Sabtu, 28 April 2012

Meluruskan Kembali Makna Dakwah

Dakwah. Sejatinya, ia adalah kewajiban setiap mukmin, sebagaimana FirmanNya : “Serulah manusia ke jalan Rabb-mu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah yang benar dan kuat) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan baik” (QS. An-Nahl: 125) Lewat ayat ini, Allah SWT memberikan kita petunjuk tentang dakwah, perihal makna juga cara. Kali ini kita akan membahas makna. Ada sebuah keprihatinan yang menyembilu ketika makna dakwah disempitkan –disekatkan- hanya pada artian ceramah, tausyiah, atau pidato di podium. Padahal jika kita merujuk ayat diatas, jelas sudah makna dakwah tak sesempit itu. Dakwah secara etimologi, berasal dari kata da’a-yad’u-da’watan yang artinya menyeru, mengajak. Secara istilah dakwah berarti : menyeru manusia kepada Allah dengan hikmah dan pengajaran yang baik, mengingkari Thagut dan beriman kepada Allah, mengeluarkannya dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya islam. Sederhananya, dakwah bermakna menyeru manusia kepada Allah, menuju cahaya islam. Itulah makna dakwah hakiki. Begitu luas bukan? Ia nya merujuk pada aktifitas apapun selama dalam koridor menyeru kepada Allah menuju cahaya islam. Hal lain yang perlu diluruskan adalah pendapat yang menyatakan bahwa dakwah hanya kewajiban ulama, orang-orang yang paham agama, manusia-manusia ‘bersih’. Benarkah demikian? Sekali lagi kita merujuk ayat di atas. Pada lafaz tersebut, Allah tidak membatasi siapa pendakwah, karena sejatinya setiap mukmin berkewajiban berdakwah. Hal ini ditegaskan Rasulullah : Antum dua’at qobla kulli syaiin” artinya, “Kalian adalah da’i (penyeru) sebelum menjadi segala sesuatu.” Dalam hadits lain beliau bersabda “Balligu anni walau ayah” (Sampaikan dariku walau satu ayat). Pada akhirnya, saya mengajak diri sendiri, juga pembaca sekalian untuk berdakwah. Mulai pada diri sendiri, mendakwahi pribadi, kemudian keluarga, kerabat, tetangga dan kemudian masyarakat umum. Mulai dari hal sederhana, sekemampuan kita. Senyum dan sapaan hangat kita pada orang lain merupakan salah satu dakwah ringan yang bisa kita lakukan. Perihal faidah menyeru pada kebaikan, Rasulullah bersabda, “Man dalla ala khoirin falahu mitslu ajri failuhu” (H.R. Muslim) yang artinya “Sesiapa menunjukan seseorang pada kebaikan, maka baginya ganjaran seperti orang yang melakukan kebaikan itu.” Mari meluruskan kembali makna dakwah. Dan yang terpenting, tentu saja, MARI BERDAKWAH! *** Kita kembali ke dalam dekapan ukhuwah Mengambil cinta dari langit dan menebarkannya di bumi Dengan persaudaraan suci ; sebening prasangka, selembut nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji Salim A Fillah –Dalam Dekapan Ukhuwah

Sabtu, 14 April 2012

MENGENAL TANDA IKHLAS

  

Oleh: Fitri Arniza

            Kata ikhlas memilki beragam makna jika didefinisikan secara bahasa. Namun pada dasarnya semua memiliki makna yang sama yakni memurnikan niat hanya untuk Allah SWT semata. Sering kita mengucapkan dan mendengar kata ikhlas. Namun ikhlas memang bukanlah perkara yang mudah untuk kita aplikasikan dalam kehidupan ini. Mengapa? Mungkin di antaranya dikarenakan kita belum mengenal tanda atau ciri dari orang yang dikatakan ikhlas (Mukhlis).
 Berikut ini beberapa cirinya:

  1. Lebih memandang kekurangan yang ada pada diri sendiri dan memandang orang lain lebih mulia dari kita
Sifat dari kebanyakan kita ketika selesai menunaikan suatu kebaikan adalah merasa lebih baik dari orang lain, merasa kitalah yang paling mulia disisi Allah. Bahkan terkadang kita meremehkan orang lain. Inilah kebiasaan yang sudah seharusnya kita tinggalkan. Karena belum tentu ibadah yang kita lakukan memiliki kebaikan di sisi Allah, malah mungkin sebaliknya, tidak ada nilainya di sisi Allah. Maka inilah salahsatu fungsi mengapa kita dianjurkan untuk selalu mengintropeksi diri.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap yang kamu kerjakan.” (QS. 59:18)

2 .      Zuhud dan Qona’ah
         Ciri orang yang ikhlas berikutnya adalah adanya sifat zuhud dan Qona’ah.
           Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi Radhiallahu’anhu berkata: Seorang mendatangi Rasullah SAW, kemudian berkata: “Wahai Rasullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia mencintaiku. Maka beliau bersabda “Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai oleh Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai oleh manusia.” (HR.Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan)

           Zuhud dan Qona’ah seperti tak dapat dipisahkan karena salahsatu wujud nyata dari zuhud adalah sikap Qona’ah kepada Allah SWT.
       " Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qona'ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya." (HR. Muslim)

3.  Berupaya menyembunyikan amal kebaikan agar tidak diketahui oleh orang lain
Terkesan sulit memang mengaplikasikan tanda ikhlas yang berikut ini. Kebanyakan kita justru senang menunjukkan amal-amal kita di depan orang lain dengan harapan mendapatkan pujian dari orang lain dengan kata lain riya’. Jadi tak salah jika kita menobatkan orang yang Mukhlis adalah mereka yang senantiasa menyembunyikan kebaikannya dari orang lain.

“Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan dari naunganNya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan  sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah airmatanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

4.      4. Tidak mengharapkan balasan dari orang lain
Adapun tanda orang yang ikhlas adalah mereka yang tak pernah kecewa dengan apa yang orang lakukan kepada mereka, senantiasa menebar kebaikan tanpa pernah mengharapkan balasan dari orang lain.

“(sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhoan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan terimakasih dari kamu’” 
(QS: Al-Insan:9)


  1. Menyukai pemberian Allah kepada mu’min lainnya
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.” (QS: 4: 32)

Jelas ayat di atas melarang kita untuk tidak iri terhadap berbagai kenikmatan yang ada pada saudara kita, dan tidaklah seorang yang mukhlis iri terhadap saudaranya karena sebelumnya sifat qona’ah telah terpatri dalam hatinya.

  1. Sabar menghadapi ujian serta istiqomah dalam kebaikan
Dan terakhir, ciri orang yang ikhlas adalah orang yang mampu bertahan dalam ujian, baik ujian dalam bentuk kesulitan maupun dalam bentuk kenikmatan. Serta mampu istiqomah dalam melakukan kebaikan.

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang berkesinambungan walaupun itu sedikit.” (HR. Muslim)

            Semoga Allah senantiasa menjaga kemurnian niat kita dan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang ikhlas. Aamiin. Allahu A’lam Bishshowwab

*Penulis adalah Tholibat Ma’had Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah Medan bergiat di FLP SU, WSC dan LRS Medan.

Rabu, 11 April 2012

KACA PECAH

KACA PECAH#


Jam satu malam lewat lima menit.
Kelopak mataku terasa berat. Rasa penat menggelayuti seluruh tubuh. Muka dan sekujur badan terasa lengket oleh peluh yang mengering. Sejak enam bulan lalu bertugas sebagai dokter Puskesmas di wilayah agak terpencil ini, hari ini adalah hari paling melelahkan bagiku.
Bagaimana tidak? Setelah kemarin semalaman lembur mengerjakan laporan, paginya menyetir sendiri mobil Puskesmas Keliling yang reyot itu ke ibukota kabupaten sejauh 100 km, dilanjutkan rapat sampai siang di kantor dinas kesehatan. Dalam perjalanan pulang, roda belakang mobil terperosok ke jalan berlumpur, terpaksa jalan kaki ke desa terdekat mencari bantuan. Petang hari sampai di rumah, belasan pasien sudah menunggu untuk dilayani. Baru saja selesai, jam sembilan malam, bidan desa melaporkan ada ibu melahirkan yang kejang-kejang. Terpaksa harus dibawa ke rumah sakit kabupaten, dengan mobil yang sama, yang lagi-lagi mogok dalam perjalanan pulang. Ternyata tangki BBMnya bocor. Hadeww... capeknya! Sesampainya di rumah aku langsung menghempaskan diri ke atas ranjang.
Seperti disedot ke dalam pusaran sumur ketiadaan yang dalam... aku sempat tidak ingat apa-apa lagi. Tiada mimpi. Tiada igauan. Hanya kehampaan yang melayang semakin dalam. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menahanku. Seperti kait terhujam ke belakang otakku, kemudian dihelakan hingga terkerek naik ke permukaan. Kesadaran yang semula kucampakkan, tiba-tiba kembali merengkuh dan memagutku.
“Ayah.. ayah.. aduuh susah sekali dibangunkan!” Lamat-lamat kudengar suara istriku. “Bangunlah... orang itu menggedor-gedor pintu terus.”
Kemudian telingaku juga menangkap suara lain... brok! brok! brok!  Suara pintu depan digedor-gedor, disertai teriak orang memanggil. Sambil mengedip-ngedipkan mata aku menggeliatkan badan. Berat sekali rasanya untuk bangun. Aku beranjak duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadaranku kembali. Suara gedoran di pintu semakin keras.
Ketika kesadaranku baru mulai terasa penuh, suara gedoran pintu itu malah berhenti. Hening sejurus... tiba-tiba dhuarr!! krompyanggg!!
Aku tersentak kaget. Istriku pun demikian. Kesadaranku langsung kembali 100%. Aku bergegas ke ke arah suara itu berasal. Di ruang depan, ruang tamu yang sekaligus dijadikan ruang praktek, kudapati kaca jendela telah hancur, pecahannya berserakan di lantai. Sebuah batu sebesar bola tenis tergeletak di meja. Ada bekas benturan di dinding, menandakan batu itu memantul di dinding sebelum jatuh ke atas meja. Terlihat melalui kaca jendela yang pecah, tiga orang laki-laki berdiri di depan rumah. Kubuka pintu dan keluar. “Ada apa ini?” sergahku.
Salah seorang yang termuda dan badannya paling besar, berjalan mendekat dengan telunjuk terangkat menudingku. “Bangsat kau! Orang sudah mampus baru kau buka pintu!”
“Apa maksudmu?” suaraku gemetar karena menahan geram.    
“Masih nanya lagi... Lihat nih, bapakku dari pagi mencret belum juga diobati. Pagi tadi ke sini kau tidak ada. Sore ke sini masih belum ada. Sampai sekarang dipanggil nggak keluar-keluar.” sahut orang itu.
“Ya Allah, Pak. Pagi tadi kan saya rapat dinas di kabupaten. Sorenya mana ada bapak ke sini?! Kalau sakit dari pagi kenapa tidak ke Puskesmas saja, kan ada petugas lain walaupun saya tidak ada?!” 
“Heh, banyak alasan pula!” orang itu membentak. “Apa gunanya dokter di sini? Tiap kali orang sakit kau tak pernah ada. Tahu ndak kamu.. aku ini ketua (menyebut sebuah nama LSM) di sini.”
“Aku tidak ada urusan dengan (kusebut nama LSM itu). Aku kerja bukan kamu yang menggaji. Lagipula tugasku bukan hanya mengobati orang, banyak pekerjaan lain dibebankan pemerintah padaku.”
“Enak aja kau ngomong... Kau ini digaji dengan uang rakyat. Kamilah rakyat! Kamilah tuanmu di sini! Bupati saja takut dengan kami. Lihat besok, kudatangkan seribu orang, kululuhlantakkan tempat ini!”
Pertengkaran pun memanas dan sepertinya bisa berujung kekerasan. Orang itu sudah siap melayangkan tinjunya. Tiba-tiba ada yang menarik bajuku dari belakang. Aku menoleh, ternyata istriku.
“Sudahlah,” katanya setengah berbisik. “Tengah malam begini, tak ada gunanya bertengkar, membahayakan dirimu sendiri.”
“Hai Pak...” tiba-tiba istriku menyela dari balik punggungku. Ia menyapa kedua orang lain yang dari tadi hanya termangu. “Apakah kalian datang ke sini hanya untuk bertengkar? Siapa sebenarnya yang sakit?”
“Eh ya.. anu Bu, ini paman saya... sakit perut.” kata yang seorang menunjuk orang tua di sebelahnya.
“Yang sakit masuklah!” istriku melambaikan tangan. Semula bapak tua itu ragu-ragu, tapi kemudian masuk juga ke dalam rumah. Pemuda yang beringas itu terdiam saja melihatnya. “Periksalah dulu!” bisik istriku lagi sambil menarik tanganku. “Urusan lain bisa ditunda besok pagi.”
Walaupun hatiku masih panas, tapi akhirnya kuturuti juga perkataan istriku untuk memeriksa bapak tua itu. Nada bicaraku agak lain saat menanyainya tentang sakit yang dideritanya, pendek-pendek dan tidak ramah seperti biasanya. Juga saat memegang jarum suntik dan menghisap obat dari ampulnya, kelihatan tanganku masih gemetar karena hati yang menahan amarah. Saat kuberikan obat-obat yang harus diminumnya di rumah, wajahnya menatapku (dengan air muka yang aku tahu artinya : berapa?). Tapi aku enggan menanggapi dan dengan gerakan kepala menyuruhnya keluar.
Di dekat pintu orang itu memegang tanganku, seraya mengatakan sesuatu dengan  suara pelan hampir tak terdengar, “Maafkan kami. Kami tak bermaksud begini...” Aku tak begitu memperhatikan. Kubukakan pintu untuk secara halus menyuruhnya pergi.
Orang tua itu berbicara kepada pemuda beringas itu, sepertinya menyuruh memberikan uang atau apa kepadaku, tapi pemuda itu hanya mengangkat bahu dan pergi begitu saja. Kedua orang itu memandangku sejenak, seperti mengucap terimakasih dengan wajah tak enak, kemudian berjalan pergi mengikuti pemuda itu.
“Kali ini takkan kubiarkan dia lolos begitu saja,”
“Terserah, apapun... lakukanlah besok pagi, sekarang tidurlah!” ujar istriku.
Tentang pemuda beringas itu, masih lekat dalam ingatanku kejadian sebulan yang lalu. Waktu itu dia membawa seorang anak yang terluka lengannya karena bermain pisau. Lukanya mengalirkan darah, walau tidak seberapa parah, tapi anak itu meraung-raung terus. Ketika akan menjahit luka itu, baru kuingat bahwa alat-alatnya belum disterilkan. Kututup luka itu dengan kasa steril dan kutinggalkan ke dapur untuk merebus dahulu alat-alat bedah minorku. Tiba-tiba pemuda itu menerobos masuk ke dapur, membentak dan menarik kerah bajuku. Ia bilang aku lambat melayani anaknya sampai hampir mati kehabisan darah.
Terlalu. Kali ini tak akan kubiarkan, aku mengutuk dalam hati.
* * *
Pagi hari, aku bergegas hendak melapor ke Mapolsek, tapi kemudian kuputuskan untuk lebih dulu menemui kepala desa setempat. Mendengar kejadian itu, seperti yang kuduga, kepala desa mencegahku untuk lapor polisi. Ia berjanji akan menyelesaikannya secara adat. Aku pun melunak, tapi memberinya batas waktu 1 x 24 jam untuk segera bertindak.
Hingga siang hari belum ada kabar dari kepala desa. Rasa kesal, marah, dan dendam kembali mengusikku. Hampir aku memutuskan untuk langsung ke kantor polisi saja, tapi istriku mengingatkan bahwa aku sudah berjanji untuk memberi waktu 24 jam. Ketika hampir jam sembilan malam tak juga ada kabar apapun, aku kehilangan kepercayaan pada kepala desa itu. Melihat beringasnya pemuda itu, kuragukan bahwa cara “kekeluargaan” akan bisa menjinakkannya.
Ketika aku baru saja mengunci pintu setelah pasien terakhir yang kulayani pulang, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Kuintip dari jendela (yang masih bolong) ternyata kepala desa bersama bapak tua yang kemarin sakit itu.
“Jadi bagaimana kelanjutannya Pak?” tanyaku begitu mereka kupersilahkan masuk dan kami duduk bersama di ruang tamu.
Kepala desa itu menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. “Saya sedang berusaha menyelesaikan masalah ini, Pak Dokter. Tapi masalahnya pelaku pengrusakan yang Anda laporkan ini sedang sakit...”
“Sakit? Sakit apa? Kemarin dia sehat-sehat saja waktu melempari rumahku. Bapak lihat sendiri akibatnya...” kataku sambil menunjuk jendela yang tak berkaca lagi.
“Ya saya tahu... tapi sejak tadi pagi katanya dia sakit perut. Sekarang makin parah hingga tak bisa berdiri lagi.”
“Sakit atau pura-pura sakit? Apa dia takut akan diperkarakan ke polisi?”
“Saya tidak tahu Pak Dokter, tapi saya pegang badannya memang panas sekali, dan sekarang tak bisa diajak bicara lagi, malah meracau seperti orang kesurupan.”
“Lalu?”
“Ya.. justru saya datang sekarang ini mewakili keluarganya untuk minta maaf sekaligus minta tolong Pak Dokter untuk mengobatinya.”  
“Apa? Orang ini sudah bersikap kasar ketika pertama kali aku menolong anaknya. Dan kemarin.. lebih buruk lagi, ia merusak rumahku ketika akan minta tolong untuk mengobati bapaknya. Apakah saya bukan manusia yang tak bisa merasa sakit hati? Berani-beraninya sekarang minta tolong lagi sedangkan kemarahan dalam hati saya belum hilang. Saya tidak yakin bisa bertindak profesional dengan beban perasaan seperti ini!” 
Kepala desa hanya mengangguk-angguk sambil sesekali menarik nafas panjang. Bapak tua disampingnya hanya menunduk, meneteskan air mata, tidak berkata sepatahpun. Akhirnya mereka pun mohon diri setelah jelas tak ada lagi yang bisa dibicarakan denganku.   
“Mengapa dibuang kesempatan yang begitu bagus?” Aku kaget mendengar suara istriku yang tiba-tiba menyela dari balik tirai, ketika aku masih termangu memandang kepergian kedua orang itu.
“Kesempatan? Apa maksudmu?”
“Kesempatan untuk membuktikan keikhlasan. Selama ini Ayah banyak menolong orang... tapi bisakah membuktikan bahwa semua atas dasar keikhlasan? Banyak alasan untuk menolong: karena uang, karena kasihan, karena tugas, karena menyukai seseorang, karena ingin dapat pujian... banyak lagi alasan lain.”
“Terus?”
“Saat kita harus menolong orang yang kita benci, saat itu kita tidak punya alasan lain untuk menolong selain keikhlasan. Kelak saat Ayah berdoa, maka Ayah bisa dengan bangga menyebut di hadapan Allah bahwa Ayah pernah menolong seseorang dengan tanpa alasan lain selain ikhlas semata.”
Aku tercenung. Tak ada kata-kata lain lagi terdengar dari balik tirai. Apa yang baru saja kudengar sudah jelas maknanya, tidak perlu penjelasan lain lagi. Kumasukkan alat-alat medisku ke dalam tas kecil yang biasa kubawa kala mengunjungi pasien di rumahnya. Saat keluar rumah, kusempatkan memandang ke langit sebentar, menasehati diriku sendiri bahwa Dia sedang menyaksikan apa yang akan kulakukan. Dengan langkah-langkah ringan aku berjalan, ke rumah pemecah kaca itu.
***

#Peringkan 2 Event "Ini Karyaku" Bulan Maret *Komunitas Pena Santri
*Tentang Penulis : Rahadi Widodo. Lahir tahun 1971 di Jombang, Jawa Timur. Pernah menjadi Pimred Majalah Diagnostika, Majalah Mahasiswa FK Unibraw Malang tahun 1992. Sekarang menjadi PNS di Dinkes Muara Enim Sumsel dan menjalani tugas belajar di RSUD Saiful Anwar Malang. Alamat : Jl. Serayu Selatan No. 22A Malang