Tokoh Inspiratif*
oleh Binta Al-mamba**
K H Abdullah Faqih
Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Langitan.
Sebuah pesantren tua yang berada di bawah jembatan jalan raya Babat Lamongan jurusan Tuban, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari jalan raya memang tidak tampak pesantren, karena tertutup perkampungan. Tapi begitu masuk, terasalah denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal sekitar 6 hektar itu.
Meskipun termasuk pesantren salaf [1], kebersihan lingkungannya tampak sangat terjaga. Apalagi, beberapa pohon mangga dan jambu dibiarkan tumbuh subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh lain. Di situlah KH Abdullah Faqih tinggal.
Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya.
“Kiai sendiri tetap tinggal di rumah kayu itu”... kata santri yang tak mau disebut namanya.
Berukuran sekitar 7×3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih —panggilan akrab beliau— menerima tamu-tamu. Baik dari wali santri, kerabat, masyarakat kalangan bawah, pengurus NU, maupun pejabat.
Siapakah sebenarnya Kiai Faqih ?... kok Gus Dur yang begitu dipuja orang-orang di NU itu begitu hormatnya? Publik selama ini tidak banyak tahu, karena Kiai yang mengasuh sekitar 3000 santri ini memang tidak suka publikasi. Banyak wartawan yang ingin wawancara dengan Kiai Faqih, semuanya pulang dengan tangan hampa.
“Kami memang mendapat pesan, Kiai tidak bersedia menerima wartawan,” ujar salah seorang pengurus pesantren.
Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin,
Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Sebagaimana para kyai tempo dulu, Kyai Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab Saudi Faqih punya hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan. “Sudah 5 kali Sayid Muhammad ke sini,” tambah salah seorang pengurus Langitan.
Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat[2]. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahnya KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).
Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.
Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. “Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Efendi Choirie(wartawan) yang pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, beliau membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.
Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah faqih ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya beliau mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’. Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”
Tetapi bila terpaksa menerima, bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya. Kiai Faqih, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat. Tetapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka
Catatan Kaki:
[1] Pesantren Salaf, yaitu pesantren yang menggunakan metode tradisional sorogan, di mana sang kyai/ustadz membacakan materi pelajaran dari suatu kitab, dan para santri duduk mengelilinginya sambil membubuhkan catatan di sana-sini dengan bimbingan sang kyai.
[2]ilmu alat, yaitu ilmu gramatika arab yang terdiri dari nahwu, shorof, i’lal, balaghoh dll yang mana ilmu-ilmu tersebut adalah modal utama untuk bisa memahami isi dari kitab-kitab klasik karya ulama salafus sholihin yang biasanya dinamakan kitab kuning.
Warna yang saya dapatkan dari sosok Kyai Abdullah faqih.
Tentu saja sangat banyak sekali, tak mungkin dapat dituliskan dengan lautan kata-kata. Tak akan dapat digoreskan dengan ratusan pena. Sebab apa...? ya kerena saya pernah menjadi anak didik beliau. Pernah nyantri di ma’had beliau. Meski tak sampai lulus jenjang akhir pendidikan.
Mungkin sudah banyak manusia-manusia berbakat yang dengan lancar berkhutbah dengan bahasa yang indah. Dimana-mana... dikampung, di masjid bahkan dilayar kaca. Memberikan wejangan-wejangan kebaikan. Kabar merdu tentang syurga dan alunan pilu tentang neraka. Namun pada kenyataanya masih sering kita temukan bahwa nasehat-nasehat itu, masuk telinga kanan tapi keluar lewat telinga kiri. Sungguh berbeda jika yang menyampaikan nasehat-nasehat itu adalah sosok yang dekat dengan Ilahi. Sosok dengan tawadhu’ dengan keikhlasan tiada bertepi. Segala ucap yang terlahir sungguh menentramkan, sejuk menembus pori-pori, dan kuat membekas dihati.
Wejangan dari Kyai Abdullah faqih yang paling populer di kalangan santri adalah,...”OJO RUMONGSO ISO TAPI ISO’O RUMONGSO..” jangan pernah merasa bisa tapi bisalah merasa, jangan pernah merasa pintar tapi pintarlah merasa kurang pintar, jangan pernah merasa bersih dari dosa tapi bisalah merasa menjadi hamba yang banyak dosa,..... filosofi yang bisa diterapkan pada sisi kehidupan manapun. Kiat agar kita selalu mawas diri dan tidak terjebak pada rasa ujub memandang takjub pada diri sendiri.
Hingga akhirnya saya meninggalkan ma’had langitan dengan membawa sebentuk pelita, segenggam cahaya dan seangkasa cita-cita. Hingga saat ini saya tetap berusaha menjaga pelita itu, mengenggam cahaya itu. Jangan sampai redup apalagi padam. Bahkan dengan segenap cinta sungguh saya ingin menyuarakan meski dengan pena. Agar mata dunia juga dapat memahami akan warna cahaya salafy....
Dengan rindu, puji dan semangat....
Salam sejahtera untuk Syaikhina yang saya hormati. Semoga panjang umur dalam berkah ilahi.....
bint@ al-mamba
20 april 2010
Sumber refrensi :
Muslim delft>>Blogarchive>>KH Abdullah Faqih, sosok Kyai yang disegani Gus Dur
* Copas dari Fb, sudah mendapat izin dari penulisnya
** Binta Al-mamba, penulis asal jombang, email alhanuf.nadia@yahoo.com
@Admin : sahabat yang ingin menyumbang karya silakan kirim ke komunitaspena.santri@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar