Selasa, 25 November 2014

PROFIL PONDOK PESANTREN TREMAS

PROFIL PONDOK PESANTREN TREMAS

Sebelum kita membicarakan tentang Pondok Tremas secara khusus, ada baiknya kalau kita mengenal daerah Pacitan dan perkembangan agamanya, sebab hal itu sangat erat hubungannya dengan berdirinya Pondok Tremas.
Pada abad ke XV M, bumi nusantara ini berada di bawah naungan kerajaan Majapahit, dan seluruh masyarakatnya masih memeluk agama Hindu atau Budha. Begitu juga dengan daerah Wengker Selatan atau juga disebut Pesisir Selatan (Pacitan) yang pada waktu itu masih dikuasai seorang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang dikenal dengan cikal bakal Pacitan.
Menurut silsilah, asal-usul Ki Ageng Buwana Keling adalah putra Pajajaran yang dikawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama Putri Togati. Setelah menjadi menantu Majapahit maka Ki Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir Selatan dan diharuskan tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Ki Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkara yang setelah tua bernama Ki Ageng Buwana Keling.
Kegoncangan masyarakat Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir Selatan terjadi setelah datangnya Mubaligh Islam dari kerajaan Demak Bintara yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung (Raden Joko Deleg/              Ki Geseng), Ki Ageng Posong (Raden Joko Puring Mas/ Ki Ampok Boyo) dan sahabat mereka Syeh Maulana Maghribi yang meminta Ki Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di Wengker Selatan untuk mengikuti dan memeluk agama Islam.
Namun setelah Ki Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu ysng dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh             Ki Ageng Petung, Ki Ageng posong, dan Syeh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama, karena kedua belah pihak terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para mubaligh tersebut, peperangan itu dapat dimenangkan oleh Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Batoro Katong (Putra Brawijaya V).
Mulai saat itulah maka daerah Wengker Selatan atau Pacitan dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat hingga wafatnya dan dimakamkam di daerah Pacitan.
Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa (tahun 1826), perkembangan agama Islam di Pacitan Berkembang dengan pesat, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan mendalami agama Islam di Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari Pondok tersebut, di bawah bimbingan ayahandanya Raden Ngabei Dipomenggolo, beliau mendirikan Pondok di desa Semanten. Namun setelah kurang lebih satu tahun, beliau memutuskan untuk memindahkannya ke daerah desa Tremas.
Bagus Darso setelah dewasa mempunya nama lain KH. Abdul Manan. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap masalah keagamaan. Dalam masa remaja beliau dikirim oleh ayahnya         ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo. Selama di sana, beliau selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunan, kerajinan dan kecerdasan yang dibawanya sejak kecil, maka kepandaian Bagus Darso dalam menguasai dan memahami ilmu yang di pelajarinya melebihi kawan-kawanya. Setelah Bagus Darso merasa cukup ilmu yang beliau peroleh di Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo, akhirnya beliau kembali ke desa Semanten. Di Desa semanten inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula sangat sederhana. Karena semenjak di Pondok Tegalsari beliau di kenal sebagai seorang yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang pacitan yang mengaji pada beliau.
Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan Pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian Pondok tersebut pindah ke Desa Tremas setelah oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan putri Demang Tremas Raden Ngabei Honggowijoyo. Sedangkan Raden Ngabei Ronggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung Raden Ngabei Dipomenggolo. Di antara faktor-faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul manan dari Semanten ke Desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliau pindah ke Tremas. Pertimbangan tersebut adalah karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian dan pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat cocok bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.
Berdasarkan pertimbangan itulah maka kemudian beliau memutuskan pindah dari semanten ke Tremas dan mendirikan Pondok Pesantren yang kemudian dikenal dengan Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan hingga sekarang. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh Kyai Abdul Manan pada tahun 1830 M.
Profil KH.Abdul Manan, Pendiri Pertama Pondok Tremas
Setelah membicarakan tentang sejarah singkat ddirikanya Pondok Tremas, alangkah baiknya kita lebih mengenal sosok pendiri Pertama Pondok Tremas Pacitan, KH. Abdul Manan Dipomenggolo. setelah hampir 200 tahun berlalu, terhitung sejak tahun 1850-an, pada tahun 2010 salah seorang santri Pondok Tremas yang kini melanjutkan studi di Kairo Mesir dan kini tinggal di mesir menemukan beberapa dokumen penting dari Kedutaan Besar RI di Mesir yang berhubungan dengan pendiri pertamanya yakni Simbah KH.Abdul Manan Dipomengolo. bahwa KH.Abdul Manan adalah salah satu generasi pertama orang indonesia yang pernah belajar di Universitas tertua di Dunia Universitas Al Azhar Kairo mesir pada sekitar tahun 1850an.
Berikut tulisan dan gambar tempat Simbah KH.Abdul Manan pernah menimba Ilmu di Al Azhar Kairo Mesir.
Dalam buku Jauh dimata Dekat dihati Potret Hubungan Indonesia – Mesir terbitan   KBRI Cairo 2010, di sebutkan  bahwa  komunitas pertama orang Indonesia di Mesir adalah  KH.Abdul Manan Dipomenggolo Tremas, hal itu terbukti dengan adanya Ruwak ( hunian ) yang bernama Ruwak Jawi, di masjid Al-azhar, di masjid ini ada  4 Ruwak yang masih ada, Ruwak Jawi, Ruwak Atrak ( turki), Ruwak Syami  (suria) dan Ruwak  Maghorobah (Maroko), beliau di Mesir sekitar tahun 1850 M, selama di Mesir beliau bertemu dengan  Grand Syeikh (Jabatan di atas Rektor) Ibrahim Al Bajuri, yaitu Grand Syeikh ke 19,  jadi wajar saja kalau tahun1860 an di Indonesia  sudah ditemukan kitab Fath al-Mubin syarah dari kitab Umm al-Barahin yang merupakan kitab karangan Grand Syeikh  Ibrahim Bajuri. (keterangan ini di ambil pada buku karangan Martin Van Bruinessen, seorang Orientalis yang lahir di  Schoonhoven, Utrecht,Belanda).
Berikut Gambar tempat dimana KH.Abdul Manan Dipomenggolo Pernah Tinggal Di Ruwak Jawi ( Asrama Jawa) didekat masjid Universitas Al Azhar Kairo Mesir
Masjidd
Masjid Al Azhar Kairo, Tempat KH.Abdul Manan pernah belajar ( Fhoto diambil Oleh Sdr. Akhmad Saufan, Alumni Dari Wonosobo Jateng )
rUWAK
Inilah tempat di mana Mbah Abdul Manan Tremas, pernah kuliah di Al-Azhar, beliau bertemu dengan Grand Syeikh Ke-19. Syeikh Ibrahim Al-Bajuri. tempat ini di namakan Ruwwak Jawi.
Ruwak ii
Ruwwak Maroko. sebelahnya persis dengan Ruwwak Jawwi. di dalam masjid Al-Azahar. Cairo.Mesir.
Ruwak turki
inilah Buku Jauh dimata Dekat dihati Potret Hubungan Indonesia – Mesir terbitan   KBRI Cairo 2010, Nama KH.Abdul Manan Dipomenggolo tercatat dibuku ini dan merupakan dokumen Resmi Negara Indonesia-Mesir.
Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar