Cerpen: Mendung Diatas Bukit Cadas
Bisri Mustofa*
Dulu Disamping kali itu ada sebuah bukit yang menjulang tinggi. Tempat kami
menambatkan kehidupan. Bukit itulah sawah ladang kami. Sepulang sekolah, aku,
Tarjo, Bejo, Tarmin, dan Legimin selalu kesana. Menambang batu yang tersimpan
di dalamnya. Batu-batu itu bagaikan emas bagi kami, setidaknya untuk saat itu.
Aku terlalu bergembira dengan uang yang ku dapat saat itu, sampai-sampai aku
berhenti sekolah hanya untuk menambang batu. Beberapa bulan kemudian Bejo juga
mengikutiku untuk berhenti sekolah. Orang tuaku mendukung penuh keputusanku
itu. Jika aku sekolah belum tentu nanti aku bisa sukses, sedangkan bapak harus
mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk biaya sekolahku. Dengan menambang batu
seperti itu aku bisa mendapatkan uang walaupun tanpa ijazah.
Dulu setiap hari sejumlah lima sampai tujuh truk mengambil batu
hasil kerja keras kami. Meraung-raung di jalan yang masih agak becek bekas
hujan, lalu membawanya ke kota. Jika uang telah ditangan, rasanya badan lelah
setelah seharian mengukir lembarab-lembaran uang dari balik dinding batu tebal
itu lenyap berganti perasaan puas karena jerih payah kami membuahkan hasil.
Setelah bayaran kami berramai-ramai kewarung kopi Mak Doni yang terletak tidak
jauh dari tempat kami menambang batu. Sungguh kenangan yang sangat indah. Tapi
begitu menyesakkan dada untuk dirasakan.
Waktu terus melesat bagai anak panah yang tak pernah menemukan
sasarannya. Alam pun juga ikut berubah mengikuti arus pusaran waktu. Bukit
cadas itu sekarang telah rata dengan tanah. Sebuah ruko telah berdiri megah
diatasnya. Diantara bukit dan ruko itu dipisahkan oleh kali kecil yang airnya
masih tetap jernih dari dulu hingga kini. Sumbernya berasal dari mata air di
sela-sela bukit itu. Karena batu-batu itu
telah habis diangkut truk, maka kini aku dan Bejo berpindah ke bukit yang
terletak di sebelahnya. Dulu disitu memang ada dua buah bukit cadas. Dan kini
tinggal satu bukit yang menjadi tulang punggug kehidupanku, Sumber
penghasilanku. Dan yang satunya lagi kini berubah menjadi ruko di sampingnya
itu. Dari bukit itulah aku memberi uang belanja pada Surti, istriku. Dari bukit
itu pula aku menghidupi ketiga anak-anakku. Dari bukit cadas itu pula aku
bermimpi suatu saat aku bisa menyekolahkan ketiga anakku sampai kejenjang
perguruan tinggi. Agar kehidupan kami berubah. Nanti, ya suatu hari nanti.
Langit begitu cerah membiru. Hanya beberapa helai kapas putih
yang melayang-layang menghiasi kejernihan birunya. Gemericik air yang mengalir
dari celah bebatuan kali kecil itu membuat hatiku merasa tenang. Air, ah aku sering
merasa iri padanya. Benda cair itu tak pernah merasa kawatir akan apa yang
terjadi padanya. Dengan pasrah ia mengikuti alur kehidupannya. Mengalir begitu
saja. Walau onak yang dilewatinya, walau duri yang dilewatinya, ia tak pernah
mengeluh, ia tak pernah protes pada Tuhan. Lalu mengapa aku yang dianugerahi
akal dan pikiran harus risau dengan kehidupan yang telah ditata oleh Dzat yang
Maha Menata? Mengapa aku harus resah dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk
membayar SPP anakku? Mengapa aku harus resah mendapat uang dari mana untuk
membelikan tetek bengek kebutuhan anak istriku? Bukankah tuhan telah
menjanjikan kehidupan bagi makhluknya? Bukankah Tuhan itu maha kaya?
***
Kali kecil yang membelah
bukit dan ruko itu masih setia memberikan hawa sejuk bagi kami, aku dan Bejo.
Tinggal kami berdualah yang masih setia dengan pekerjaan berat ini. Mencongkeli
batu-batuan nan keras di tengah lekukan-lekukan tanah yang cadas. Panas.
Menghancurkan bongkahan-bongkahan yang begitu keras. Lalu menatanya seperti
batu bata sembari menunggu para pembeli mau menggantinya dengan uang. Di
lekukan yang cadas inilah aku menghabiskan hari-hariku.
Seharian bekerja kebanyakan aku hanya diam. Hanya saat Bejo
minta air atau menungguku mencongkeli tembok-tembok tebal batu itu saja aku
akan bicara. Itu pun jika sangat diperlukan, karena aku kawatir akan menyakiti
Bejo. Dikira nanti aku tak menghargainya jika aku tak menanggapi omongannya.
Biasanya Bejo memang sering istirahat dari pada aku. Ya…. mungkin karena dia
tak punya keluarga yang kehidupannya menggantung pada pundak legamnya, sehingga
ia begitu santai dalam bekerja. Disaat ia menonton bagaimana legam dan kekarnya
urat-urat tanganku berayun menghantam batu-batu itulah ia sering mengenang masa
lalu. Saat kami berramai-ramai bekerja dan ngopi bersama teman-teman yang lain.
Tapi kini, tak ada satupun diantara mereka yang ingat pada kami. Teman-teman
kecil kami itu kini semua telah sibuk dengan pekerjaannya sendiri.
Saat siang, Ketika cacing-cacing di perutku mulai
berteriak-teriak minta makan, istriku membawakan makanan ke kantor tempat aku bekerja
ini. Tapi apabila ia mendapatkan tawaran untuk mencuci di rumah Pak Bos maka
anakku yang kedua, si Darul akan menggantikan ibunya itu untuk mengirim
makanan. Aku sering membagi makanan buatan istriku itu dengan Bejo. Teman
seperjuanganku dari kecil yang masih setia bekerja di bukit batu nan cadas ini.
Si Darul tak mau pulang sebelum aku pulang. Padahal dirumah ia harus menjaga
adiknya yang belum juga genap berumur empat tahun. Untuk itu, jika ibunya
sedang buruh nyuci di rumah Pak Bos aku menyuruhnya untuk membawa si kecil
Beno. Aku membiarkan mereka bermain di tempat yang tak terlalu jauh dariku.
Seringkali Darul mendekat ke lekukan tempat aku menyongkeli
batu. Dengan wajahnya yang polos ia bertanya padaku, “Mengapa Bapak kerjanya di
tempat yang panas? Bukankah lebih enak bekerja seperti Lek Tarmin yang menjadi
polisi itu pak? Kalau sedang nggak punya uang tingal pergi kejalan raya lalu
menghadang siapa saja yang tak taat peraturan?” Aku hanya tersenyum kecut
membalas pertanyaan anak keduaku itu. Dalam hati aku berkata” Karena hanya
inilah yang bisa bapak lakukan nak…”.
“ Sebenarnya saya kasihan melihat Bapak bekerja sendirian. Aku
kasihan melihat Bapak merasakan rasa payah sendirian seperti ini.”
“ Nggak pa pa kok nak, yang penting kan halal. Bapak sudah biasa
dari kecil dulu. Nanti kamu kalau sudah gede pasti bekerja yang lebih mudah
dari yang bapak lakukan ini. Jadi guru, polisi, atau bahkan presiden. Sekarang
kamu jaga adikmu sana, nanti jatuh lo..”. (Biarkan saja Bapak yang merasakan
kerasnya kerja ini nak, yang penting nanti kamu bisa hidup lebih baik).
Ketika sang surya mulai kembali ke tempat peraduannya aku segera
pulang. Dengan dua buah tomblok di pundakku aku memikul kedua buah hatiku itu. Si Darul di kiri
dan si Beno di sebelah kanan. Sambil melangkah pulang, kedua anakku itu
bernyanyi-nyanyi dengan lirik yang tak jelas. Tapi yang pasti itu adalah lagu
bahagia ciptaan mereka sendiri. Walaupun badan terasa sangat lelah tapi aku
ikut merasa bahagia melihat kedua anakku itu bahagia. Dan rasa pegal-pegal
disekujur tubuhku seolah-olah menghilang begitu saja. Melebur dengan
kebahagiaan mereka. Kemudian Darul berhenti menyanyikan lagu-lagu bahagia itu.
Ia mengutarakan sebuah pertanyaan yang menohok tenggorokanku.
“Pak, kapan Darul akan masuk sekolah? Atang yang seumuran dengan
aku kan sudah masuk sekolah setahun yang lalu..”.
“Tahun depan saja Darul masuk sekolahnya, ya?” Aku mencoba
menghibur kerisauannya. Kemudian kami diam dalam sunyinya malam. Hanya
gemeretak langkah berat kakiku yang tedengar. Seakan jangkrik pun enggan untuk
bersuara mendengar pertanyaan.
Kawan-kawanku yang lain telah hengkang dari bukit cadas yang
kaya akan batu itu semenjak lulus sekolah. Tarmin telah menjadi seorang polisi.
Legimin menjadi Guru di sekolah tempatnya sekolah dulu. Dan Si Tarjo, aku tak
begitu paham tentang nasib mantan personel penambang batu yang satu itu,
kabarnya anak semata wayang Bik Sani itu telah sukses di ibukota sana. Jika
membayangkan kesuksesan mereka aku seringkali merasa menyesal mengapa dulu
tidak melanjutkan sekolah. Diantara lima kawanku menambang batu waktu kecil
dulu hanya Bejo yang nasibnya tak jauh beda denganku. Bahkan sampai kini ia masih
membujang. Mungkin gadis desa ini tak mau dinikahi oleh seorang yang bekerja di
lekukan-lekukan bukit cadas seperti itu. Seorang yang berpenghasilan tak jelas
macam kami ini. Sedangkan aku, Alhamdulillah aku sudah menikah dengan seorang
gadis tetangga desa, dan tiga anak laki-laki telah lahir dari rahimnya. Aku
merasa bahagia bisa mendapatkan istri walau sering marah-marah karena tak
sanggup memberikan uang belanja. Tapi aku tetap berusaha untuk memberikan yang
terbaik kepada Anggota keluargaku. Menyekolahkan anak-anakku agar kelak mereka
tak seperti bapaknya yang tak bisa apa-apa ini.
###
“Adik kemana Buk?” aku bertanya pada ibuku. Seharian tak bertemu
dengan kedua adikku membuatku merasa sangat kangen.
“Mungkin di bukit tempat Bapakmu nambang batu Din. Lalu kamu
sendiri dari mana sekolah kok pulangnya sampai sore begini?”
“Tadi kerumah teman Bu, ngerjakan tugas kelompok di rumah Ari.
Anaknya Pak Toha itu lo Buk.”
“Belum sholat?”
“Ya sudah lah Buk. Kan Pak Toha juga Guru ngajinya Bidin. Jadi
shalatnya bareng-bareng sama beliau. O iya, lauknya apa Buk?”
“Sambel trasi tuh sama ada sedikit Ikan lele sisa untuk ngirim
Bapakmu tadi. Makannya nanti saja, sekarang mandi dulu! Badanmu bau kecut itu
loh.”
“Nggih Buk”. Asyik... ada
ikan lele kesukaanku. Jarang-jarang ibuk masak makanan enak seperti ini.
Beberapa saat kemudian gelap telah benar-benar menyelimuti
kampungku. Suara jangkrik begitu menyayat hati. Membuat rumahku semakin kerdil
d tengah desaku yang mulai menggeliat berubah menjadi kota ini. Ibuku sudah
menyalakan ublikdari tadi. Satu-satunya penerang yang ada di
rumahku. Bapak dan kedua adikku belum juga pulang. Aku berniat tak mengaji
kerumah Pak Toha malam ini. Dari pada nganggur aku membuka buku matematikaku.
Lembaran-lembarannya yang lusuh itu cuma kubolak-balik saja. Hanya gambarnya
yang menarik perhatianku. Kurasa tak ada yang perlu lagi kupelajari dari ilmu
berhitung ini. Toh nilaiku selalu terbaik dikelas.
Di ruang yang temaram itu aku semakin resah. Tadi siang pak Andi
menitipkan sebuah surat undangan kepadaku. Beliau memberikannya setelah
teman-temanku pulang. Padahal teman-teman sudah diberi undangan dari tadi.
Walaupun belum kubuka, tapi aku sudah bisa menebak apa isinya. Pasti tentang
kapan kesanggupan melunasi pembayaran. Uang SPP-ku memang selama semester ini
belum sanggup kubayar. Padahal sebentar lagi akan ujian akhir. Di luar, suara
jangkrik masih setia menyanyikan lagu-lagu pedesaan, beriramakan kesedihan.
Begitu menyayati hati. Ibukku menganyam tikar dari mendong di atasamben agak jauh dari ublik. Membiarkan aku dekat
dengan lampu berbahan bakar minyak tanah bersumbukan bunga ilalang itu. Agar
aku bisa belajar dengan tenang. Kupandangi wajah Ibukku yang kelihatan lebih
tua dari umurnya. Dengan begitu teliti jari-jemarinya memainkan daun mendong itu membentuk anyaman tikar yang begitu indah. Melihat
guratan-guratan yang mengukir garis ketuaan di wajahnya aku tak kuasa untuk
mengutarakan keresahanku. Tapi rasanya aku harus menyampaikan hal ini. Ah,
lebih baik aku tunggu sampai Bapak pulang saja.
Dan tak lama kemudian terdengar celoteh Beno adik buncitku itu
datang. Aku segera membukakan pintu. Kuraih badan adikku yang mungil itu.
Walaupun bau kecut menyeruak dari tubuhnya tapi itu tak terasakan bagiku.
“Kok baru pulang pak?”
“Ya Din. Kamu ujiannya kapan?”
“Bulan depan pak. O iya, tadi pak Andi titip surat undangan pada
Bapak” Kuberikan surat undangan itu pada Bapakku. Dengan wajah lelahnya beliau
membuka kertas undangan itu.
“Isinya apa Pak?” Ibukku yang sedari tadi sibuk dengan
anyamannya merasa penasaran dengan isi surat itu.
“Undangan rapat wali murid. Suruh bayar SPP-nya Bidin paling.”
“O.. .” Dengan wajah yang masih dibalut mukena lusuh itu Ibukku
menoleh kearahku. “Belajarnya yang rajin Din. Biar nggak sia-sia Bapakmu kerja
berangkat pagi pulang sore tiap hari begini. Katanya sekarang semakin sulit lo
kelulusannya.” Aku hanya tepekur mendengarkan nasehat Ibukku.
“Lo kok nggak ngaji Din? Mau jadi apa nanti kalau kamu nggak
bisa ngaji?” Bapakku memang keras kalau dalam urusan mengaji.
“Lagi kecapekan Pak. Seharian tadi buat kerajinan tangan di
rumahnya Ari. Buat nilai praktek.”Kujawab dengan apa adanya. Menjelang ujian
seperti ini memang lagi sibuk-sibunya. Yang les lah, tugas kelompok lah. Sampai
membuat kerajinan tangan seperti ini.
###
Hari ini aku tak berangkat sekolah karena para guru sedang ada
rapat dengan wali murid membahas persiapan ujian. Jadi kami diliburkan. Masalah
pembayaran pasti menjadi topik utama dalam rapat itu. Kuhabiskan waktuku untuk
bermain dengan kedua adikku sembari menungu kedatangan Bapak. Ibuk, wanita yang
penuh kasih sayang itu sedang ada kerjaan menyuci di rumahnya Pak Bos.
Sebenarnya namanya bukan Bos, Tapi karena kekayaannya, orang-orang di desaku
memanggilnya Pak Bos. Biasanya kalau tak ada yang menyuruh menyuci, Ibukku
melanjutkan menganyam tikar. Jika sudah selesai beberapa buah kemudian dijual
di pasar. Hasilnya lumayanlah untuk menutupi kekurangan uang belanja.
Antara aku dan Darul, adikku yang pertama itu selisih enam
tahun. Beda umur yang lumayan jauh kukira. Sedangkan dengan Beno, aku selisih
sembilan tahun. Antara Beno dan Darul sering terjadi pertengkaran. Mungkin
karena selisih umur mereka yang tak begitu jauh. Walaupun Darul sudah berumur
hampir tujuh tahun tapi ia seringkali tak mau mengalah dengan adiknya. Jadinya
aku bermain sambil mengawasi mereka.
Tiba-tiba terdengar suara mobil mendekat kearah rumahku. Dan
benar saja. Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat memasuki pekarangan
rumahku. Kami bertiga segera berhenti bermain. Tatapan keheranan dan penuh
selidik terpancar jelas dari wajah polos kami. Tapi Beno begitu gembira melihat
ada mobil yang begitu mewah bertandang kerumahnya. Ia lari mendekat yang
kemudian dengan cepat kutarik lengannya menjauh dari mobil itu. Sejurus
kemudian keluarlah seorang yang berpenampilan begitu rapi. Kedua belah matanya
ditutupi dengan kacamata hitam mengkilat. Jelaslah orang itu sangat kontras
dengan penampilan kami yang berpakaian compang-camping ini.
“Benarkah ini rumahnya Seno le? Seno tukang batu maksudku.” Lelaki itu bertanya tanpa
mengucapkan kata-kata permisi terlebih dahulu, membuatku merasa malas
menjawabnya.
“Iya. Itu adalah Bapak kami.” Si Beno menjawab pertanyaan lelaki
itu dengan begitu polosnya.
“Mau apa Bapak menemui Bapak kami?” Imbuhku.
“O.. .Jadi sekarang Seno sudah punya anak segede-gede kalian eh?
Begini nak. Aku sebenarnya adalah teman Bapakmu waktu kecil dulu. Tapi semenjak
lulus sekolah aku pergi ke jakarta. Dan hanya beberapa kali saja datang kemari
setelahnya, karena banyaknya kesibukanku. Dan seperti yang dapat kalian lihat
sekarang, aku telah sukses disana. Alhamdulillah. O ya, namaku adalah Tarjo,
mungin kalian sudah pernah mendengar namaku. Jadi sebenarnya aku adalah asli
orang sini. Apakah Bapakmu ada di rumah? Tadi aku cari di bukit cadas itu kok
nggak ada ”
“Bapakku sedang menghadiri rapat di sekolah. O iya, silahkan
masuk pak.”
“Terima kasih nak. Aku buru-buru sebenarnya. Jadi cukup disini
saja. Ada sebuah pertemuan binis yang harus aku hadiri dua jam lagi. Saya Cuma
mau titip pesan saja, nanti disampaikan pada Bapakmu ya?”
“Pesan apa pak?”
“Begini nak. Bukit cadas tempat Bapakmu menambang batu itu sudah
kubeli. Aku berencana akan memanggil pemborong untuk segera meratakan bukit itu
dengan tanah. Dalam waktu yang tidak begitu lama sebuah ruko mewah akan aku
dirikan diatasnya. Karena aku amati desa ini sudah punya prospek bagus untuk
ditanami modal usaha. Lihat saja ruko di sebelahnya itu. Belum begitu lama
berdiri tapi kini sudah punya beberapa cabang di desa lain. Aku memilih tempat
ini hitung-hitung untuk mengenang bahwa aku dulu pernah mengalami masa
kanak-kanak di desa ini. Selain aku bisa lebih sering menziarahi pusara Ibuku.
Untuk itu mulai hari ini saya peringatkan pada Bapakmu untuk tidak mengambil
batu-batu yang ada di atas tanahku itu. Jangan lupa sampaikan pesan ini pada
Bapakmu ya? Salam pada Bapakmu dari Tarjo teman lamanya”
Tenggorokanku bagaikan tertusuk duri mendengar ancaman orang
yang mengaku menjadi teman lama Bapakku itu. Seakan langit menjadi gelap.
Angan-angan untuk segera membayar SPP semakin kabur. Apalagi membayangkan masuk
sekolah favorit impianku. Ah, aku tak berani membayangkannya. Aku segera
tersadar dari kebengonganku setelah Beno menggoyang-nggoyang lenganku sambil
cengengesan. Kusadari lelaki itu telah jauh pergi meninggalkan rumah kami.
Kepergian mobil itu meninggalkan jejak ban yang begitu indah dalam benak
kekanak-kanakanku, tapi begitu menyakitkan dalam pikiranku yang mulai mengerti
akan sulitnya mencari sesuap nasi. Kakiku terasa berat untuk sekedar melangkah.
Akan tetapi adik-adikku menyeret lenganku untuk melanjutkan bermain. “Ah,
betapa tak mengertinya kesulitan yang dihadapi Bapak kau ini dik,” Aku
membatin.
Sekitar jam sepuluh pagi Bapakku datang dengan seulas senyum di
bibirnya.Wajahnya tampak begitu bahagia. Entah apa yang sedang ada dalam
pikirannya sehingga tampak begitu bahagia seperti itu.
“Din, gurumu mengatakan bahwa hasil try out- try out mu selalu
tertinggi. Dia menyarankan agar kamu nanti masuk sekolah negeri saja. Kalau
nilaimu selalu bagus, kata gurumu itu kau bisa mendapat beasiswa. Mengenai SPP
kau tak usah terlalu bersedih. Mulai hari ini Bapak berjanji akan bekerja lebih
giat. Bukit cadas itu akan Bapak ubah menjadi bukit emas untukmu. Sekarang
tersenyumlah. Belajarlah lebih giat lagi agar nasibmu nanti tak seperti Bapak.”
Aku tetap diam. Bibirku tak sanggup mengeluarkan kata-kata
apapun untuk sekedar menyambung kebahagiaan Bapak. Aku tak kuasa untuk
menyampaikan pesan lelaki sombong itu. Aku tak ingin menghapus kebahagiaan Bapak.
Dan beberapa saat kemudian Bapak telah berangkat ke bukit cadas itu.
Melanjutkan pekerjaannya. Semangatnya menyala-nyala terlihat jelas dari langkah
cepatnya. Padahal kabut petaka telah menunggunya. Beberapa kilometer di
depannya mendung hitam sedang menggantung tepat di atas bukit cadas. Tempat
Bapak menggantungkan kehidupan dan angan-angannya.
###
Gading, Malang 3 Mei 2012
Kali : Sungai
Tomblok: Keranjang dari bambu
Amben : Tempat tidur
Nggih : Iya
BIOGRAFI PENULIS
Nama saya adalah Bisri Mustofa.
Lahir pada 8 maret 1990. tempat tinggal saya di pinggiran
Malang, yaitu di desa Mentaraman Kecamatan Donomulyo kabupaten Malang. Alamat
email saya adalah bmsoffa@gmail.com, sedangkan nomer HP
saya 085785587460. FB:An Nectar. Sekarang saya sedang menuntut ilmu di
Universitas Kanjuruhan Malang jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Semester ini
saya semester yang ke-delapan. Selain kuliah saya sekarang nyantri di pondok
Gading PPMH Malang yang terletak dijalan Gading Pesantren no.38 Malang. Saya
menghabiskan waktu sehari-hari di pondok itu. O iya alamat kampus saya ada di
Jl. S Supriadi no. 48 telp. 0341801488 Malang 65148.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar