Selasa, 17 Mei 2011

SI PEMBUNUH, PEMBUNUH (Cerpen)

SI PEMBUNUH, PEMBUNUH
By: Beny Yusman

Mengigil kulit ini terperangkap dingin, gerimis membasahi tanpa ampun, tanpa jeda. Sendiri, aku disini di ruang kosong nan hampa. Duduk bersila kepala merunduk, semuanya basah, baju, sarung, dan kopiyah membalut tubuhku. Air mata yang keluar tak sedikitpun membantu, membatunya hati tetap saja begitu. Hujan berhenti, terasa enggan ia membelai tubuhku lagi dengan airnya. Dan disini aku tetap duduk bersila, kepala merunduk. Ada yang beda, air hujan berhenti tapi tidak dengan air mata ini, terus saja ia membawaku pergi melanglang jauh sampai ke peranduan mentari yang semburat muncul di ufuk timur, mengakhiri malamku.
Mataku sudah lelah, jam menunjuk setengah tujuh, memaksaku harus segera membuang semua sesal yang melekat, membuang semua kesedihan yang mencekam kesadaran, aku harus menyiram semua sisa-sisa debu malam biar bersih tak tersisa di tubuhku.”bon kamu sudah siap berangkat ke sekolah?”, ”ya tunggu sebentar”, sahabatku Azis namanya, di setiap roman pagi hari, ketika sudah mau berangkat sekolah dia memang selalu mampir, dengan pertanyaan yang selalu sama, dia menungguku di pinggir jalan, depan gubukku, dialah sahabat karibku, berperawakan sederhana sehingga tak tampak bahwa sebenarnya dia adalah anaknya orang yang berpunya, orang tuanya tercatat sebagai salah satu anggota DPR di kotaku walaupun aku sendiri memang tidak tahu pasti siapa nama bapaknya itu, berbeda seratus delapan puluh derajat denganku, aku hidup tanpa ada ayah dan ibu di sisi, mereka berdua hilang di telan bumi tiada sejarah bertutur tentang mereka, bahkan nenekku pun enggan memberi penjelasan,”sudahlah ndo’ jika sudah tiba waktunya nanti kamu akan tahu sendiri”. Hanya itu yang selalu aku dengar dari nenekku, suara dengan irama yang tak sedikitpun berubah, kata-kata layaknya tembok berlin memaksaku harus diam tak bergeming di buatnya, kata-kata yang mungkin takkan pernah berubah kecuali kalau waktu sudah memberi aba-aba, yah seperti itulah sikap nenek.
Nenekku adalah pahlawan bagiku, siang hari ia lumat dalam setalam gorengan pisang, ia berjalan melukis lorong-lorong di antara rumah-rumah warga sekitar, mencari setetes rizki yang mungkin Tuhan titipkan di hati para warga, semangat tanggung jawabnya membiayaiku kokoh, mengalahkan usia yang memeluknya, tak peduli ia akan keriput kulit yang memintanya untuk lebih banyak istirahat di rumah, tetap saja ia melumat siang di atas setalam gorengan pisang, jika mujur sepuluh ribu rupiah uang nenek akan kantongi, jika tidak hanya sebatas tiga ribu rupiah pun sudah cukup membuat lidah nenekku basah dengan memanjati rasa syukur alhamdulillah. Bersama semburat mentari pagi ia mulai merangkai langkah di atas kerasnya bebatuan takdir hingga sore menjelang baru ia datang. Selalu begitu episode hari-hari yang nenek lewati, sejak aku masih belajar berjalan, sejak lidahku masih belum bisa mengeja alif, ba’ ta’ dan seterusnya. Dialah pahlawanku satu satunya. Masih aku ingat pesannya, “ingat ndo’ sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain, sayangilah semua hamba Allah dibumi ini, niscaya semua hamba Allah di langit akan menyayangimu”.
###
Sepulang sekolah, sang raja siang sedang bermegah keperkasaan cahaya di puncak langit, mengundang keringat bersua baju. Aku tidak sendiri, ada sesosok manusia berjalan di sampingku, menemaniku, bersama berpawai awan mengiringi hingga nampak gubukku disana,”bon nenekmu belum datang jam segini”, ”ya zis, biasanya dia pulang jika hari menjelang sore”. Tak terasa sepuluh menit waktu yang aku kantongi dari sekolah ke gubukku. Dengan diameter lima kali lima, gubukku sudah cukup membuatku menggali kesadaran untuk selalu bersukur, karena aku tahu di luar sana masih banyak orang terlantar tidak punya tempat tinggal, gedek yang menjadi selimut lapis di semua sudut samping kiri, kanan, depan dan belakang gubukku sudah cukup melindungiku dan nenek dari gombalnya hujan, dan terik siang yang merayu, atap yang terbuat dari jerami terlalu kuat untuk di tembus oleh geliat tarian air hujan.
Seragam putih abu-abuku ku sandingkan dengan paku yang tertanam di balik pintu kamar, ku lepas kemewahannya ku ganti dengan celana pendek dan kaos yang sudah tidak perawan lagi, bolong-bolong yang terlihat seperti lubang danau yang menghiasi daratan. ”kamu mau kemana bon” tanya Azis yang masih berdiri mematung di depan gubukku, “aku mau mencakul di sawah zis”, “kamu nga’ mau ikut main bersamaku”, “mungkin lain waktu saja zis”, kata kata itu memutus dialog kami, memberi isyarat, Azis menyungging senyum diwajahnya, berlalu ia pergi pulang ke rumahnya, kira-kira berjarak lima puluh meter dari gubukku. Sungguh dia berperawakan sederhana, seragam putih abu-abu, sebuah tas yang mengalung di punggungnya, serta kacamata yang menggantung semuanya memancarkan kesederhanaan.
###
Terlihat sang raja siang merebah di antara ketiak pepohonan bambu, aksara warna memerah menjadi penyedap bagi wajah langit sore. Ada kegalauan di hati, nenekku, pahwalanku tak jua menampak di antara pendar warna merah langit sore kali ini, tak seperti biasanya, padahal dalam setiap kisah langit sore dia selalu tampil bagai malaikat yang bersayap, mengganti cahaya sang raja siang dengan cahaya yang ia pancarkan dari setiap dzikir di gubuk kami ketika malam menyapa, sehingga tak ada malam pekat ku kecap, tapi sekarang kemanakah pahlawanku, tanpanya malam ini sangat hampa kurasa. Kututup pintu gubuk, aku sambut langkah kaki berayun, genderang berpalu-palu selalu bertalu di dada. Hanya do’a menjadi penyanggah kesadaran. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, aku tahu nenekku sudah tidak bertenaga muda lagi namun aku yakin dia tidak terhinakan di atas panggung sandiwara ini, nenekku adalah pahlawan yang gagah perkasa layaknya tenaga para kesatria sparta berada di balik kulitnya yang sudah mengeriput. Dalam melodi perjalanan menyusuri rumah-rumah warga, tanyapun tak hentinya ku nyayikan kepada setiap orang yang aku temui, entah kenapa tak jua mereka berkata tahu, sampai adzan isya’ berkumandan di masjid, mengharap langkah tuk sejenak berhenti, akhirnya ku simpan lelah dalam balutan wudhu’ lalu di rangkai dengan sholat, Allahhuakbar,,,!! Bergetar suaraku memulainya, terselip air mata menganak sungai mengalir di wajah pucatku, tak henti hati berdo’a “ya Allah lindunginlah nenekku jangan sampai bejat hinanya dunia menyentuh kulit keriputnya yang suci, antarkanlah hamba ini kepadanya, dimanapun engkau menempatkannya, lihatlah dalam harap di dadaku ini Tuhan, antarkanlah hamba kepadanya. Karena malam sungguh kejam jika dia harus sendiri menjalaninya, biarlah hamba membawanya pulang kembali ke gubuk kami”, assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh,,,,!!, assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatu. Aku akhiri sholatku. Keluar dari masjid, riuh riak angin malam membelai wajahku yang masih basah dengan airmata. Tak tahu kemanakah langkah harus berarah, sudah sejauh satu kilo meter dari gubukku aku terpasung saat ini.
“kamu boni cucunya nenek mariam ya kan?” seseorang dengan langkah yang berlawanan arah dengan jalan yang ku arahkan kaki ini, bertanya, “ya aku boni mas, mang kenapa?”, “pasti sekarang kamu mencari nenekmu”, ”mas tahu dimana nenekku berada sekarang?” darahku membuncah ke ubun ubun ada sebutir harap keluar menampakkan dirinya, aku akan segera bertemu dengan pahlawanku. “ya nenekmu sekarang berada di rumah sakit umum daerah, mari kita kesana, aku kesini memang mau menjemput kamu” laki-laki itu menjelaskan. Mendengar itu tubuhku bergetar, hatiku lumpuh oleh serangan tanya yang bertubi-tubi, ada apa gerangan dengan pahlawanku?. Sekitar sepuluh menit perjalanan telah berlalu, waktu pun mengatarkanku ketempat dimana pahlawanku berada.
“mas, kami mohon ma’af, ini semua diluar kemampuan kami, pasien yang bernama ibu Mariam tidak terselamatkan”.
“dokter jangan ngawur”. Aku mendesak, dadaku tersentak.
“sabar bon ini garis takdir yang telah di tetapkan”. tutur dokter menabahiku di ruang dimana pahlawanku berpejam mata untuk selamanya. Kulihat wajah manisnya, tubuhnya yang tersimpan semangat dan tenaga kesatria sparta terbaring di atas permadani putih, diam tak bergerak, nenekku, pahlawanku kenapa kamu meninggalkanku sebatang kara, siapa lagi yang akan membelai rambutku ketika kantuk memelukku, siapa lagi yang akan membangunkanku untuk sholat tahaajud, siapa lagi yang akan mengusap airmataku ketika masalah memaksaku untuk mengeluarkan air mata ini, sungguh semua jasa yang telah engkau perbuat belum mampu aku untuk membalasnya dan walau sampai hari dimana aku sudah tidak mampu lagi menarik nafas. Aku seperti bunga mawar tak lagi memancarkan harum baunya, hanya tinggal duri melekat di hati, seperti pohon kering merangas tanpa desah, yang enggan lagi menari bersama gemulai angin malam hari. Tuhan kenapa semuanya engkau ambil dari sisiku, ibu, bapak dan sekarang engkau ambil nenekku. “bon tadi sebelum aku berangkat menjemputmu, nenekmu sempat berpesan kepadaku, dia menyuruhku menyampaikan ini kepadamu karena inilah saatnya kamu tahu tentang kedua orang tuamu katanya. seperti ini bon,,,,!!”.
###
Damai terasa, keheningan adalah sahabat bagi jiwa yang merana. Tak salah aku mengira hidup di balik jeruji besi lebih indah daripada hidup bebas di luar sana, disini aku menemukan ketenangan, aku tidak peduli bahwa sekarang orang telah menyebutku sebagai pembunuh, pembunuh seorang anggota DPR, malah aku menemukan kebahagiaan karena aku telah membunuh seorang pembunuh. Aku sudah jijik hidup di luar, di negeri yang kotor ini, nyawa sudah tidak berharga lagi adanya, dominasi kepentingan mengalahkan nilai-nilai moral kemanusiaan, lebih baik hidup berteman jeruji besi jauh dari hiruk pikuk kehidupan jahiliah yang sudah terkontaminasi neo kanibalism yang berorientasi politis.”saudara boni anda ada yang menjenguk”, suara penjaga tertuju kepadaku, pikiranku jatuh dalam pelukan pertanyaan-pertanyaan, tak paham siapa sebenarnya yang mau menjengukku padahal tiada lagi tersisa, ibu, bapakku dan juga pahlawanku mereka sudah mendahuluiku. Aku berjalan menapaki lorong di balik jeruji terlihat di ujung sana tempat pertemuan dengan penjenguk, sekilas aku mengenali sesosok yang duduk disana, sesaat puzzle itu mulai berbentuk, ya dia sahabat karibku satu satunya, dia adalah Azis sosok yang berperawakan sederhana yang sudah sekitar tiga tahunan waktu memisahkan kami dari kebersamaan, terakhir pertemuan kami terbingkai dalam lulusan SMA masa lalu. Ada yang lain di wajahnya, sungging senyumanya tak jua tampak, hampa tatapannya kepadaku tetaplah tak mencair, membentuk tanya dalam dada, ada apa dengan sahabatku yang satu ini. Secepat kilat ia menghampiriku, tapi bukan dengan sambutan pelukan mesra sebagai seorang sahabat, dia labuhkan tangannya yang tergenggam ke dadaku, pukulan layaknya palu godam menghempaskan tubuh ini ke lantai, tak henti waktu memberinya kesempatan memukulku, tanpa ada penjaga yang tahu. Merah darah di lazuardi wajahku sedikit telah mengalir, tak ada riak di wajah Azis sorotan matanya mematahkan hasratku untuk melawan. “ada apa denganmu zis?”, kulihat tak jua mereda amarah yang menguasai Azis, sesaat kemudian dia beranjak mundur menjauhiku, kulihat amarah itu mulai padam, matanya menyapu lantai, airmatanya mulai menampak, dia kembali duduk tenang, kepalanya masih merunduk. “kenapa harus kamu bon”, ’apa maksudmu zis?”, ”kamu tahu pak Subroto salah satu anggota DPR yang telah kamu penggal kepalanya, dia adalah bapakku bon,,,,! dia adalah bapakku, kenapa kamu lakukan ini kepadaku”. Seketika apa yang melucur dari mulut Azis itu mendarat di telingaku, terasa hati teriris, menusuk tulang, tubuhku perih, tapi bukan karena torehan tangan Azis tadi, tapi karena kesadaranku terkoyak oleh tajamnya skenario takdir yang begitu kejam, kenapa harus Azis, anak baik berperawakan sederhana menjadi anak pak Subroto, orang yag telah mengambil telaga kasih sayang orang tua dariku, orang yang membubuhkan luka di hati nenek, pahlawanku. Pak Subroto yang demi kepentingan perebutan kursi di DPR telah menggadai nyawa ibu bapakku di tangan pembunuh bayaran, sehingga tak sehelai rambut ibuku dapat ku cium harumnya, sehingga perkasanya otot bapakku tak dapat kulihat, pantas saja dendam ini memuncak dan tiada berkesudahan kesedihan aku rasakan sampai dimana aku harus merasakan bau darah segar dari pembunuh kedua orang tuaku itu, tapi kenapa harus Azis anaknya.
“apa kamu bilang,,,!! pak Subroto itu adalah bapakmu, sungguh aku tidak tahu masalah itu zis”, “ia dia adalah bapakku, kenapa kamu membunuhya bon?” suaranya meninggi. “zis apa yang kamu rasakan sekarang sama seperti apa yang aku rasakan, betapa sakitnya di tinggal orang yang sangat kita kasihi”,”apa maksudmu”,”kamu harus tahu bahwa orang yang berada di balik terbunuhnya kedua orang tuaku dulu adalah bapakmu, dia yang harus bertanggung jawab atas hilangnya kasih sayang orang tua yang semestinya aku merasakannya mulai dulu, semua itu aku tahu dari pesan terakhir nenekku”. Teriring airmataku juga tumpah, dalam isakan tangis aku sampaikan fakta itu kepada Azis. Hening tiba-tiba melingkupi ruang, hanya ada kisah bertutur airmata mengalir, di mataku dan dimata sahabat karibku, Azis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar