Senin, 25 April 2011

Perempuan di Sudut Kota (Radar Banten-Minggu, 13 Maret 2011)

Perempuan di Sudut Kota (Radar Banten-Minggu, 13 Maret 2011)

Oleh : Setiawan Chogah*

Bila tuan datang ke kotaku, datanglah saat matahari mulai condong ke ufuk barat! Kira-kira pukul lima hingga perpaduan magrib dan waktu isya. Lalu dari terminal bayangan di dekat pabrik sepatu itu, naiklah angkot warna merah! Dari sana tuan akan dibawa menuju pusat kota yang semenjak tiga tahun kedatanganku di sini masih saja tak banyak berubah. Lihatlah pemandangan di sepanjang jalan yang tuan lalui itu! Masih saja berdebu, pun begitu di sekitar pangkalan ojek menuju arah rumahku. Masih saja menebar bau busuk sampah dari kolom-kolom kecil di pinggir jalan. Siapa yang peduli? Entahlah! Aku pun tak tahu harus menjawab apa bila tuan bertanya. Pernah aku mendengar seorang bapak-bapak tua yang tengah menunggu bus ke Malimping, “eui terminal naon sawah, nya'?” Aku hanya bisa tersenyum waktu itu. Bukan karena senyumku lagi manis, tapi rasanya tidak pas saja bila aku tertawa terbahak-bahak. Bukan begitu, Tuan?

Namun bukan masalah terminal yang becek ataupun sampah-sampah yang berserakan yang ingin aku beritahu lebih dalam pada tuan. Ini soal perempuan. Kembali kita ke angkot warnah merah yang aku katakan tadi. Silahkan tuan amati setiap penumpang yang naik turun silih berganti itu! Apakah tuan temukan perempuan-perempuan yang anggun? Bila tuan lagi beruntung mungkin yang tuan dapati perempuan-perempuan yang tak henti menebar senyum, memakai jilbab, dan duduk dengan manis. Itulah perempuan Banten. Perempuan yang dilahirkan di kota santri ini. Perempuan yang akan menyahut ramah bila tuan sapa.

Tapi alangkah sialnya bila yang tuan temukan bukan mereka. Pernah aku suatu waktu tengah berjalan-jalan di pasar Tambak, sekedar mencari-cari perlengkapan memasakku di rumah kontrakan yang di Walantaka itu. Maklum, aku di sini tengah merantau mencari pengalaman. Dengan pertimbangan biaya hidup yang semakin mencekik, apalagi semenjak harga cabai meroket membubung tinggi, tentulah lidah Padang seperti aku ini akan merasa sangat tersiksa. Setiap kali aku membeli lauk sehabis kuliah di Warung Tegal tepat di samping halte kampus Serang itu, aku pasti tidak kebagian yang namanya sambal. “Waduh Mas, harga cabene mahal, lagi ndak bikin sambel…,’’ begitulah jawaban yang aku dapatkan dari Bu Karsih, yang logat Jawanya sudah sangat aku kenal. Makanya kini aku berinisiatif ingin memasak sendiri, itung-itung belajar mandiri.

Sekitar pukul lima sore aku sudah mendapatkan semua keperluanku untuk memasak. Pasar Tambak mulai riuh dengan lalu-lalang angkot merah darah, diselilingi truk-truk beroda delapan. Macet! Bising! Belum lagi langkah-langkah perempuan bermacam corak yang tiba-tiba saja tumpah ke sepanjang ruas jalan. Aku perhatikan setiap tubuh perempuan yang berlalu di hadapanku. Rupa-rupa macam balon. Ai! Aku jadi ingat lagu yang sering kami atau mungkin juga tuan nyanyikan waktu kita masih kanak-kanak.

Selepas adzan magrib aku memutuskan untuk kembali ke kontrakan. Angkot merah menjadi kendaraan yang paling sulit untuk didapatkan. Entah kenapa, angkutan itu menjadi begitu laris manis bak kacang goreng. Perempuan-perempuan itu pun berebutan untuk mendapatkan tempat. Aku putuskan untuk sabar menunggu di depat ATM, persisnya di sebelah pedangang buah-buahan. Tambak makin hidup dan pikuk. Dua perempuan dari arah pabrik berjalan ke arahku. Melenggok bak model papan atas. Begitu tubuh-tubuh sintal mereka berjarak beberapa jengkal dariku, mereka menghembuskan nafas panjang sampai wanginya bertebaran mengembang di udara. Wangi parfum murahan mengoyak sel-sel penciumanku. Kini wajah mereka semakin mendekat, pandangan kami bertaut. Seketika kulihat bibir tua yang dipoles dengan lipstik dengan warna merah pekat. Menyala! Ai! Aku benar-benar dibuat bergidik.
“Mojok yuk Kang! Gocap juga boleh.” Salah seorang dari mereka berbisik padaku. Suaranya begitu menggoda, menyanyat-nyayat naluri lelakiku. Aku diam saja, bibirku masih terkatup rapat membentuk sebaris garis lurus. Aku berusaha untuk tidak menatap dua pasang mata dari wajah-wajah haus di depanku.
“Mereka pasti jablay.” Aku membatin.
***
Perempuan jablay yang aku temui malam itu hanya segelintir dari ceritaku tentang perempuan. Perempuan memang selalu menjadi objek yang indah untuk dikupas. Bukan bearti aku tidak berlaku adil dengan perempuan. Bahkan aku sangat menghargai sosok perempuan. Tapi perempuan yang bagaimana dulu?

Keesokan harinya, seperti biasa aku menunggu bus Arimbi atau Primajasa di terminal kota untuk berangkat kuliah ke Cilegon. Melewati calo-calo yang duduk berbaur dengan gelandangan kota mencangkung bermain kartu dengan asap rokok yang mengepul dan badan yang penuh daki, pengemis-pengemis yang sibuk memamerkan cacat dan merintih-rintih memohon belas kasihan, adalah pemandangan biasa yang tiap hari aku temui di ujung lampu merah sebelum kampus Serang ini. Atau pengamen-pengamen yang menghitung recehan uang mereka dengan ekspresi kecewa, pedagang asongan yang hiruk-pikuk menjajakan dagangan. Atau pengamen yang merangkai kalimat-kalimat dengan suara merayu, merengek, bahkan memaksa. Mirisnya lagi tuan, tak jarang diantara mereka itu adalah perempuan-perempuan yang seharusnya tidak melakukan pekerjaan ini. Seperti pengamen cantik yang sering aku temui di bis kota jurusan Merak itu. Aku mengetahui namanya ketika dia sudi bercerita padaku di suatu rute perjalanan. Awalnya dia malu-malu, tapi ketika aku katakan buat apa malu, toh kita sama-sama ciptaan Tuhan, akhirnya dia mau juga bercerita banyak setelah dua lagu dari band Armada berlompatan tak beraturan dari mulutnya.

Dia katakan namanya Dini. Beuh! Aku jadi teringat dengan mantan adik kelasku yang sekarang tengah kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi USU, di Medan. Tapi Dini yang ini berbeda, Tuan. Dia tak memakai jilbab seperti Diniku. Dini yang ini pun lebih bau matahari kurasa, kalau tidak sopan bila aku mengatakannya apek.
“Kamu tidak sekolah?” tanyaku.
Dia tak menjawab pertanyaanku. Lalu bibirnya merekah. Senyumnya cukup manis, hanya ketika ekor mataku sempat mencuri barisan giginya yang kuning dan aku mendapatkan kerak-kerak nikotin. Sayang sekali! Padahal dia sangat cantik bila saja sedikit mau berbenah diri. Apalagi kalau berjilbab. Aduhai! Akan sangat manis tentunya.
“Tidak.” akhirnya dia bersuara juga.
“Kenapa?”
“Lebih enak begini, kalaupun sekolah, nanti juga akan dinikahi laki-laki, punya anak, ngurus suami, tua, lalu mati,” jawabnya tanpa beban.
“Hanya itu?”
Dia menatapku tajam. Aku berusaha mengelak, namun terlambat. Mata elangnya terlalu cepat mengangkap bola mataku dan mencomotnya satu persatu, hingga aku tebelalak.
“Banyak bacot Sire’” lalu dia pergi. Ah Dini, asal kamu tahu. Wanita baik-baik diciptakan untuk laki-laki baik-baik juga, somoga kelak kau mendapatkan lelaki yang baik-baik itu. Amin. Aku menghela nafas panjang.

Semua ceritaku tentang perempuan tentu belumlah satu pun yang menggambarkan perempuan Banten, Tuan. Tuan jangan bersedih dulu. Begini, bila tuan melewati daerah yang namanya Ciceri, akan tuan temukan perempuan-perempuan yang sangat kontras dengan ceritaku tadi. Baik itu tentang jablay, perempuan-perempuan pengemis, atau pun Dini. Tempat itu bisa tuan temui bila tuan menaiki angkot biru dari arah Royal, katakan pada supir angkot itu kalau tuan ingin melewati Kebon Jahe ataupun Cijawa. Nanti akan tuan temukan sebuah bunderan di tengah kota. Jangan berhenti! Maka tuan akan dibawa melewati gedung pasar swalayan milik Prancis, dari sana tuan akan mulai menemukan perempuan-perempuan dengan corak yang agak berbeda. Coba saja tuan sapa salah seorang dari mereka!

Sebenarnya bukan hanya di sekitar Ciceri tuan bisa menemukan perempuan-perempuan dengan dandangan tertutup dan menyejukkan mata itu. Jilbaber-jilbaber itu bersebaran di seluruh penjuru kota. Di mall, di pasar, di swalayan, di kampus-kampus, di mana saja. Asalkan tuan jeli saja melihatnya. Mereka memang tidak banyak Tuan, maksudku yang benar-benar perempuan dengan jiwa dan raga Banten sepenuhnya. Tuan tuhulah, dari jaman baheula Banten terkenal sangat relijius dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman.

Pernah suatu kali tuan, aku berkenalan dengan perempuan di halte kampus Serang. Perempuan itu berjalan di hadapanku. Meninggalkan aroma bedak bayi yang begitu lembut, tanpa aku sadari bibirku menyunggingkan senyum. Wajah putih alami tanpa polesan maupun dandangan yang up to date. Hanya setelan baju barbahan kaus lengan panjang dan rok warna coklat lalu sehelai jilbab yang senada dengan warna kausnya membuatnya terlihat sangat anggun. Sepertinya dia tengah menunggu bis. Cukup lama dia berdiri di sebelahku. Aku risih juga, kulirik beberapa wajah yang duduk manis di halte bus. Apakah benar-benar menunggu tumpangan atau hanya sekedar numpang duduk, entahlah. Yang jelas tak satu pun jiwa yang terketuk untuk memberi sedikit tempat duduk untuk gadis manis itu.
Tanpa sengaja pandangan kami berserobok. Aku menangkap mata teduhnya, ai! Darahku bergemuruh. Astagfirullah!
“Lagi nunggu bus Neng?” tanyaku seramah mungkin.
Perempuan itu melirik ke arahku, lalu melempar pandangan ke seberang jalanan. Mungkin dia tidak yakin kalau barusan aku bertanya pada dia. Aku hanya tersenyum.
“Aa’ tadi ngomong sama sayah?” suara lembutnya mengejutkanku.
“Oo… Ogh… tidak, saya hanya bergumam saja,” jawabku berbohong.
“Oo… punten, saya kegeeran. Duluan A’, mari…” Katanya malu-malu dan berlalu memasuki angkot biru entah jurusan mana. Yang tahu hanya gadis itu dan tentu saja pak sopir yang paling fleksibel. Namun gadis itu begitu menyisakan kesan baik di hatiku, mungkin juga hati tuan. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana ekspresi gadis itu ketika pandangan kami berserobok, atau ketika dia berpamitan padaku itu. Benar-benar hanya aku dan tentu saja gusti Allah yang dapat menyaksikannya. Sangat menentramkan, Tuan!

Aku menemui perempuan-perempuan beraneka corak itu di banyak tempat, di banyak waktu. Setiap kali kami beserobok tiba-tiba saja, tanpa mampu kusadari, tidak bisa kuhindari, ia membuatku bertanya-tanya pada diriku “andai aku jadi perempuan… aku akan menjadi perempuan yang seperti apa?” (*)

Serang, 1 Februari 2011 - 03:01am
(saya dedikasikan buat sahabat perempuan yang tak pernah henti menyemangati; thanks’ support-nya ya Ntan. Bangga punya sahabat seperti kamu)


*Penulis. karyanya tersebar di pelbagai media dan buku antlogi

2 komentar: