Namaku Lintang. Kata Ibu lintang itu
bintang. Lintang kemukus, bintang berekor katanya. Aku lahir saat
gelap malam dan bintang-bintang berkilauan. Tapi bagiku, bintang-bintang tak pernah
berkilauan, tak terlihat bersinar.
"Kenapa aku tak dinamai Bulan?" aku
bersandar di bahu perempuan yang kupanggil Ibu. Badannya ringkih namun terasa
nyaman bagiku.
"Karena Bulan tak bersinar sendiri
Nak" ia membelai rambutku pelan. Beberapa kali jarinya tersangkut di
rambut kusamku.
"Lintang bersinar?" mataku berkedip.
"Lintang bersinar dan orang-orang bisa
melihatnya saat malam"
"Begitu?" tanyaku tak percaya. Ibu
tak menjawab, tapi bisa kurasakan anggukan kepalanya. Aku tak pernah
melihat bintang, tak tahu bagaimana sinarnya saat malam. Apa peduliku?
***
Suara lalu-lalang kendaraan dan ocehan manusia
membangunkanku. Sudah pagi, orang-orang pergi ke pasar pagi-pagi. Aku menguap
mengeluarkan bau jigong yang tak enak.
"Minggir, warungku mau buka"
suara bariton pak Sapto menyapaku. Terdengar suara papan-papan kayu digeser dan
gembok kunci yang terbuka. Aku duduk, mengemasi karton cepat-cepat sambil
mengumpulkan tenaga untuk bangun. Orang tua ini selalu bawel.
"Sudah bangun kau Nak, makanlah"
tangan bu Sapto mengangsurkan bungkusan nasi padaku. Pasti nasi kuning. Aku
mencium bau nasi kunyit dan bawang goreng.
"Buat apa kau beri dia nasi tiap pagi.
Bisa miskin kita" pak Sapto menggerutu.
"Sudahlah pak," bu Sapto menyahut
sambil berbisik pelan pada suaminya, aku tak bisa dan tak ingin mendengar.
Paling-paling sekedar pernyataan iba perempuan tengah baya itu. Buru-buru aku
pergi setelah mengucapkan terimakasih.
Aku paling suka menikmati sarapanku di pojok
pasar, dekat jembatan di atas sungai. Mendengar suara riang anak-anak berangkat
sekolah. Bercanda dan membicarakan pe-er atau guru-guru yang lucu. Hm, berapa
usiaku? 12 atau 13? Ah, tidak penting, toh aku juga tak bisa sekolah.
"Ih, jorook..makan enggak cuci tangan
dulu," suara ceria Desi terdengar riang. Aku mengangkat wajahku ke arah
suaranya. Menepuk kedua tanganku ke kaos lusuhku. Ini artinya cuci tangan
bagiku.
"Biarlah, lapar" jawabku singkat.
Aku suka sekali jika Desi menyapaku, cuma aku tak bisa berbicara banyak
padanya, malu.
"Hmm, Lintang enggak pingin
sekolah?" Desi duduk di sebelahku, bau segar sabun mandi menghampiriku.
Kapan terakhir aku mandi?
"Pingin, tapi enggak mungkin" aku
menyuapkan nasi ke mulutku. Malas membahas ini lagi. Minggu lalu Desi
menawariku tinggal di rumahnya, sekolah bersamanya, memang siapa aku?
"Mungkin saja, aku bisa bilang Mamaku,
siapa tau dia bisa..."
"Aku buta Des..." potongku cepat.
Aku tidak suka dikasihani. Mudah tersinggung pula. "Apa gunanya orang buta
sekolah."
Desi mendadak diam. Aku merasakan helaan
nafasnya yang panjang. Mungkin matanya berkaca-kaca sekarang, aku tak pernah
tau bagaimana mata itu berkaca-kaca.
"Aku berangkat dulu, sudah siang"
Desi meninggalkanku.
Sunyi. Suara lalu-lalang anak-anak terasa
jauh. Ibu, aku ingin sekolah. Potongan telur dadar di mulutku
terasa hambar sekarang.
***
Aku merasakan suara berbisik-bisik di
sekitarku. Sebelum aku sadar, sebilang ranting menyodok tanganku. Aku meringis
kesakitan. Kepalaku berputar, mencari arah suara.
"Orang gilanya bangun, pergi...!"
suara anak-anak bergaung di kepalaku. Aku meraba sisi kanan, mencari tongkatku.
"Si buta dari gua hantu..." yang
lain berkata seenaknya.
"Mana monyetnya?"
"Kamu monyetnya, hahaha..."
Tawa mereka riuh rendah buatku sesak.
Buru-buru aku bangkit pergi. Hampir setiap hari anak-anak itu mengangguku,
sudah biasa. Tetap saja rasanya sakit. Ibu, tak semua anak-anak berhati
malaikat seperti kau bilang. Atau malaikat itu jahat?
***
"Mama, kita terlambat..." tangan
kecil Desi menggenggam Mamanya erat-erat. Butir-butir airmata meluncur deras,
mengaliri pipi merahnya.
Sepulang sekolah tadi akhirnya Mamanya
mengijinkan Desi membawa Lintang pulang. Sudah sebulan ini Desi selalu
bercerita tentang Lintang, gadis manis berambut hitam sebahu yang tak mampu
melihat. Hidupnya sendirian dan berpindah-pindah, seringkali di pasar. Ibunya
tewas dalam tabrak lari tiga bulan lalu.
Mamanya mendekap bahu Desi erat, "Maafkan
Mama sayang, seharusnya sejak kemarin kita menjemputnya..."
Tubuh Lintang basah kuyup dengan bibir biru
kelu. Orang-orang mengerumuninya usai diangkat dari sungai. Ia terpeleset ke
sungai saat menghindar dari gangguan anak-anak. Sungai itu tak terlalu dalam ,
namun arusnya deras. Dan Lintang buta. Mayatnya ditemukan dua hari kemudian,
tersangkut akar pohon.
***
"Aah, Ibu...tolong..." tangan
Lintang menggapai-gapai ke atas mencari pegangan. Tangannya sempat memegang
ranting yang hanyut, apalah arti ranting, ia malah terbawa arus. Badannya
timbul tenggelam diantara aliran sungai.
Semakin ia berteriak membuka mulut, semakin
banyak air yang masuk melalui mulut dan hidungnya. Sesak dadanya. Lebih sesak
daripada diejek anak-anak tadi. Lebih sesak dari kehilangan ibunya. Sesak ini
begitu menyesakkan. Arus sungai terasa mengerikan, ia merasakan hal baru yang
menakutkan.
Suara anak-anak semakin menjauh, tak
memperhatikan si gadis buta yang terjatuh. Mereka asyik tertawa menirukan gaya
monyet.
Gelap. Makin gelap. Lintang merasa matanya
berkedip. Ia melihat banyak titik-titik bercahaya di atas sana. Titik-titik
berkilauan di sekitarnya yang gelap. Itukah bintang Ibu?
Garasi, Maret 2012
Ochikohumaira adalah nama pena dari Yosi
Prastiwi, mahasiswi salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Cerpennya yang
berjudul Hujan pernah dimuat di majalah Ummi.
*Juara 1 Event "Ini Karyaku" Komunitas Pena Santri Edisi Bulan Maret
Tidak ada komentar:
Posting Komentar