Rabu, 17 April 2013

Lupa Lagi (Cerpen)

LUPA LAGI


“Sayang, kaos kakinya disimpan dimana?” teriakku setengah kesal dengan tangan masih sibuk mencari kaos kaki di lemari, lebih tepatnya mengacak-acak lemari.
“Di tempat biasa, di laci bawah kan tempat kaos kaki abang, masa lupa lagi,,!!”seru Aisyah dari dapur. Aku menepuk jidat “Owh iya,lupa”seruku malu sendiri. Buru-buru kumasukkan kembali pakaian yang acak-acakan itu ke dalam lemari tanpa aku rapikan terlebih dahulu dan mengambil sepasang kaos kaki di laci bawah. Belum sempat aku berdiri bangun, kepala Aisyah udah nongol di pintu kamar membuat aku terlonjak kaget.
“Kenapa? Kayak orang ngelihat hantu aja!!”tanyanya sewot ketika melihat kekagetanku.
“Eh,, ee,, emang,” ups, keceplosan. Aisyah melotot dengan muka garangnya.
“Eng, enggak, abang becanda Ay. Lagian tiba-tiba muncul, kan kaget” nyengirku.
“Abis abang kebiasaan tiap pagi nyari kaoskaki sambil ngacak-ngacak lemari, Ay kan jadi ekstra kerjanya. Sifat jelek abang tuh ilangin, masa tiap pagi terus nanyain kaoskaki di mana, kan udah di bilangin tempatnya di laci bawah. Tetep aja lupa”Aisyah terus ngomel sambil merapikan pakaian yang aku acak-acak. Aku hanya nyengir sambil menunjukkan dua jari membentuk “V”. Aisyah hanya cemberut menggeleng.
         Begitulah setiap pagi di rumahku selalu di awali dengan omelan cerewet Aisyah, isteriku. Sebenarnya bukan salah Aisyah juga kalau ia ngomel tiap pagi, karena memangsifat aku yang pelupa berat sehingga menjadi rutinitas pergi dan pulang kantor lupa nyimpen barang. Ditambah sifat aku satu lagi nggak bisa rapi, kalau nyimpen barang di manasaja. Tapi itu hanya akan berlangsung sebentar, toh cukup dengan minta maaf dan ia hanya tersenyum maklum.
         Seperti sore itu ketika aku pulang dari kantor. Kuketuk pintu rumah sambil mengucap salam, tapi lama tak ada jawaban. Mungkin Aisyah sedang sibuk di dapur, pikirku. Akupun langsung masuk dan duduk di kursi sambil membuka sepatu dan kaos kaki lalu minum secangkir teh yang telah disediakan Aisyah di meja. Aku beranjak ke kamar dan ganti baju. Tiba-tiba ku dengar suara Aisyah marah-marah diruangdepan. “Ada apa lagi sih?” gerutuku.
“Abang kebiasaan pulang kantor sepatu sama kaos kaki nggak di rapiin! Kan udah ada tempatnya, sepatu simpan di rak, kaos kaki di tempat cucian,,” teriaknya. Ups, lupa lagi dech, buru-buru aku menemuinya.
“Maaf Ay, abang lupa”ucapku malu-malu.                 
“Lupa lagi, lupa lagi, belum punya anak kok udah pikun. Gimana nanti kalau udah kakek-kakek ,jangan-jangan lupa lagikalau punya isteri” sahutnya dengan wajah cemberut.
“Ha ha,, Ay, Ay,, ada ada aja,, nggak bakalan lah . Masa sama isteri sendiri sampai lupa” ujarku memeluk punggungnya mesra.
“Abang lapar…  temenin abang makan yuk!” ajakku seraya menggandeng Aisyah ke meja makan. Aku makan dengan lahapnya. Ini yang aku sukai dari Aisyah, pinter masak. Masakannya super enak, bahkan aku sering banggain dia di depan teman-temanku. Makanya aku paling enggan untuk makan di luar rumah, menurutku masakan Aisyah tak kalah enaknya dengan masakan chef di lestoran mewah.
                                                                             ***
         Pagi itu aku melihat sesuatu yang beda pada Aisyah, seperti ada yang ia sembunyikan dariku, tapi entah apa. Aku tak bisa menebaknya.
“Ay sakit? Kok wajah Ay pucat dan lesu gitu? Kita ke dokter ya, biar abang antar!” tanyaku ketika kami sedang  sarapan.
“Enggak usah bang, Ay nggak apa-apa kok” jawabnya.
“Beneran nggakkenapa-napa?” tanyaku menyelidik
“Beneran kok, Ay nggak apa-apa,,” jawabnya cepat dengan senyum yang dipaksakan. “Anu,,Emm,,,Ay mau kerumah ibu boleh nggak?” lanjutnya.
“Lho bukannya baru dua minggu lalu dari sana? Jadwalnya kan bulan depan,,” aku balik nanya.
“Iya, tapi Ay kangen sama ibu, kebetulan mbak Sinta sekeluarga juga datang hari ini, tapi kalau abang nggak ngizinin juga nggak apa-apa.”
“Oh,iya deh boleh, tapi maaf abang nggak bisa ikut, pekerjaan abang lagi numpuk sekarang”
“Tidak apa-apa, biar Ay sendiri saja,,terima kasih ya bang” ucapnya dengan wajah sumringah
                                                                                ***
        Ku buka pintu rumah, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan rumah, sepi. Aku berjalan mendekati meja makan. Aku tersenyum ketika kudapati di atas meja sudah tersaji makan malamku. Langsung kusantap habis makan malamku. Sambil makan aku melamun sendiri.
“Akhirnya gak bakal ada yangn gomel-ngomel tiap pagi dan sore untuk beberapa hari ke depan”gumamku senang.
        Seusai makan aku mencuci piring, kemudian ke ruang tengah. Aku tersenyum ketika melihat di ruang depan sepatu dan kaoskaki bekas tadi sore masih berantakan di bawah kursi.
“Kalau ada Aisyah pasti udah ngomel-ngomel” bisikku dalam hati. Kuambil sepatu dan kaos kaki kemudian menyimpannya di dapur.
      Malam itu udara begitu dingin menusuk tulang, membuatku enggan untuk beranjak dari kasur. Tiba-tibaaku teringat Aisyah, sedang ngapain ya dia di sana, pikirku. Biasanya kalau lagi dingin-dingin kayak gini pasti Aisyah membuatkan bubur kacang hangat, atau wedang jahe. Duh, kalau lagi nggak ada baru di pikirin, giliran ada dirumah kadang suka kesel juga. Eeh, tapi dipikir-pikir sih emang aku nya juga yang nyebelin, susah dibilangin, wajar juga kalau Aisyah marah, aku tersenyum sendiri.                                                                
       Adzan subuh yang berkumandang dari mesjid dekat rumah membuat aku terlonjak bangun. Langsung aku lari ke kamar mandi untuk berwudhu, setelah itu pergi ke mesjid. Seusai sholat subuh aku kembali menarik selimut, jadwalku tiap Minggu shubuh, tidur lagi.
            Whoaaamm...!!! aku menggeliat bangun. Kulirik jam di dinding, “wah udah jam 08.00 nih”seruku kaget. Setengah masih mengantuk ku paksakan bangun juga.
Sejurus kemudian aku telah larut dalam aktivitas rumah tangga yang jarang kulakukan, bahkan tak pernah sama sekali. Karena semua itu Aisyah yang mengerjakan, sementara aku paling-paling kalau lagi ada perabot rumah yang rusak baru urusan aku. Ternyata capek juga mengerjakan kerjaan rumah yang terkadang aku remehkan. Sambil terlentang menghilangkan capek yang lumayan mendera pikiranku menerawang ke mana-mana. Tak terbayang bagimana Aisyah setiap hari terus bergelut dengan rutinitas yang melelahkan ini. Bahkan masih harus melayani aku yang butuh  kesabaran ekstra. Ah, seharusnya aku lebih perhatian dengan dia, terlalu banyak dan capek ia bekerja. Mungkin sekali-kali aku harus ngajak dia refreshing, istirahat dari rutinitas yang menjemukan ini. Tiba-tiba pikiranku buyar ketika hidungku menangkap bau yang tak sedap. Hidungkumengendus-endus memastikan dari mana aroma bau berasal.   Woaaaaa, aku berlari kedapur.
‘’Masya Allah,,’’ akuberteriak kaget ketika melihat panci yang sudah kering tak berair, gosong. Akulupa kalau tadi sedang masak air. Cepat-cepat aku matiin kompor, untung gaks ampai meledak juga, pikirku. Tiba-tiba aku ingat Aisyah, aku rindu hadirnya, aku rindu senyum manisnya, rindu tatapan galaknya ketika aku lupa nyimpen, dan aku rindu omelan pagi dan sore darinya. Ah, kenapa rasa ini begitu menggebu-gebu, padahal baru kemarin ia di rumah ibu, besok juga udah pulang lagi. Tapi entahlah, aku begitu ingin sekali menyusulnya ke Lembang. Aku ingat sebelum berangkat wajah Aisyah terlihat berbeda, seperti ada sesuatu yang disembunyikannya, tapi apa. Pikiranku menerawang mengingat-ingat apakah ada sikapku yang telah menyinggung perasaannya. Apa jangan-jangan...
                                                                ***
         Akhirnya aku sampai juga di halaman yang cukup luas ini. Di depan sebuah rumah yang mewah alias mepet sawah aku berdiri. Aku memang nekat nyusul Aisyah ke Lembang. Kuketuk pintu rumah. Tak berselang lama,seseorang membuka pintu, ibu. Aku langsung mencium tangan mertuaku itu.
“Faris,,” ujar ibuyang cukup kaget melihat kedatanganku. Beliau mengajakku masuk
“Bagaimana kabar ibudan bapak sekeluarga?” tanyaku sambil masuk.
“Alhamdulillah sehat semua, kok nggak bilang-bilang dulu atuh kalau mau kesini?” tanyanya sambil menyiapkan minum untukku.
‘’Maaf bu, sayamendadak kesini nya” aku merebahkan diri di kursi.
“Oh, kebetulan atuh mbak Sinta dan anak-anaknya juga lagi di sini”
“Mana Aisyah, Kok nggak kelihatan?”
“Oh iya kebetulanAisyah lagi pergi ke pasar sama Sinta. Sebentar lagi juga pulang” jawab ibu.
Kami pun asyik mengobrol ngalor ngidul. Padahal dalam hati aku cemas banget takut kalau-kalau ibu menanyakan hal yang menjadi pertanyaan wajibnya setiap kami datang kesini, Aduh aku harus jawab apa. Tapi aku bisa bernafas lega setelah tak berselang lama, Aisyah muncul membawa sekeranjang sayuran, disusul mbak Sinta yang menggendong sikecil Nayla, kemudian berlalu ke dapur setelah menyapaku. Aisyah terlihat begitu kaget melihat kedatanganku, tiba-tiba wajahnya berubah pucat. Dengan masih kaget bercampur gugup ia mencium tanganku yang kusambut dengan senyum terindah ku (huh sok mendramatisir,,he)
“Abang kenapa ke sini?’’tanya Aisyah. Aku kaget dengan pertanyaan Aisyah, Aisyah pun tak kalah kagetnya. Kumajukan kedua bibirku beberapa centi kedepan.
“Eh maaf, maksud Ay, kok abang nyusul Aisyah, kenapa?” tanyanya sambil tersenyum tapi lebih tepatnya dibilang meringis.
“Enggak kenapa-napa, abang pengen nyusul aja,”jawabku sekenanya.
“Kapan nyampenya?”
“Setengah jam yang lalu’’
“Oh ya udah abang istirahat aja dulu, masih kecapekan kan. Ay masak dulu buat makan malam”suruhnya sambil berlalu ke dapur. Akupun langsung ke kamar merebahkan badan yang terasa remuk, pegal-pegal.
          Saat makan malam tiba, tiba-tiba hatiku dag dig dugtak karuan. Apalagi saat Ibu mulai bertanya-tanya tentang kehidupan kami. Ibuhanya tinggal seorang diri di rumah ini, bapak sudah beberapa tahun silam meninggal dunia, jauh sebelum aku menjadi bagian dari keluarga ini.
‘’Kemarin ibu tanya Aisyah tentang rumah tangga kalian” ujarnya.
Jleebbb… hatiku serasa berhenti berdetak. Aku menrunduk, kulirik Aisyah, yang dilirik asyik makan tak peduli. Aku manyun sendiri.
“Alhamdulillah, ternyata rumahtangga kalian sampai saat ini baik-baik saja,”lanjutnya. Aku menghelanafas lega, sepertinya tak akan terjadi sesuatu yang tak kuinginkan.
“Aisyah bilang kamu teh terlalu baik sama dia. Malah Aisyahnya yang sering bikin kesal kamu, Ibumah takut kamu terlalu membiarkan dia senaknya. Hapunten Aisyah ya kalau dia sering bersikap gak baik sama kamu, maklum atuh dia teh anak bungsu agak manja, jadi kalu ada salah tegur aja ya”. Aku tercekat, kenapa jadi kebalik ya ceritanya.
“Enggak kok bu, justru saya yang sering berbuat salah sama Aisyah, saya belum bisa jadi suami yang baik buat dia” jawabku menahan malu. Kok Aisyah nggak bilang yang sebenarnya ya sama ibu, pikirku. Ah, aku malu sendiri aku terlalu banyaksuudzon sama dia.
                Selepas makan malam, aku duduk santai di kursi teras rumah sambil menikmati udara malam dan suasana pesawahan yang terhampar depan rumah. Aisyah datang dengan membawa dua gelas wedang jahe, duduk disampingku.
“Abang bukannya lagi banyak kerjaan di kantor” tanya membuka obrolan.
“Iya, tapi abang sengaja cuti biar bisa ke sini, kan demi Ay,, hehe” jawabku yang disambut tonjokan Aisyah, Aw sakit juga ninjunya.
“Sebenarnya abang kesini sengaja mau minta maaf” ujarku mencoba untuk serius.
“Minta maaf karena apa?” tanyanya
“Abang tau kalau sebenarnya Ay marah sama abang kan? Gara-gara sifat abang yang pelupa,, terus Ay sengaja pengen ke sini untuk menenangkan diri. ‘’ Aisyah merunduk. Akumeraih tangannya.
“Abang minta maaf atas sifat abang, abang janji abang akan berusaha memperbaiki sifat jelek abang, tapi Ay kasih kesempatan dan waktu buat abang memperbaikinya.”.
Aisyah menatapku lekat, dimatanya berlinangan air mata yang sepertinya tak lama lagi akan jatuh.
“Bukannya Ay bencisama sifat abang, tapi Ay ingin abang ngerti dengan kerjaan Ay setiap hari, Ay capek kalau tiap hari harus ditambah dengan kerjaan beresin baju. Ay juga minta maaf kalau Ay sering ngomel dan cerewet sama abang, Ay minta maaf ya”
“Jadi Ay maafin abang?” tanyaku mendesak. Aisyah menganggukan kepala. Aku memeluknya erat. Kami menangis bersama.
“Minum dong wedangnya, ntar keburu dingin” Suruhnya. Aku langsung mengambil gelas wedangku.
 “Tapi kenapa Ay bohong sama ibu tentang abang?” tanyaku penasaran.
“Ay sengaja, Ay nggakmau membuat abang malu di depan ibu, biarlah Ay saja yang tau, dan biarlah kita saja yang tau problematika rumah tangga kita” katanya tersenyum.
“Terimaksih ya Ay, kamu memang isteriku yang paling baik,,” Tak terasa air mataku kembali melewati pipi.
“Udah jangan nangis lagi dong, ntar wedangnya jadi asin” candanya. Aku hanya nyengir.
          Keesokan paginya kami pulang ke rumah. Sampai di depanrumah ketika hendak membuka pintu Aisyah berteriak. Aku yang sedang keberatan dengan barang bawaan langsung bergegas mendekat.
“Ada apa Ay kok baru sampai teriak-teriak?” tanyaku heran. Kulihat wajah Aisyah memerah menahankesal. Dengan setengah kesal Aisyah memarahiku.
“Abang berangkat nggak kunci pintu? Lihat nih pintunya nggak terkunci,,” makinya seperti hendak nangis. Aku tercekat kaget. Waduh,,!! Iya aku lupa ngunci pintu kemarin
“Eh, iya Ay abang lupa ngunci, abang buru-buru waktu itu” kilahku tak ingin disalahkan.
Tanpa ba-bi-bu Aisyah langsung masuk memeriksa takut-takut kalau ada barang yang dicuri maling. Syukurlah setelah diperiksa semua barang-barang tak ada yang hilang sepertinya.
“Untung aja nggak ada maling yang masuk, kalau ada mungkin habis barang-barang kita, mana harta cuma segini-gininya” gerutunya.
“Iya maaf, yang pentingkan nggak kemalingan” jawabku dengan tampang watados.
         Bangun tidur aku dikejutkan dengan suara berisik dikamar. ketika kulihat,  Aisyah sedang sibuk menempelkan sesuatu di lemari. Aku beranjak dari kasur penasaran. ‘tempat kaos kaki’ aku membaca tulisan yang baru selesai di tempel Aisyah. Aisyah melirikku tersenyum.
“Nah mulai sekarang abang gak akan lupa lagi, ” katanya bersemangat.
“Terimakasih ya Ay,” ucapku haru.
“Selalu ada solusi di setiap masalah,” ujarnya tersenyum bahagia.
Aku tersenyum sambil berlalu untuk mandi. Tak lama kemudian aku berteriak dari dalam kamar mandi “Aya kulupa bawa handuk tolong ambilkan ya di gantungan kamar” teriakku. Sementara Aisyah berjalan ke kamar dengan menggerutu dan wajah kesal.




 #Annisa, penulis asal Ciamis Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar