Sabtu, 18 September 2010

FIKSI MINI *Aku, Kamu dan Ramadhan* (naskah lomba cerpen 200 kata Dang Aji)

RAMADHAN DAN CINTA

Binta al Mamba

Dinda menanti tamu istimewa, dengan senyum...

Pantang menyerah, dengan genggaman hati pada kuasa Ilahi. Kau tau Dinda...? aku kagum dan mencintaimu.Empat hari lagi puasa. Tapi kamu belum lunas membayar qodho tahun kemarin. Masih kurang 2 hari lagi. Karena melahirkan saat ramadhan, hutang puasamu sangat banyak. Malah sekarang kamu hamil lagi 8 bulan. Sering pusing karena KB akhirnya mual-mual hamil muda. Kamu tetap pantang menyerah pada fidyah.

Seandainya sakit dan payah itu bisa dibagi. Dinda...

Pagi yang embun. Ompol-ompol itu sudah di rendam dalam ember besar. Aku bergegas mengambil sabun dan memainkan irama cuci-mencuci. Jemari yang biasanya memainkan remote TV di pagi hari terasa agak kaku. Oh ow ow.. demi kamu Dinda...

“Mas... biar nanti saja aku yang cuci.. !” ucapmu sembari menyuapi Arjuna kecil kita.

“Ndak apa-apa... pengen olah raga menyambut puasa..” jawabku.

“Oh begitu ya... Alhamdulillah...“ kamu tersenyum indah.

“Masih tersisa embun... jalan-jalan yuk biar adeknya Arjuna segar dan sehat...” ajakku setelah selesai menjemur. Senyum kamu makin merekah meski dalam payah perut besar yang selalu dilanda kram kaki setiap malam dan bangun pagi. Kamu sepertinya heran padaku.

“Dinda.. aku ingin sekali menyambut ramadhan kali ini dengan cinta yang damai, semoga Dinda sehat dalam ramadhan ini..”

*** *** ***

Bint@ alMamBa4 agustus 2010**


Ramadhanku dulu dan kini

Prito Windiarto

“Woi tunggu aku!” aku berteriak lantang, kau tak menggubrisku, malah berlari semakin kencang. 300 meter kemudian kau berhenti.

“Hah hah, Ki Omon sudah tidak mengejar kita lagi ‘kan?” tanyamu dengan napas tersengal.

“enggak kayaknya, agghh dasar kau tidak punya sopan santun!” makiku geram

”hem”

Kau hanya tersenyum-tanpa dosa, padahal baru saja kau mengejutkan Ki Omon dengan ledakan petasanmu itu. Sudah dua kali kau mengejutkannya ketika buang hajat di kolam ikan. Untung kita tak tertangkap, kalau tertangkap entah apa yang akan terjadi.

”Besok-besok jangan lewat sini lagi ah, nanti bisa-bisa Ki Omon mencegat kita”

”Iya...” kau mengangguk

Keesokan harinya selepas kultum subuh kita mengambil jalur berbeda dari biasanya, kali ini memotong melewati kebun singkong Wa Tarim. Begitulah setiap pagi selama bulan ramadhan, aku, kau, dan banyak anak seusia kita lainnya biasa beriringan menyusuri jalan menuju Bukit Pasir Sari di barat kampung, menyaksikan matahari terbit, segenggam petasan ditangan, dari petasan ukuran kecil sampai ukuran jumbo sebesar pergelangan tangan. Sorenya aku dan kau biasa memanjat pohon jambu, memetik sebutir dua butir untuk berbuka, indahnya....

”Tretetet...tretetet” bunyi alarm memutus lamunanku, mengalihkan pandanganku dari fotomu, aku menatap keluar jendela, salju turun perlahan dari langit moskow, ramadhanku kini teramat dingin tanpamu teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar