Andai Waktu Bisa Kuputar Kembali (Cerpen)
Oleh: Rahadi W.
Panas sekali siang ini. Terik matahari
serasa melelehkan isi kepala. Urat-urat darah di pelipisku
sampai berdenyut-denyut. Pening. Sepertinya tak sanggup lagi aku terus
berjalan. Bukan hanya kepalaku yang pening, perutku juga keroncongan. Tenagaku
hampir tak bersisa lagi setelah berjalan kaki menjelajahi separuh kota ini,
tanpa hasil.
Benar-benar
tidak beruntung aku hari ini. Seharian tak ada satu orang pun memanggilku untuk
menjahitkan sepatu. Padahal, sejak berangkat pagi-pagi tadi, tak ada uang
sepeser pun di kantongku. Aku belum sarapan. Dan hingga sesiang ini, aku masih
tak punya uang untuk membeli makan. Ah, nasib.... Menjadi tukang sol sepatu
bukanlah pekerjaan yang kuinginkan. Jangankan mencukupi, untuk menambal
kebutuhan makan saja tak terpenuhi. Apalagi di usiaku yang sudah hampir tujuh
puluh tahun ini, pekerjaan seperti ini bisa membuatku mati mendadak di pinggir
jalan. Tapi apa daya, aku tidak punya keahlian lain.
Aku mau
beristirahat dulu sekarang, letih sekali rasanya. Emperan toko itu tampaknya cukup
teduh. Tapi... bukankah itu toko bangunan Si Darta? Bah! Kalau ada tempat lain
mending aku berteduh di tempat lain saja. Tapi toko-toko lain kepanasan semua
empernya, hanya toko bangunan itu yang cukup teduh. Lagipula, ada pohon besar
di sebelah tokonya.
Celingukan sebentar, tak kulihat pemilik toko
itu. Merasa aman, aku pun duduk di pojok emperan toko. Aku bukan takut pada
Darta, hanya malu. Aku tak mau ia melihat keadaanku sekarang. Dulu aku dan
Darta sama-sama jadi kuli bangunan. Sekarang, setelah sama-sama tak kuat lagi kerja
jadi kuli, aku beralih jadi tukang sol sepatu keliling. Dan Darta? Dialah
pemilik toko bangunan ini. Kerjanya hanya duduk santai di balik meja kasir, tapi
duitnya makin banyak saja.
Kok bisa
ya? Bagaimana nasib kami berdua bisa mengarah ke ujung yang jauh berbeda? Ah,
seandainya waktu bisa kuputar kembali, tentu takkan kubiarkan jalan hidupku
berakhir begini.
Apa yang
hebat dari Darta? Tidak ada, menurutku. Waktu sama-sama jadi kuli, akulah yang
banyak mengajarinya. Tenagaku juga lebih kuat darinya. Bahkan, banyak orang
menilai dia itu “malas” dan “cepat capek”. Darta juga mudah tersinggung. Pada
suatu hari, kami − para kuli bangunan − sedang istirahat. Hari itu sangat
panas, sehingga kami agak malas kembali bekerja. Lalu datanglah seorang mandor
memaki-maki kami. Tidak ada yang sakit hati dengan makian itu kecuali Darta. Ia
bersumpah akan mengubah nasibnya menjadi lebih kaya dari mandor itu, sehingga
takkan dimaki orang lagi. Kami semua menertawakannya, bagaimana mungkin seorang
kuli menjadi kaya?
Itulah
salahku, cepat sekali bilang “tak mungkin”. Darta sebaliknya, baginya tidak ada
hal yang tak mungkin sebelum dicoba. Dia mendatangi pemborong proyek tempat
kami bekerja. Tiap sore seusai bekerja sebagai kuli, dia bekerja di rumah
pemborong itu, tanpa digaji, dengan imbalan dia minta diajari cara menjadi
orang kaya. Lucu sekali kedengarannya! Kami semua tertawa. Tapi beberapa tahun
kemudian, kami tak bisa lagi menertawakannya, karena Darta telah berhasil
menjadi orang kaya, seperti yang diinginkannya. Sedangkan kami, tetap jadi
kuli.
Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Kalau
sedari dulu aku bersikap seperti Darta, mungkin sekarang aku tak perlu berjalan
kaki dari gang ke gang, menawarkan jasa menjahit sepatu yang rusak. Kalau Darta
bisa, mestinya aku juga bisa, toh dia tidak lebih hebat dariku. Sayang, waktu
tak pernah bisa diputar kembali. Maka di sinilah aku, membanting tulang di umur
enam puluh tahun, sambil menyesali nasib setiap hari.
Sebuah
mobil sedan BMW seri terbaru berhenti tepat di depan toko. Ah, ternyata
pengemudinya seorang gadis cantik berbaju kurung dan berkerudung manis. Gadis
itu turun dari mobil dan bergegas membuka pintu sebelahnya. Ia dengan telaten
membantu seorang kakek-kakek turun dari mobil. Astaga! Orang tua itu... Munip! Temanku
sekampung, dulu.
Ya betul,
itu Si Munip. Aku membalikkan badan, bersandar ke dinding toko sambil menutup
muka dengan topi burukku, pura-pura tidur. Aku tak mau Munip melihatku. Aku
malu.
Munip
adalah teman sekampungku dulu. Kami pernah akrab waktu masih sama-sama pemuda
tanggung. Aku ingat, akulah yang mengajarinya main ukulele. Waktu itu jamannya
lagi musim orang main musik keroncong. Kadang-kadang kami mengamen keliling
kampung. Suaranya tidak istimewa, lebih bagus suaraku. Tampangnya juga tidak
istimewa, lebih tampanlah aku, kurasa.
Pertemanan
kami merenggang ketika Munip berkata bahwa ia jatuh cinta pada anak Haji Alwi, keturunan
Arab itu. Sudah tentu, hampir semua pemuda di kampungku menaruh hati pada
Laila, yang cantik jelita itu, tak terkecuali aku. Hanya saja, tak ada di antara
kami yang berani terang-terangan menyatakannya. Maklum, Haji Alwi adalah orang terkaya
di kampung kami. Tak mungkin Haji Alwi akan menikahkah Laila dengan kuli
kampung miskin seperti kami.
Tapi
gilanya Si Munip, dia tak mau dibilang “tak mungkin”. Ia membawa ukulelenya dan
menyanyi di depan rumah gadis itu. Semula ia diusir oleh pelayan-pelayan Haji
Alwi, tapi besoknya ia kembali lagi, dasar muka tembok! Ternyata Laila suka
mengintipnya dari balik jendela dan jatuh hati padanya. Tak disangka, Haji Alwi
kemudian memanggilnya. Munip diberi pekerjaan di toko kelontong mereka. Karena
rajin bekerja dan jujur, Haji Alwi pun suka padanya, dan setahun kemudian ia
sudah menjadi menantu keluarga itu.
Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali. Aku akan
lebih dulu mendatangi gadis itu membawa ukuleleku. Aku lebih tampan dan suaraku
lebih merdu. Seharusnya Laila jatuh cinta padaku, bukan Munip. Seharusnya aku
yang sekarang naik mobil BMW itu, jadi menantu orang kaya dan punya istri
cantik. Ah, seandainya waktu bisa kuputar
kembali. Tak terhitung berapa kali aku mengatakan hal itu. Memutar waktu
kembali... tapi itulah satu-satunya hal yang “tak mungkin” di dunia ini. Dan
aku terlambat menyadarinya.
Dari
balik topi burukku, aku mengintip Munip yang sedang digandeng tangannya oleh
gadis cantik itu, berjalan menuju toko Darta. Pasti gadis itu adalah cucunya. Ck
ck ck..., sampai pada wajah cucunya pun masih terlukis jelas kecantikan
istrinya.
Tiba-tiba
dari toko itu keluar Darta dan seorang pemuda tampan. Tampaknya sang gadis dan
pemuda itu sudah saling mengenal. Mereka saling memperkenalkan Darta dan Munip.
Lagak-lagaknya, kedua orang “bekas” temanku itu bakalan berbesanan.
Ketika
keempat orang itu masuk ke dalam toko, hilang dari pandanganku, ada rasa hampa
meletup dalam hatiku. Rasanya, aku telah ditinggalkan oleh dunia dan seisinya. Ah, seandainya waktu bisa kuputar kembali.
Tapi sayangnya, itu tak mungkin.
MALANG
21/09/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar