Jumat, 03 Mei 2013

Cerpen: Mendung Diatas Bukit Cadas

Cerpen: Mendung Diatas Bukit Cadas
 Bisri Mustofa*

Dulu Disamping kali itu ada sebuah bukit yang menjulang tinggi. Tempat kami menambatkan kehidupan. Bukit itulah sawah ladang kami. Sepulang sekolah, aku, Tarjo, Bejo, Tarmin, dan Legimin selalu kesana. Menambang batu yang tersimpan di dalamnya. Batu-batu itu bagaikan emas bagi kami, setidaknya untuk saat itu. Aku terlalu bergembira dengan uang yang ku dapat saat itu, sampai-sampai aku berhenti sekolah hanya untuk menambang batu. Beberapa bulan kemudian Bejo juga mengikutiku untuk berhenti sekolah. Orang tuaku mendukung penuh keputusanku itu. Jika aku sekolah belum tentu nanti aku bisa sukses, sedangkan bapak harus mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk biaya sekolahku. Dengan menambang batu seperti itu aku bisa mendapatkan uang walaupun tanpa ijazah.

Dulu setiap hari sejumlah lima sampai tujuh truk mengambil batu hasil kerja keras kami. Meraung-raung di jalan yang masih agak becek bekas hujan, lalu membawanya ke kota. Jika uang telah ditangan, rasanya badan lelah setelah seharian mengukir lembarab-lembaran uang dari balik dinding batu tebal itu lenyap berganti perasaan puas karena jerih payah kami membuahkan hasil. Setelah bayaran kami berramai-ramai kewarung kopi Mak Doni yang terletak tidak jauh dari tempat kami menambang batu. Sungguh kenangan yang sangat indah. Tapi begitu menyesakkan dada untuk dirasakan.

Waktu terus melesat bagai anak panah yang tak pernah menemukan sasarannya. Alam pun juga ikut berubah mengikuti arus pusaran waktu. Bukit cadas itu sekarang telah rata dengan tanah. Sebuah ruko telah berdiri megah diatasnya. Diantara bukit dan ruko itu dipisahkan oleh kali kecil yang airnya masih tetap jernih dari dulu hingga kini. Sumbernya berasal dari mata air di sela-sela bukit itu. Karena batu-batu itu telah habis diangkut truk, maka kini aku dan Bejo berpindah ke bukit yang terletak di sebelahnya. Dulu disitu memang ada dua buah bukit cadas. Dan kini tinggal satu bukit yang menjadi tulang punggug kehidupanku, Sumber penghasilanku. Dan yang satunya lagi kini berubah menjadi ruko di sampingnya itu. Dari bukit itulah aku memberi uang belanja pada Surti, istriku. Dari bukit itu pula aku menghidupi ketiga anak-anakku. Dari bukit cadas itu pula aku bermimpi suatu saat aku bisa menyekolahkan ketiga anakku sampai kejenjang perguruan tinggi. Agar kehidupan kami berubah. Nanti, ya suatu hari nanti.

Langit begitu cerah membiru. Hanya beberapa helai kapas putih yang melayang-layang menghiasi kejernihan birunya. Gemericik air yang mengalir dari celah bebatuan kali kecil itu membuat hatiku merasa tenang. Air, ah aku sering merasa iri padanya. Benda cair itu tak pernah merasa kawatir akan apa yang terjadi padanya. Dengan pasrah ia mengikuti alur kehidupannya. Mengalir begitu saja. Walau onak yang dilewatinya, walau duri yang dilewatinya, ia tak pernah mengeluh, ia tak pernah protes pada Tuhan. Lalu mengapa aku yang dianugerahi akal dan pikiran harus risau dengan kehidupan yang telah ditata oleh Dzat yang Maha Menata? Mengapa aku harus resah dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar SPP anakku? Mengapa aku harus resah mendapat uang dari mana untuk membelikan tetek bengek kebutuhan anak istriku? Bukankah tuhan telah menjanjikan kehidupan bagi makhluknya? Bukankah Tuhan itu maha kaya?
***
Kali kecil yang membelah bukit dan ruko itu masih setia memberikan hawa sejuk bagi kami, aku dan Bejo. Tinggal kami berdualah yang masih setia dengan pekerjaan berat ini. Mencongkeli batu-batuan nan keras di tengah lekukan-lekukan tanah yang cadas. Panas. Menghancurkan bongkahan-bongkahan yang begitu keras. Lalu menatanya seperti batu bata sembari menunggu para pembeli mau menggantinya dengan uang. Di lekukan yang cadas inilah aku menghabiskan hari-hariku.

Seharian bekerja kebanyakan aku hanya diam. Hanya saat Bejo minta air atau menungguku mencongkeli tembok-tembok tebal batu itu saja aku akan bicara. Itu pun jika sangat diperlukan, karena aku kawatir akan menyakiti Bejo. Dikira nanti aku tak menghargainya jika aku tak menanggapi omongannya. Biasanya Bejo memang sering istirahat dari pada aku. Ya…. mungkin karena dia tak punya keluarga yang kehidupannya menggantung pada pundak legamnya, sehingga ia begitu santai dalam bekerja. Disaat ia menonton bagaimana legam dan kekarnya urat-urat tanganku berayun menghantam batu-batu itulah ia sering mengenang masa lalu. Saat kami berramai-ramai bekerja dan ngopi bersama teman-teman yang lain. Tapi kini, tak ada satupun diantara mereka yang ingat pada kami. Teman-teman kecil kami itu kini semua telah sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Saat siang, Ketika cacing-cacing di perutku mulai berteriak-teriak minta makan, istriku membawakan makanan ke kantor tempat aku bekerja ini. Tapi apabila ia mendapatkan tawaran untuk mencuci di rumah Pak Bos maka anakku yang kedua, si Darul akan menggantikan ibunya itu untuk mengirim makanan. Aku sering membagi makanan buatan istriku itu dengan Bejo. Teman seperjuanganku dari kecil yang masih setia bekerja di bukit batu nan cadas ini. Si Darul tak mau pulang sebelum aku pulang. Padahal dirumah ia harus menjaga adiknya yang belum juga genap berumur empat tahun. Untuk itu, jika ibunya sedang buruh nyuci di rumah Pak Bos aku menyuruhnya untuk membawa si kecil Beno. Aku membiarkan mereka bermain di tempat yang tak terlalu jauh dariku.

Seringkali Darul mendekat ke lekukan tempat aku menyongkeli batu. Dengan wajahnya yang polos ia bertanya padaku, “Mengapa Bapak kerjanya di tempat yang panas? Bukankah lebih enak bekerja seperti Lek Tarmin yang menjadi polisi itu pak? Kalau sedang nggak punya uang tingal pergi kejalan raya lalu menghadang siapa saja yang tak taat peraturan?” Aku hanya tersenyum kecut membalas pertanyaan anak keduaku itu. Dalam hati aku berkata” Karena hanya inilah yang bisa bapak lakukan nak…”.
“ Sebenarnya saya kasihan melihat Bapak bekerja sendirian. Aku kasihan melihat Bapak merasakan rasa payah sendirian seperti ini.”
“ Nggak pa pa kok nak, yang penting kan halal. Bapak sudah biasa dari kecil dulu. Nanti kamu kalau sudah gede pasti bekerja yang lebih mudah dari yang bapak lakukan ini. Jadi guru, polisi, atau bahkan presiden. Sekarang kamu jaga adikmu sana, nanti jatuh lo..”. (Biarkan saja Bapak yang merasakan kerasnya kerja ini nak, yang penting nanti kamu bisa hidup lebih baik).
  
Ketika sang surya mulai kembali ke tempat peraduannya aku segera pulang. Dengan dua buah tomblok di pundakku aku memikul kedua buah hatiku itu. Si Darul di kiri dan si Beno di sebelah kanan. Sambil melangkah pulang, kedua anakku itu bernyanyi-nyanyi dengan lirik yang tak jelas. Tapi yang pasti itu adalah lagu bahagia ciptaan mereka sendiri. Walaupun badan terasa sangat lelah tapi aku ikut merasa bahagia melihat kedua anakku itu bahagia. Dan rasa pegal-pegal disekujur tubuhku seolah-olah menghilang begitu saja. Melebur dengan kebahagiaan mereka. Kemudian Darul berhenti menyanyikan lagu-lagu bahagia itu. Ia mengutarakan sebuah pertanyaan yang menohok tenggorokanku.
“Pak, kapan Darul akan masuk sekolah? Atang yang seumuran dengan aku kan sudah masuk sekolah setahun yang lalu..”.
“Tahun depan saja Darul masuk sekolahnya, ya?” Aku mencoba menghibur kerisauannya. Kemudian kami diam dalam sunyinya malam. Hanya gemeretak langkah berat kakiku yang tedengar. Seakan jangkrik pun enggan untuk bersuara mendengar pertanyaan.

Kawan-kawanku yang lain telah hengkang dari bukit cadas yang kaya akan batu itu semenjak lulus sekolah. Tarmin telah menjadi seorang polisi. Legimin menjadi Guru di sekolah tempatnya sekolah dulu. Dan Si Tarjo, aku tak begitu paham tentang nasib mantan personel penambang batu yang satu itu, kabarnya anak semata wayang Bik Sani itu telah sukses di ibukota sana. Jika membayangkan kesuksesan mereka aku seringkali merasa menyesal mengapa dulu tidak melanjutkan sekolah. Diantara lima kawanku menambang batu waktu kecil dulu hanya Bejo yang nasibnya tak jauh beda denganku. Bahkan sampai kini ia masih membujang. Mungkin gadis desa ini tak mau dinikahi oleh seorang yang bekerja di lekukan-lekukan bukit cadas seperti itu. Seorang yang berpenghasilan tak jelas macam kami ini. Sedangkan aku, Alhamdulillah aku sudah menikah dengan seorang gadis tetangga desa, dan tiga anak laki-laki telah lahir dari rahimnya. Aku merasa bahagia bisa mendapatkan istri walau sering marah-marah karena tak sanggup memberikan uang belanja. Tapi aku tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Anggota keluargaku. Menyekolahkan anak-anakku agar kelak mereka tak seperti bapaknya yang tak bisa apa-apa ini.

###

“Adik kemana Buk?” aku bertanya pada ibuku. Seharian tak bertemu dengan kedua adikku membuatku merasa sangat kangen.
“Mungkin di bukit tempat Bapakmu nambang batu Din. Lalu kamu sendiri dari mana sekolah kok pulangnya sampai sore begini?”
“Tadi kerumah teman Bu, ngerjakan tugas kelompok di rumah Ari. Anaknya Pak Toha itu lo Buk.”
“Belum sholat?”
“Ya sudah lah Buk. Kan Pak Toha juga Guru ngajinya Bidin. Jadi shalatnya bareng-bareng sama beliau. O iya, lauknya apa Buk?”
“Sambel trasi tuh sama ada sedikit Ikan lele sisa untuk ngirim Bapakmu tadi. Makannya nanti saja, sekarang mandi dulu! Badanmu bau kecut itu loh.”
Nggih Buk”. Asyik... ada ikan lele kesukaanku. Jarang-jarang ibuk masak makanan enak seperti ini.
Beberapa saat kemudian gelap telah benar-benar menyelimuti kampungku. Suara jangkrik begitu menyayat hati. Membuat rumahku semakin kerdil d tengah desaku yang mulai menggeliat berubah menjadi kota ini. Ibuku sudah menyalakan ublikdari tadi. Satu-satunya penerang yang ada di rumahku. Bapak dan kedua adikku belum juga pulang. Aku berniat tak mengaji kerumah Pak Toha malam ini. Dari pada nganggur aku membuka buku matematikaku. Lembaran-lembarannya yang lusuh itu cuma kubolak-balik saja. Hanya gambarnya yang menarik perhatianku. Kurasa tak ada yang perlu lagi kupelajari dari ilmu berhitung ini. Toh nilaiku selalu terbaik dikelas.

Di ruang yang temaram itu aku semakin resah. Tadi siang pak Andi menitipkan sebuah surat undangan kepadaku. Beliau memberikannya setelah teman-temanku pulang. Padahal teman-teman sudah diberi undangan dari tadi. Walaupun belum kubuka, tapi aku sudah bisa menebak apa isinya. Pasti tentang kapan kesanggupan melunasi pembayaran. Uang SPP-ku memang selama semester ini belum sanggup kubayar. Padahal sebentar lagi akan ujian akhir. Di luar, suara jangkrik masih setia menyanyikan lagu-lagu pedesaan, beriramakan kesedihan. Begitu menyayati hati. Ibukku menganyam tikar dari mendong di atasamben agak jauh dari ublik. Membiarkan aku dekat dengan lampu berbahan bakar minyak tanah bersumbukan bunga ilalang itu. Agar aku bisa belajar dengan tenang. Kupandangi wajah Ibukku yang kelihatan lebih tua dari umurnya. Dengan begitu teliti jari-jemarinya memainkan daun mendong itu membentuk anyaman tikar yang begitu indah. Melihat guratan-guratan yang mengukir garis ketuaan di wajahnya aku tak kuasa untuk mengutarakan keresahanku. Tapi rasanya aku harus menyampaikan hal ini. Ah, lebih baik aku tunggu sampai Bapak pulang saja.

Dan tak lama kemudian terdengar celoteh Beno adik buncitku itu datang. Aku segera membukakan pintu. Kuraih badan adikku yang mungil itu. Walaupun bau kecut menyeruak dari tubuhnya tapi itu tak terasakan bagiku.
“Kok baru pulang pak?”
“Ya Din. Kamu ujiannya kapan?”
“Bulan depan pak. O iya, tadi pak Andi titip surat undangan pada Bapak” Kuberikan surat undangan itu pada Bapakku. Dengan wajah lelahnya beliau membuka kertas undangan itu.
“Isinya apa Pak?” Ibukku yang sedari tadi sibuk dengan anyamannya merasa penasaran dengan isi surat itu.
“Undangan rapat wali murid. Suruh bayar SPP-nya Bidin paling.”
“O.. .” Dengan wajah yang masih dibalut mukena lusuh itu Ibukku menoleh kearahku. “Belajarnya yang rajin Din. Biar nggak sia-sia Bapakmu kerja berangkat pagi pulang sore tiap hari begini. Katanya sekarang semakin sulit lo kelulusannya.” Aku hanya tepekur mendengarkan nasehat Ibukku.
“Lo kok nggak ngaji Din? Mau jadi apa nanti kalau kamu nggak bisa ngaji?” Bapakku memang keras kalau dalam urusan mengaji.
“Lagi kecapekan Pak. Seharian tadi buat kerajinan tangan di rumahnya Ari. Buat nilai praktek.”Kujawab dengan apa adanya. Menjelang ujian seperti ini memang lagi sibuk-sibunya. Yang les lah, tugas kelompok lah. Sampai membuat kerajinan tangan seperti ini.

###

Hari ini aku tak berangkat sekolah karena para guru sedang ada rapat dengan wali murid membahas persiapan ujian. Jadi kami diliburkan. Masalah pembayaran pasti menjadi topik utama dalam rapat itu. Kuhabiskan waktuku untuk bermain dengan kedua adikku sembari menungu kedatangan Bapak. Ibuk, wanita yang penuh kasih sayang itu sedang ada kerjaan menyuci di rumahnya Pak Bos. Sebenarnya namanya bukan Bos, Tapi karena kekayaannya, orang-orang di desaku memanggilnya Pak Bos. Biasanya kalau tak ada yang menyuruh menyuci, Ibukku melanjutkan menganyam tikar. Jika sudah selesai beberapa buah kemudian dijual di pasar. Hasilnya lumayanlah untuk menutupi kekurangan uang belanja.

Antara aku dan Darul, adikku yang pertama itu selisih enam tahun. Beda umur yang lumayan jauh kukira. Sedangkan dengan Beno, aku selisih sembilan tahun. Antara Beno dan Darul sering terjadi pertengkaran. Mungkin karena selisih umur mereka yang tak begitu jauh. Walaupun Darul sudah berumur hampir tujuh tahun tapi ia seringkali tak mau mengalah dengan adiknya. Jadinya aku bermain sambil mengawasi mereka.

Tiba-tiba terdengar suara mobil mendekat kearah rumahku. Dan benar saja. Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat memasuki pekarangan rumahku. Kami bertiga segera berhenti bermain. Tatapan keheranan dan penuh selidik terpancar jelas dari wajah polos kami. Tapi Beno begitu gembira melihat ada mobil yang begitu mewah bertandang kerumahnya. Ia lari mendekat yang kemudian dengan cepat kutarik lengannya menjauh dari mobil itu. Sejurus kemudian keluarlah seorang yang berpenampilan begitu rapi. Kedua belah matanya ditutupi dengan kacamata hitam mengkilat. Jelaslah orang itu sangat kontras dengan penampilan kami yang berpakaian compang-camping ini.

“Benarkah ini rumahnya Seno le? Seno tukang batu maksudku.” Lelaki itu bertanya tanpa mengucapkan kata-kata permisi terlebih dahulu, membuatku merasa malas menjawabnya.
“Iya. Itu adalah Bapak kami.” Si Beno menjawab pertanyaan lelaki itu dengan begitu polosnya.
“Mau apa Bapak menemui Bapak kami?” Imbuhku.
“O.. .Jadi sekarang Seno sudah punya anak segede-gede kalian eh? Begini nak. Aku sebenarnya adalah teman Bapakmu waktu kecil dulu. Tapi semenjak lulus sekolah aku pergi ke jakarta. Dan hanya beberapa kali saja datang kemari setelahnya, karena banyaknya kesibukanku. Dan seperti yang dapat kalian lihat sekarang, aku telah sukses disana. Alhamdulillah. O ya, namaku adalah Tarjo, mungin kalian sudah pernah mendengar namaku. Jadi sebenarnya aku adalah asli orang sini. Apakah Bapakmu ada di rumah? Tadi aku cari di bukit cadas itu kok nggak ada ”
“Bapakku sedang menghadiri rapat di sekolah. O iya, silahkan masuk pak.”
“Terima kasih nak. Aku buru-buru sebenarnya. Jadi cukup disini saja. Ada sebuah pertemuan binis yang harus aku hadiri dua jam lagi. Saya Cuma mau titip pesan saja, nanti disampaikan pada Bapakmu ya?”
“Pesan apa pak?”
“Begini nak. Bukit cadas tempat Bapakmu menambang batu itu sudah kubeli. Aku berencana akan memanggil pemborong untuk segera meratakan bukit itu dengan tanah. Dalam waktu yang tidak begitu lama sebuah ruko mewah akan aku dirikan diatasnya. Karena aku amati desa ini sudah punya prospek bagus untuk ditanami modal usaha. Lihat saja ruko di sebelahnya itu. Belum begitu lama berdiri tapi kini sudah punya beberapa cabang di desa lain. Aku memilih tempat ini hitung-hitung untuk mengenang bahwa aku dulu pernah mengalami masa kanak-kanak di desa ini. Selain aku bisa lebih sering menziarahi pusara Ibuku. Untuk itu mulai hari ini saya peringatkan pada Bapakmu untuk tidak mengambil batu-batu yang ada di atas tanahku itu. Jangan lupa sampaikan pesan ini pada Bapakmu ya? Salam pada Bapakmu dari Tarjo teman lamanya”

Tenggorokanku bagaikan tertusuk duri mendengar ancaman orang yang mengaku menjadi teman lama Bapakku itu. Seakan langit menjadi gelap. Angan-angan untuk segera membayar SPP semakin kabur. Apalagi membayangkan masuk sekolah favorit impianku. Ah, aku tak berani membayangkannya. Aku segera tersadar dari kebengonganku setelah Beno menggoyang-nggoyang lenganku sambil cengengesan. Kusadari lelaki itu telah jauh pergi meninggalkan rumah kami. Kepergian mobil itu meninggalkan jejak ban yang begitu indah dalam benak kekanak-kanakanku, tapi begitu menyakitkan dalam pikiranku yang mulai mengerti akan sulitnya mencari sesuap nasi. Kakiku terasa berat untuk sekedar melangkah. Akan tetapi adik-adikku menyeret lenganku untuk melanjutkan bermain. “Ah, betapa tak mengertinya kesulitan yang dihadapi Bapak kau ini dik,” Aku membatin.

Sekitar jam sepuluh pagi Bapakku datang dengan seulas senyum di bibirnya.Wajahnya tampak begitu bahagia. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya sehingga tampak begitu bahagia seperti itu.
“Din, gurumu mengatakan bahwa hasil try out- try out mu selalu tertinggi. Dia menyarankan agar kamu nanti masuk sekolah negeri saja. Kalau nilaimu selalu bagus, kata gurumu itu kau bisa mendapat beasiswa. Mengenai SPP kau tak usah terlalu bersedih. Mulai hari ini Bapak berjanji akan bekerja lebih giat. Bukit cadas itu akan Bapak ubah menjadi bukit emas untukmu. Sekarang tersenyumlah. Belajarlah lebih giat lagi agar nasibmu nanti tak seperti Bapak.”

Aku tetap diam. Bibirku tak sanggup mengeluarkan kata-kata apapun untuk sekedar menyambung kebahagiaan Bapak. Aku tak kuasa untuk menyampaikan pesan lelaki sombong itu. Aku tak ingin menghapus kebahagiaan Bapak. Dan beberapa saat kemudian Bapak telah berangkat ke bukit cadas itu. Melanjutkan pekerjaannya. Semangatnya menyala-nyala terlihat jelas dari langkah cepatnya. Padahal kabut petaka telah menunggunya. Beberapa kilometer di depannya mendung hitam sedang menggantung tepat di atas bukit cadas. Tempat Bapak menggantungkan kehidupan dan angan-angannya.

###
Gading, Malang 3 Mei 2012
Kali : Sungai
Tomblok: Keranjang dari bambu
Amben : Tempat tidur
Nggih : Iya
  

BIOGRAFI PENULIS

Nama saya adalah Bisri Mustofa.
Lahir pada 8 maret 1990. tempat tinggal saya di pinggiran Malang, yaitu di desa Mentaraman Kecamatan Donomulyo kabupaten Malang. Alamat email saya adalah bmsoffa@gmail.com, sedangkan nomer HP saya 085785587460. FB:An Nectar. Sekarang saya sedang menuntut ilmu di Universitas Kanjuruhan Malang jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Semester ini saya semester yang ke-delapan. Selain kuliah saya sekarang nyantri di pondok Gading PPMH Malang yang terletak dijalan Gading Pesantren no.38 Malang. Saya menghabiskan waktu sehari-hari di pondok itu. O iya alamat kampus saya ada di Jl. S Supriadi no. 48 telp. 0341801488 Malang 65148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar