LUPA LAGI
“Sayang, kaos kakinya disimpan dimana?” teriakku
setengah kesal dengan tangan masih sibuk mencari kaos kaki di lemari, lebih
tepatnya mengacak-acak lemari.
“Di tempat biasa, di laci bawah kan tempat kaos
kaki abang, masa lupa lagi,,!!”seru Aisyah dari dapur. Aku menepuk jidat
“Owh iya,lupa”seruku malu sendiri. Buru-buru kumasukkan kembali pakaian
yang acak-acakan itu ke dalam lemari tanpa aku rapikan terlebih dahulu dan
mengambil sepasang kaos kaki di laci bawah. Belum sempat aku berdiri bangun,
kepala Aisyah udah nongol di pintu kamar membuat aku terlonjak kaget.
“Kenapa? Kayak orang ngelihat hantu aja!!”tanyanya
sewot ketika melihat kekagetanku.
“Eh,, ee,, emang,” ups,
keceplosan. Aisyah melotot dengan muka garangnya.
“Eng, enggak, abang becanda Ay. Lagian tiba-tiba
muncul, kan kaget” nyengirku.
“Abis abang kebiasaan tiap pagi nyari
kaoskaki sambil ngacak-ngacak lemari, Ay kan jadi ekstra kerjanya. Sifat jelek abang tuh
ilangin, masa tiap pagi terus nanyain kaoskaki di mana, kan udah di bilangin
tempatnya di laci bawah. Tetep aja lupa”Aisyah terus ngomel sambil
merapikan pakaian yang aku acak-acak. Aku hanya nyengir sambil menunjukkan dua
jari membentuk “V”. Aisyah hanya cemberut menggeleng.
Begitulah setiap pagi di rumahku selalu di awali dengan omelan cerewet Aisyah,
isteriku. Sebenarnya bukan salah Aisyah juga kalau ia ngomel tiap pagi, karena
memangsifat aku yang pelupa berat sehingga menjadi rutinitas pergi dan pulang
kantor lupa nyimpen barang. Ditambah sifat aku satu lagi nggak bisa rapi, kalau
nyimpen barang di manasaja. Tapi itu hanya akan berlangsung sebentar, toh cukup
dengan minta maaf dan ia hanya tersenyum maklum.
Seperti sore itu ketika aku pulang dari kantor. Kuketuk pintu rumah sambil
mengucap salam, tapi lama tak ada jawaban. Mungkin Aisyah sedang sibuk di
dapur, pikirku. Akupun langsung masuk dan duduk di kursi sambil membuka sepatu
dan kaos kaki lalu minum secangkir teh yang telah disediakan Aisyah di meja.
Aku beranjak ke kamar dan ganti baju. Tiba-tiba ku dengar suara Aisyah
marah-marah diruangdepan. “Ada apa
lagi sih?” gerutuku.
“Abang kebiasaan pulang kantor sepatu sama
kaos kaki nggak di rapiin! Kan udah ada tempatnya, sepatu simpan di rak, kaos
kaki di tempat cucian,,” teriaknya. Ups, lupa lagi dech, buru-buru aku menemuinya.
“Maaf Ay, abang lupa”ucapku malu-malu.
“Lupa lagi, lupa lagi, belum punya anak kok
udah pikun. Gimana nanti kalau udah kakek-kakek ,jangan-jangan lupa lagikalau
punya isteri” sahutnya dengan wajah cemberut.
“Ha ha,, Ay, Ay,, ada ada aja,, nggak bakalan
lah . Masa sama isteri sendiri sampai lupa” ujarku memeluk punggungnya
mesra.
“Abang lapar… temenin abang makan yuk!”
ajakku seraya menggandeng Aisyah ke meja makan. Aku makan dengan lahapnya. Ini
yang aku sukai dari Aisyah, pinter masak. Masakannya super enak, bahkan aku
sering banggain dia di depan teman-temanku. Makanya aku paling enggan untuk
makan di luar rumah, menurutku masakan Aisyah tak kalah enaknya dengan masakan
chef di lestoran mewah.
***
Pagi itu aku melihat sesuatu yang beda pada Aisyah, seperti ada yang ia
sembunyikan dariku, tapi entah apa. Aku tak bisa menebaknya.
“Ay sakit? Kok wajah Ay pucat dan lesu gitu?
Kita ke dokter ya, biar abang antar!” tanyaku ketika kami sedang sarapan.
“Enggak usah bang, Ay nggak apa-apa kok”
jawabnya.
“Beneran nggakkenapa-napa?” tanyaku
menyelidik
“Beneran kok, Ay nggak apa-apa,,” jawabnya
cepat dengan senyum yang dipaksakan. “Anu,,Emm,,,Ay mau kerumah ibu boleh nggak?” lanjutnya.
“Lho
bukannya baru dua minggu lalu dari sana? Jadwalnya kan bulan depan,,” aku balik
nanya.
“Iya, tapi Ay kangen sama ibu, kebetulan mbak
Sinta sekeluarga juga datang hari ini, tapi kalau abang nggak ngizinin juga
nggak apa-apa.”
“Oh,iya deh boleh, tapi maaf abang nggak bisa
ikut, pekerjaan abang lagi numpuk sekarang”
“Tidak apa-apa, biar Ay sendiri saja,,terima
kasih ya bang” ucapnya dengan wajah sumringah
***
Ku buka pintu rumah, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan rumah, sepi. Aku
berjalan mendekati meja makan. Aku tersenyum ketika kudapati di atas meja sudah
tersaji makan malamku. Langsung kusantap habis makan malamku. Sambil makan aku
melamun sendiri.
“Akhirnya gak bakal ada yangn gomel-ngomel
tiap pagi dan sore untuk beberapa hari ke depan”gumamku senang.
Seusai makan aku mencuci piring, kemudian ke ruang tengah. Aku tersenyum ketika
melihat di ruang depan sepatu dan kaoskaki bekas tadi sore masih berantakan di
bawah kursi.
“Kalau ada Aisyah pasti udah ngomel-ngomel” bisikku
dalam hati. Kuambil sepatu dan kaos kaki kemudian menyimpannya di dapur.
Malam
itu udara begitu dingin menusuk tulang, membuatku enggan untuk beranjak dari
kasur. Tiba-tibaaku teringat Aisyah, sedang ngapain ya dia di sana, pikirku.
Biasanya kalau lagi dingin-dingin kayak gini pasti Aisyah membuatkan bubur
kacang hangat, atau wedang jahe. Duh, kalau lagi nggak ada baru di pikirin,
giliran ada dirumah kadang suka kesel juga. Eeh, tapi dipikir-pikir sih emang
aku nya juga yang nyebelin, susah dibilangin, wajar juga kalau Aisyah marah,
aku tersenyum
sendiri.
Adzan subuh yang berkumandang dari mesjid dekat rumah membuat aku terlonjak
bangun. Langsung aku lari ke kamar mandi untuk berwudhu, setelah itu pergi ke
mesjid. Seusai sholat subuh aku kembali menarik selimut, jadwalku tiap Minggu
shubuh, tidur lagi.
Whoaaamm...!!! aku menggeliat bangun. Kulirik jam di dinding,
“wah udah jam 08.00 nih”seruku kaget. Setengah masih mengantuk ku paksakan
bangun juga.
Sejurus
kemudian aku telah larut dalam aktivitas rumah tangga yang jarang kulakukan,
bahkan tak pernah sama sekali. Karena semua itu Aisyah yang mengerjakan, sementara
aku paling-paling kalau lagi ada perabot rumah yang rusak baru urusan aku.
Ternyata capek juga mengerjakan kerjaan rumah yang terkadang aku remehkan.
Sambil terlentang menghilangkan capek yang lumayan mendera pikiranku menerawang
ke mana-mana. Tak terbayang bagimana Aisyah setiap hari terus bergelut dengan
rutinitas yang melelahkan ini. Bahkan masih harus melayani aku yang butuh
kesabaran ekstra. Ah, seharusnya aku lebih perhatian dengan dia, terlalu
banyak dan capek ia bekerja. Mungkin sekali-kali aku harus ngajak dia
refreshing, istirahat dari rutinitas yang menjemukan ini. Tiba-tiba pikiranku
buyar ketika hidungku menangkap bau yang tak sedap. Hidungkumengendus-endus
memastikan dari mana aroma bau berasal. Woaaaaa, aku berlari
kedapur.
‘’Masya Allah,,’’ akuberteriak
kaget ketika melihat panci yang sudah kering tak berair, gosong. Akulupa kalau
tadi sedang masak air. Cepat-cepat aku matiin kompor, untung gaks ampai meledak
juga, pikirku. Tiba-tiba aku ingat Aisyah, aku rindu hadirnya, aku rindu senyum
manisnya, rindu tatapan galaknya ketika aku lupa nyimpen, dan aku rindu omelan
pagi dan sore darinya. Ah, kenapa rasa ini begitu menggebu-gebu, padahal baru
kemarin ia di rumah ibu, besok juga udah pulang lagi. Tapi entahlah, aku begitu
ingin sekali menyusulnya ke Lembang. Aku ingat sebelum berangkat wajah Aisyah
terlihat berbeda, seperti ada sesuatu yang disembunyikannya, tapi apa.
Pikiranku menerawang mengingat-ingat apakah ada sikapku yang telah menyinggung
perasaannya. Apa jangan-jangan...
***
Akhirnya aku sampai juga di halaman yang cukup luas ini. Di depan sebuah rumah
yang mewah alias mepet sawah aku berdiri. Aku memang nekat nyusul Aisyah ke
Lembang. Kuketuk pintu rumah. Tak berselang lama,seseorang membuka pintu, ibu.
Aku langsung mencium tangan mertuaku itu.
“Faris,,” ujar ibuyang cukup
kaget melihat kedatanganku. Beliau mengajakku masuk
“Bagaimana kabar ibudan bapak sekeluarga?” tanyaku
sambil masuk.
“Alhamdulillah sehat semua, kok nggak
bilang-bilang dulu atuh kalau mau kesini?” tanyanya sambil menyiapkan
minum untukku.
‘’Maaf bu, sayamendadak kesini nya” aku merebahkan diri di kursi.
“Oh, kebetulan atuh mbak Sinta dan anak-anaknya juga lagi di sini”
“Mana Aisyah, Kok nggak kelihatan?”
“Oh iya kebetulanAisyah lagi pergi ke pasar sama Sinta. Sebentar lagi
juga pulang” jawab ibu.
Kami pun
asyik mengobrol ngalor ngidul. Padahal dalam hati aku cemas banget takut
kalau-kalau ibu menanyakan hal yang menjadi pertanyaan wajibnya setiap kami
datang kesini, Aduh aku harus jawab apa. Tapi aku bisa bernafas lega setelah
tak berselang lama, Aisyah muncul membawa sekeranjang sayuran, disusul mbak
Sinta yang menggendong sikecil Nayla, kemudian berlalu ke dapur setelah menyapaku.
Aisyah terlihat begitu kaget melihat kedatanganku, tiba-tiba wajahnya berubah
pucat. Dengan masih kaget bercampur gugup ia mencium tanganku yang kusambut
dengan senyum terindah ku (huh sok mendramatisir,,he)
“Abang kenapa ke sini?’’tanya Aisyah.
Aku kaget dengan pertanyaan Aisyah, Aisyah pun tak kalah kagetnya. Kumajukan
kedua bibirku beberapa centi kedepan.
“Eh maaf, maksud Ay, kok abang nyusul Aisyah,
kenapa?” tanyanya sambil tersenyum tapi lebih tepatnya dibilang
meringis.
“Enggak
kenapa-napa, abang pengen nyusul aja,”jawabku sekenanya.
“Kapan nyampenya?”
“Setengah jam yang lalu’’
“Oh ya udah abang istirahat aja dulu, masih kecapekan kan. Ay masak
dulu buat makan malam”suruhnya
sambil berlalu ke dapur. Akupun langsung ke kamar merebahkan badan yang terasa
remuk, pegal-pegal.
Saat makan malam tiba, tiba-tiba hatiku dag dig dugtak karuan. Apalagi saat Ibu
mulai bertanya-tanya tentang kehidupan kami. Ibuhanya tinggal seorang diri di
rumah ini, bapak sudah beberapa tahun silam meninggal dunia, jauh sebelum aku
menjadi bagian dari keluarga ini.
‘’Kemarin ibu tanya Aisyah tentang rumah
tangga kalian” ujarnya.
Jleebbb…
hatiku serasa berhenti berdetak. Aku menrunduk, kulirik Aisyah, yang dilirik
asyik makan tak peduli. Aku manyun sendiri.
“Alhamdulillah, ternyata rumahtangga kalian
sampai saat ini baik-baik saja,”lanjutnya. Aku menghelanafas lega,
sepertinya tak akan terjadi sesuatu yang tak kuinginkan.
“Aisyah bilang kamu teh terlalu baik sama
dia. Malah Aisyahnya yang sering bikin kesal kamu, Ibumah takut kamu terlalu
membiarkan dia senaknya. Hapunten Aisyah ya kalau dia sering bersikap gak baik
sama kamu, maklum atuh dia teh anak bungsu agak manja, jadi kalu ada salah
tegur aja ya”. Aku tercekat, kenapa jadi kebalik ya ceritanya.
“Enggak kok bu, justru saya yang sering
berbuat salah sama Aisyah, saya belum bisa jadi suami yang baik buat dia” jawabku
menahan malu. Kok Aisyah nggak bilang yang sebenarnya ya sama ibu, pikirku. Ah,
aku malu sendiri aku terlalu banyaksuudzon sama dia.
Selepas makan malam, aku duduk santai di kursi teras rumah sambil menikmati
udara malam dan suasana pesawahan yang terhampar depan rumah. Aisyah datang
dengan membawa dua gelas wedang jahe, duduk disampingku.
“Abang bukannya lagi banyak kerjaan di kantor”
tanya membuka obrolan.
“Iya, tapi abang sengaja cuti biar bisa ke sini,
kan demi Ay,, hehe” jawabku yang disambut tonjokan Aisyah, Aw sakit
juga ninjunya.
“Sebenarnya abang kesini sengaja mau minta maaf” ujarku mencoba untuk serius.
“Minta maaf karena apa?” tanyanya
“Abang tau kalau sebenarnya Ay marah sama
abang kan? Gara-gara sifat abang yang pelupa,, terus Ay sengaja pengen ke sini
untuk menenangkan diri. ‘’ Aisyah merunduk. Akumeraih tangannya.
“Abang minta maaf atas sifat abang, abang
janji abang akan berusaha memperbaiki sifat jelek abang, tapi Ay kasih
kesempatan dan waktu buat abang memperbaikinya.”.
Aisyah
menatapku lekat, dimatanya berlinangan air mata yang sepertinya tak lama lagi
akan jatuh.
“Bukannya Ay bencisama sifat abang, tapi Ay
ingin abang ngerti dengan kerjaan Ay setiap hari, Ay capek kalau tiap hari
harus ditambah dengan kerjaan beresin baju. Ay juga minta maaf kalau Ay sering
ngomel dan cerewet sama abang, Ay minta maaf ya”
“Jadi Ay maafin abang?” tanyaku mendesak. Aisyah menganggukan kepala. Aku memeluknya
erat. Kami menangis bersama.
“Minum dong wedangnya, ntar keburu dingin” Suruhnya. Aku langsung mengambil
gelas wedangku.
“Tapi kenapa Ay bohong sama ibu tentang abang?” tanyaku penasaran.
“Ay sengaja, Ay nggakmau membuat abang malu di depan ibu, biarlah Ay
saja yang tau, dan biarlah kita saja yang tau problematika rumah tangga
kita” katanya
tersenyum.
“Terimaksih ya Ay, kamu memang isteriku yang paling baik,,” Tak terasa air mataku kembali
melewati pipi.
“Udah jangan nangis lagi dong, ntar wedangnya jadi asin” candanya. Aku hanya nyengir.
Keesokan paginya kami pulang ke rumah. Sampai di depanrumah ketika hendak
membuka pintu Aisyah berteriak. Aku yang sedang keberatan dengan barang bawaan
langsung bergegas mendekat.
“Ada apa
Ay kok baru sampai teriak-teriak?” tanyaku heran. Kulihat wajah Aisyah memerah
menahankesal. Dengan setengah kesal Aisyah memarahiku.
“Abang
berangkat nggak kunci pintu? Lihat nih pintunya nggak terkunci,,” makinya
seperti hendak nangis. Aku tercekat kaget. Waduh,,!! Iya aku lupa ngunci pintu
kemarin
“Eh, iya
Ay abang lupa ngunci, abang buru-buru waktu itu” kilahku tak ingin disalahkan.
Tanpa ba-bi-bu Aisyah langsung masuk
memeriksa takut-takut kalau ada barang yang dicuri maling. Syukurlah setelah
diperiksa semua barang-barang tak ada yang hilang sepertinya.
“Untung
aja nggak ada maling yang masuk, kalau ada mungkin habis barang-barang kita,
mana harta cuma segini-gininya” gerutunya.
“Iya maaf,
yang pentingkan nggak kemalingan” jawabku dengan tampang watados.
Bangun tidur aku dikejutkan dengan suara berisik dikamar. ketika kulihat,
Aisyah sedang sibuk menempelkan sesuatu di lemari. Aku beranjak dari kasur
penasaran. ‘tempat kaos kaki’ aku membaca tulisan yang baru selesai
di tempel Aisyah. Aisyah melirikku tersenyum.
“Nah mulai
sekarang abang gak akan lupa lagi, ” katanya bersemangat.
“Terimakasih
ya Ay,” ucapku haru.
“Selalu
ada solusi di setiap masalah,” ujarnya tersenyum bahagia.
Aku
tersenyum sambil berlalu untuk mandi. Tak lama kemudian aku berteriak dari
dalam kamar mandi “Aya kulupa bawa handuk tolong ambilkan ya di gantungan
kamar” teriakku. Sementara Aisyah berjalan ke kamar dengan menggerutu dan wajah
kesal.
#Annisa, penulis asal Ciamis Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar