Cerita-Cerita yang Teralun dari Bibir Ibu
Cerpen A’yat Khalili*
Ibu pun selalu bercerita padaku tentang keluarga ini; jujuk, kakek, nenek, terlebih bapak, yang paling kubayangkan sampai kini pun tak pernah ingin terhapus untuk sekedar melihatnya di dinding kamar; sebuah album tua yang beberapa waktu sempat dipajang ibu. Ketika musim kemarau tiba berkepanjangan, musim panen mulai meninggalkan kampung ini, sawah-sawah yang ditanami jagung, otok, pakau jadi kekurangan sedot air, dari Padang Ara ke hamparan Garincang, langit seolah terus berwarna merah dengan muka marah, melintasi kampung, begitu kira-kira ingatanku dulu.
Sebab seperti yang kulihat, di sinilah mula hidup keluarga kami diputar; makan-minum, sakit-sakitan, bertengkar antara tetangga, sebab tanian, bidingan, menyelimuti wajah kampung kami, siang dan malam. Bahkan tak jarang dari sebagian kami mengeluh-ngeluh dan kerap meratap sedu-sedan. Lebih dari itu, jauhnya jarak menempuh perkelokan lorong raya telah membuat tenaga tubuh sebentar konyol. Tak ada yang bisa dikais. Hingga memaksa kami hidup hanya dengan damian, menghembuskan sisa ubian.
***
Ketika itu, usiaku baru 5 tahun. Mata yang terlalu pinang untuk cukup melihat helai baju berwarna lesu yang selalu dipakai Bapak. Memang, Ibu kerap sekali bercerita, bila terkadang-kadang aku bertanya. Ketika Bapakmu meninggal, keluarga ini sangat berubah. Tak biasa Ibu menagi-nagi, pergi ke tetangga, seperti Bapakmu yang dadian . Banyak Phele . Dikasihi banyak orang. Kemana-mana namen solang . Tanpa mimpi, beliau bahkan dapat menghimpun serumpun pukaan . Lalu mata ibu terpejam. Mungkin terharu, atau paling tidak mata itu segera menitik air, entah untuk makna apa?.
Dan jika sudah begitu, aku segera mendekat padanya. Ibu memelukku. Di sana, di balik rumah tabing yang separuh terbuka, atap dan genting kolare yang sudah mulai pecah. Dan apabila langit bocor, hujan menyerbunya tanpa satir. Duniaku memang seketika hitam. Terasa berat. Hidup berdua dengan seorang perempuan di atas umur kadarnya; satu anak dan seorang ibu yang tak biasa bekerja, dengan tiba-tiba harus berlatih menahan bagaimana tangan hidup menongkis janur , mengaik rakara, untuk sekedar menambal kebutuhan sehari-hari.
Tak ada lakon lain yang bisa kami lakukan, sebab kami memang hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan ringan semacan itu, alangkah tertatih rasanya, kecuali anak-anak kelapa itu sudah dapat digaik dan dijual ke pasar, atau di musim pakau, ketika seluruh warga menanamnya, kami kalau lagi mujur, hidup dengan pelok-pelok di kebun-kebun belakang rumah, warisan kae-nyae itu. Tapi, tak mustahil gagal, karena jika sekut hujan dan angin besar, panen ini kembali tak bisa bertahan goncangan. Sehingga aku dan Ibu harus ngutang atau memilih nungkis janur.
Lalu dengan itu, ngambaaki kepada pembeli, yang datang setiap minggu sekali. Mereka membelinya dengan kepalan tanang; seharga 5 kepeng uang kerningan, yang tentu hanya cukup membeli sebungkus micin kecil. Dan kalau lagi kebetulan sedang banyak janur yang kami tungkis, kami bisa membeli serantang beras jagung, ikan panggang, dan maronggi, sementara palappa masih harus ngutang juga. Tentu, hari-hari seperti ini terus berjejak dalam lingkaran hidup kami. Tak pernah bisa diduga berjalan begitu lintas cepat. Seperti angin lewat, berlalu dan menjauh ke bebukitan Kapur di selatan, tanpa perhitungan. Lelah dan kesah. Dari pintu rumah ke halaman, waktu mengalir seperti kesek tek…tek…hujan di atap, gesekan yang tambah hari makin besar, gesekan tabing rumah yang dihempas angin Bulan Rasol.
Kadang-kadang aku terpesung; menerobos masuk ke dapur, bila hujan berlangsung, untuk melihat-lihat air yang mengucur memenuhi laci, lincak, gadang, seluruh tikar terbasahi, yang sambil terengah-engah aku dan ibu mensingkapnya. Sebab kata ibu, jika tikar-tikar itu selama 3 hari tetap dibiarkan saja tidak ditampai untuk dikeringkan akan memerah, lalu tak laku dijual.
Sedang ketika musim angin barat, tak kalah mencemaskan, rumah ini seperti kapas tersangkut ditiup, bahkan pernah kami saksikan separuh atap kami yang terdiri dari damian, terseret ke belakang rumah, lalu berbalik arah disebabkan angin kencang, disertai hujan dan kilat-kilat yang menjilat sejadi-jadinya. Membuat mata kami redup seperti kelereng yang menggelinding di amperan tanah, aku dan ibu hanya berani memasrah, untuk kemudian menangis berharap hujan dan halilintar segera reda.
***
Dari beberapa tahun itu, semenjak Bapak wafat, hidupku dan Ibu terasa sangat hanpa sekali. Kami berdua kehilangan orang yang sangat kami cintai, paling berharga jasanya. Bapak adalah manusia pertama yang kami tumpu ketergantungan hidup padanya; selama kurun waktu 7 tahun kurang lebih, ayah ibu; maksudku kae, juga nyae meninggalkan kami bertiga; Bapak, Ibu dan aku di Tanah Lempung ini, di subuh gubuk; rumah yang dianyam terbuat dari serajangan pohon bambu; suatu adat perumahan di kampung kami. Dulu, marga membidik irisan pering sebagai penutup badan rumah mereka, di atapnya disusun kilasan daun kelapa yang dianggit, orang-orang di sini menyebutnya Kolore. Mereka dapat tertidur pulas di situ karena hawanya yang teduh, selain untuk menjaga pancan hujan, mereka ingin menganggitnya untuk menjemur jagung, padi, saberang, bila musim panen sudah tiba.
Entah, sampai kemudian Bapak meninggal, dan aku makin dewasa, aku masih tak dapat memahami isyarat kae, yang dikatakan ibu padaku “ jika di suatu perkampungan terpencil, rumah-rumah beratap Kolare sudah tak ada, maka kiamat bisa segera tiba “. Sehingga kami selalu berusaha mengikati adek-adek yang mulai lamur dimakan rapreap, menggantinya tanpa harus merubah dinding dan atap, selain alasan tersebut, kami sengaja membuat rumah tabing agar tanpak teduh, bidiknya dikawas sekeliling pohon-pohon pisang, ada juga jambu air dan pohon monyet tempat biasa ibu berteduh nungkis janur dan aku sering memakani sapi, begitu juga bapak menyirati pappa di dalam kandang. Masing-masing punya kalakoan . Seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, dari linus jendela rumah ini, kami dapat melihat gugus Bukit Garincang yang melandai-landai. Itulah juga bagian penting sisi hidup kami di sini, setelah pulang meladang di Padang Ara, aku, ibu, bapak, biasa hinggap menyabit rumput di sana, dengan bilah-bilah celurit dan pidok.
Dan sejak kecil memang aku telah biasa menemani mereka berdua, aku bisa ingat walau hanya sepintas—terkadang aku mendengar banyak sekali pangaremo bersiul dan mengkidungkan kijung Madureen , di situ, kata ibu—mereka adalah penyerat lahang siwalan, mereka sedang mengikati mayang-mayang untuk ditepis lahanngnya. Indah sekali rasanya, selain buat mengorek rakara, siul itu adalah penunggu angin tandang.
***
Bukannya kita juga punya pohon siwalan, Ma’ ? Sembari kudekati ibu. Ya Nak, kita punya, jawab ibu membelai ubunku. Apa tidak ada yang naik, kita tak mendapatinya. Aku penasaran. Ta’ nemo oreng se endak, ben pole jheu-jheu pungkana. Begitu ucap Ma’ku terus, bila terkadang aku jadi bertanya.
Angin barat sangat keras sekali, mengetuk-ngetuk tubuhku dan tubuh ibu di bukit itu. Angin barat punya istilah penting dalam penyebutan tradisi lisan kampung; karena datangnya yang tak terduga dan kencang berhembus, bahkan kuasa merobohkan pohon-pohon kurnis dan nyior. Orang-orang kampung kami akan was-was, dan tentu saja tidak ada yang akan berani melompati pohon-pohon tinggi, bila Bulan Rasol sudah mulai terentang di timur sana, pepohonan seperti rambut yang meliung-liung dari kejauhan. Ini musim yang kami takutkan untuk pelayaran, lukisan pikiran kami masih dibayang-bayangi Dam Berit yang beberapa waktu lalu terjerembab, itu terjadi setelah angin tanpak melilit dari awan yang menggelap, didorong langit buram, tinggal seperti sedang menyimpan murka.
Dan ketika ibu menjawab lagi, bahwa tak ada tukang naik, walau ada mungkin susah. Umurku masih 5 tahunan, waktu itu. Selalu berangan-angan dapat memanjati pohon kelapa. Pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling rumah itu, kata ibu, adalah pemberian kae untukku, waktu itu umurku masih 2 tahun. Kae memberikannya padaku, agar aku punya benih pohon kelapa gading, kelak, kalau sudah dewasa.
Dan akhirnya kami biarkan saja buah-buah nyior itu mengering di atas pohonnya, pada saatnya akan jatuh jua. Lalu disumbat dengan rajang dan dijual ke pasar, hanya saja jika terlalu tua, maka harganya lebih rendah. Orang-orang yang kuasa mengalaknya sebelum buah itu jatuh berubah kulit, maka selamatlah dari penindasan harga.
Beda ketika masih ada bapak, kami bisa mengontrol kebun seminggu sekali, seperti tak ingin membiarkan lapangan itu berwarna kerak; liar dan suram dipandang, merabasinya dari rabat liar. Dan bapaklah yang naik mengambil buah-buah itu, menyumbat dan menjualnya ke pasar Bintaro, di dekat pelabuhan. Begitu cerita ibu terus, sampai kemudian aku makin dewasa. Bahkan bapakmu adalah pemajang di pelabuhan tua itu, ibu sering pergi untuk ngerem ke sana, bila bapak tak pulang-pulang selama hampir seminggu, ibu jadi penyuap sarapannya, lengkap tarnyak istimewa dibawa dari kampung. Bahkan bapakmu sering memesan, agar dimasaki pakai urap-urap, sebab bisa disesap dengan lontong. Menjelang pagi tuai, perahu-perahu pun sudah saling menjulur ke bibir pantai, merapatkan dirinya secara masing-masing, dengan dikomando beberapa manusia berbadan kuat, kemudian ditungar ke dasar pasir.
***
Di antara orang-orang yang mengacung dirinya ke atas perahu; bapak turun menenteng beberapa jaring ikan besar-besar, melihat ibu bapak segera mengusap rambutnya dan tersenyum. Hanya ini yang kuperoleh, katanya kepada ibu, sembari menyodorkan sekeranjang ikan cakalan, pindang, balida, pulus dan nus. Masih tak ada bekal lain cair, besok mungkin, katanya lagi pada ibu, karena bagi hasil jual, masih akan dihitung bersama-sama pemajang lainnya. Ibu lalu terpejam. Karena memang begitu hasil perjuangan bersama, mesti selalu dibagi bersama.
Terus, siapa yang menggantikannya bapak di sana, Ma’? Setelah bapakmu tak ada, yang ibu tahu para pemajang lainnya dilanda paceklik, dan karena harus terus-menerus membayar pajak labbuan, mereka melenyapkan diri. Entah jadi kuli, buruh, pemadung, ada juga yang kembali bertani di sawah dan berkebun. Ibu juga tak kelar, jika harus bertatih, berbalik arah pergi-pulang ke pelabuhan; harus membawa ikan, mengidarnya ke rumah-rumah, karena jarak tempuh yang terlalu jauh, maka ibu menyerah juga Cong , dan hanya memilih bekerja di rumah, sampai sekarang. Entah nungkis janur, ngala’ oan , menyabit rumput demi membubuhi kebutuhan sehari-hari denganmu. Kulihat titik air di matanya, lalu jatuh ke pipiku lagi.
***
Musim masih kemarau. Dan Ibuku masih selalu bercerita. Kampungku pun seperti terkeruk habis, di musim yang hanya tinggal rerumputan kering yang telah mengeras, di sebagian tabun terlihat ada yang menimbar air, untuk menyiram bidingan tembakau, ada untuk menyassa baju, ada entah untuk apa, mungkin menanak-meminum. Sementara di depanku masih terpajang sebuah album tua, tanpak suram, karena sudah lama tak dibersihkan kaca dan bingkainya. Foto itu ditabung ibu di kamar mungilku. Foto wajah yang gagah, sederhana, halus budi dan dermawan, itulah bapakku.
Aku bisa merasakan kerinduan padanya kini. Bila aku ingat lagi; di Padang Ara yang terbakar terik matahari itu, ketika Bapak membuatiku serangkaian jaran-jaranan dari batang daun pisang, umurku 4 tahun waktu itu. Bahkan masa sangat memenuhi perasaanku. Sebab setelahnya bapak tak pernah membuatiku mainan-mainan lagi. Dan hanya cerita-cerita yang tetap mengalun kukenangkan dari ibu. Entah, tentang rumah dan keluarga kami, di sini. Atau juga cerita-cerita tentang laut dengan pemajang-pemajangnya, tentang ladang, terlebih bapak. Dan memang selalu begitu ibu, meski sudah berkali-kali aku bertanya. Apakh Ibu tidak mau menikah lagi? Ibu tetap tidak menjawab. Tapi, aku berusaha dapat faham dengan cerita-cerita tentang bapak yang pernah disuguhkannya. Mungkin karena itulah; ibu sering bilang sangat mencintai bapak. Mencintai yang lebih dari garis takdir yang mana pun.
Dan tentu tak kan pernah aku lupa. Di umur 5 tahun itu. Aku telah kehilangan bapak. Dan turun temurun hidup kami berwasilah tukang landuk . Bayangan sekolah tak pernah tanpak di hadapan mataku. Selain cerita-cerita ibu saja, ditambah keretek rumah yang sudah seperti ingin menunduk, kebutuhan pangan sehari-hari yang sering datang menanjak, jauh ketika bapak sudah sakit-sakitan, tak bisa lagi ditawar bekerja buat memenuhi kebutuhan kami sehari-hari lagi, kami terkadang hanya menangis sampai kemudian bapak meninggalkan kami di sini, di rumah tabing, di Tanah Lempung ini.
Latee, 29 Maret 2011.
Footnote:
Suatu sifat yang menunjukkan ke tak sungkanan.
Famili/ keluarga, terkadang disebut tetangga, saudara.
Banyak rejekinya.
Makanan, pukaan sehari-hari.
Suatu pekerjaan dengan cara mengupasi daun nyior untuk makanan sapi, kambing, dan hewan ternak lain, yang dilakukan warga kampung Telenteyan turun-temurun.
Kakek-nenek.
Pekerjaan sehari-hari.
Lagu khas madura, yang dinyanyikan dengan nada kidungan (kejung).
Panggilan untuk ibu
Panggilan untuk anak laki-laki.
Membantu pekerjaan orang lain, dengan cara ingin mengambil ongkos atasnya.
. seorang petani.
* A'yat Khalili, penyair muda berbakat, karyanya tersebar di pelbagai media masa dan buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar