempertahankan idealismenya sebagai penulis, suatu saat akan menuai sesuatu yang diharapkan. Mungkin setahun, lima tahun, bahkan sepuluh tahun yang akan datang, eksistensinya sebagai penulis akan terwujud. Tentu dengan kemampuan yang selalu diasah dan pantang menyerah.
*) Pembina Komunitas Penulis Santri PP Mathlabul Ulum, Sumenep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar