Senin, 10 September 2012

MEMINTA MAAF... SESEDERHANA ITUKAH? MEMAAFKAN... WAJIBKAH?

MEMINTA MAAF... SESEDERHANA ITUKAH?
MEMAAFKAN... WAJIBKAH?

Sebuah Renungan oleh Rahadi W.

                Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri telah usai. Pada umumnya seluruh umat muslim berbahagia pada hari ini. Setelah menunaikan ibadah puasa sebulan penuh, kita semua berharap rahmat dan ampunan Allah SWT akan melimpah bagi kita. Apalagi, pada hari lebaran, silaturahmi dan saling memaafkan sudah menjadi tradisi, yang biasa kita sebut "halal bi halal". Dengan halal bi halal, kita merasa bahwa telah pupus segala dosa karena diampuni Allah SWT dan dimaafkan sesama manusia. Maka, kita seolah terlahir kembali bagai bayi tanpa dosa. Kembali suci. Kembali fitri.
                Namun, benarkah akan selalu demikian?
                Bagi saya, pertanyaan itu selalu menggelisahkan hati setiap lebaran usai. Apakah Tuhan benar-benar mengampuni dosa-dosa saya? Bukankah pada umumnya dosa-dosa itu adalah pengulangan dosa-dosa tahun kemarin? Masihkah akan diampuni-Nya? Seringkali saya mendengar ustsdz-ustadz kita mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun, takkan berat bagi-Nya mengampuni dosa-dosa manusia, seberapa pun besarnya. Namun bagian hatiku yang lain mengingatkan: Sebagaimana tidak ada dosa besar bila segera disusul dengan taubat, maka tidak ada dosa kecil bila dilakukan berulang-ulang. Ah, entahlah... Bagaimanapun juga, itu adalah rahasia Tuhan, tak seorangpun yang mengetahui keputusan-Nya sebelum hari kiamat datang. Yang bisa kita lakukan adalah memohon ampun dan memohon ampun lagi, di setiap waktu dan kesempatan.
                Dan satu lagi, yang lebih menggelisahkan hati, yaitu tentang meminta maaf kepada sesama manusia. Setiap kali saya mengucapkan permintaan maaf (tidak lupa diiringi kata-kata "lahir dan batin") hampir selalu jawaban yang saya dapat adalah "sama-sama..." atau semacam itu. Apakah itu artinya semua teman-teman, keluarga, sanak-famili, handai-taulan... sudah memaafkan kesalahan-kesalahan saya? Walaupun sepanjang tahun saya telah menjadi orang paling menyebalkan bagi mereka?
                Ya, itulah masalahnya. Saya menggelisahkan hal itu karena pernah mendengar bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang terhadap sesamanya sebelum orang yang didzaliminya memaafkan. Bagaimana saya tahu bahwa orang sudah memaafkan saya? Tentang hal ini, ada seorang teman yang bilang, “Lho... kan mereka sudah bilang ‘sama-sama’, berarti kita sudah saling memaafkan toh?” Teman saya itu juga mengatakan bahwa kewajiban kita adalah meminta maaf. Apabila orang yang dimintai maaf itu tidak mau memaafkan ya biar saja, malah itu akan menjadi dosa bagi yang bersangkutan.
                Wah, benarkah demikian? Cepat selesai dong urusannya!
                Cukup bagi kita mengulurkan tangan untuk bersalaman, kemudian mengucapkan "mohon maaf lahir dan batin ya..." maka selesailah urusan kita dengan orang yang kita dzalimi, sengaja ataupun tidak. Tak peduli sebesar apapun kedzaliman yang pernah kita perbuat terhadapnya. Tak masalah apakah ia menolak memberi maaf, atau di bibir memberi maaf tapi dalam hati menolak. Tidak penting lagi, karena kita telah melaksanakan kewajiban untuk minta maaf. Begitukah?
                Banyak dalil yang diajukan teman-teman mengenai hal ini, bahwa seorang muslim harus menjadi seorang pemaaf. Banyak hadits Nabi dan ayat Al-Qur'an yang membahas tentang ini. Misalnya QS. Al-A'raaf 199: Qudzil 'afwa wa'murbil 'urfi wa-a'ridh 'anil jaahiliin. Artinya: "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh (jahil)". Ada juga contoh mengenai sahabat Nabi, Abu Bakar Ash-Shidiq r.a. yang menghentikan santunan terhadap orang yang terlibat dalam huru-hara fitnah terhadap putrinya, Aisyah r.a. Betapa Allah langsung menegur tindakannya itu melalui ayat Al-Qur'an. Mengapa kita tidak menjadi pemaaf? Tidakkah kita suka kalau Allah mengampuni dosa-dosa kita?
                Sesaat saya merasa tenang mendapat penjelasan seperti itu. Tapi suatu hari saya teringat pada sebuah hadits Nabi yang berkaitan dengan hal ini. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang membawa dosa kedzaliman.  Ia pernah mencerca Si Ini, menuduh tanpa bukti terhadap Si Itu, memakan harta Si Anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada Si Ini, Si Itu, dan Si Anu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya, sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim no. 6522)       
                Nah lho... Orang-orang yang menjadi korban kedzaliman itu, mengapa mereka tidak disuruh memaafkan saja, malah dengan izin Allah terjadi arena pembalasan dendam di akhirat?
                Terus-terang, hadits Nabi itu membuat saya takut. Saya jadi berpikir bahwa yang penting ternyata bukan hanya pernyataan maaf di dunia, karena kelak di akhirat hal itu akan diperhitungkan lagi. Mestinya memang begitu, karena pemberian maaf di dunia belum tentu benar-benar tulus. Di dunia, tidak semua orang berani terang-terangan menolak memberi maaf. Misalnya, saat majikan kita minta maaf pada hari Lebaran, beranikah kita jawab bahwa kita takkan memaafkan karena perbuatannya sungguh keterlaluan? Tidak mungkin, selama kita masih menggantungkan hidup pada majikan itu. Bisa-bisa ia akan menghentikan mata-pencaharian kita sama sekali.           
                Demikian juga, kalau kita minta maaf pada orang-orang yang mungkin takut pada kita, misalnya pada anak, istri, bawahan, atau orang-orang lain yang posisi dan status sosialnya lebih rendah dari kita. Jangan-jangan mereka memaafkan hanya di bibir saja, tapi dalam hati masih menyimpan dendam. Dendam yang akan menjadi "bom waktu" bagi kita di akhirat nanti. Dan ternyata Allah SWT juga mengakomodasi kepentingan orang-orang yang mendendam seperti ini. Tentu saja, karena Allah bukan hanya Maha Pengampun tapi juga Maha Adil.
                Yang menarik dari hadits Nabi di atas adalah... orang yang datang dengan banyak amal-ibadah itu mestinya adalah orang "alim". Ia pasti rajin beribadah dan banyak beramal. Logikanya, pada hari Lebaran ia juga termasuk orang yang saling bermaaf-maafan dengan sesama manusia yang lain. Tapi mengapa banyak orang yang masih sakit hati dengan perbuatannya, bahkan tidak mau memaafkan sama sekali? Ini membuat saya berpikir: MINTA MAAF SAJA TIDAK CUKUP. Mengucapkan permintaan maaf (secara formal) saja tidak cukup, sekalipun diembel-embeli "lahir dan batin".
                Barangkali, tidak kalah pentingnya yaitu permintaan maaf secara informal. Apa itu? Maksud saya adalah segala tindak-tanduk kita sehari-hari yang menunjukkan bahwa kita menyesali kesalahan kita dan tidak berniat untuk mengulanginya lagi. Kalau kita minta maaf kemudian tanpa segan-segan mengulangi perbuatan yang sama di lain hari, masihkah orang akan memaafkan? Jangan disamakan orang biasa dengan Rasul-rasul Allah yang sangat pemaaf. Orang biasa bisa jadi punya batas kesabaran. Saat batas itu kita lampaui, mereka takkan memaafkan lagi. Saya heran, sebagian kaum muslimin bahkan seolah menyamakan manusia biasa dengan Tuhan yang Maha Pengampun, sehingga enak saja minta maaf berulang-ulang untuk perbuatan yang juga diulang-ulang lagi, lalu dengan entengnya mengatakan: "Saya kan sudah minta maaf!"
                Satu lagi yang juga tidak kalah penting... Bagaimana caranya agar orang selalu memaafkan kita, bahkan sebelum kita mengucapkan permintaan maaf? Saya rasa yang penting adalah akhlak kita sehari-hari. Bila dalam keseharian kita selalu bersikap sopan dan santun terhadap sesama, ramah, suka menolong, dan juga pemaaf, maka bila sekali waktu kita khilaf sebagai manusia, orang akan mudah memaafkan. Bandingkan dengan orang yang angkuh, sombong, pelit, pemarah, pendendam, enggan mempermudah urusan orang, dan tidak peduli bila kelakuannya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain, maka orang seperti ini bila melakukan kesalahan sedikit saja akan sangat diperhitungkan orang.
                Ketika saya hampir selesai menuliskan renungan ini, di televisi semua stasiun berita memberitakan tentang Afriyani, pengemudi Xenia maut yang telah "membunuh" sembilan orang di Tugu Tani, yang divonis lima belas tahun penjara. Tidak seorangpun dari sanak-saudara korban yang ridho dengan vonis itu. Bahkan seorang ibu meraung-raung sampai pingsan karena tidak rela pembunuh putrinya hanya dihukum ringan (menurut dia). Mengapa mereka tidak memaafkan, bukankah Afriyani sudah meminta maaf secara terbuka? Bukankah Allah dan Rasul-Nya menganjurkan kita menjadi orang yang pemaaf?
                Di sisi lain, keluarga Afriyani juga tak rela karena menganggap hukuman itu terlalu berat dibandingkan kesalahannya. Jadi apakah menurut mereka hukuman Tuhan di akhirat atas kesalahan menghilangkan sembilan nyawa itu akan lebih ringan dari lima belas tahun penjara?
                Wallahu a'lam bishshawab.
                Saya tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Mungkin kita akan tahu jawabannya pada Hari Perhitungan kelak, ketika para korban yang kehilangan nyawa itu ditanyai. Apakah mereka akan memaafkan Afriyani? Atau sebaliknya: mereka akan mengambil pahalanya, atau bila tidak ada lagi pahala Afriyani yang bisa diambil maka ia bebankan dosanya kepada Afriyani sebagai tebusan atas kedzaliman itu?
                Sekali lagi, wallahu a'lam bishshawab.
Malang, 31 Agustus 2012
Rahadi W.

TENTANG  PENULIS :
Rahadi W. Lahir tahun 1971 di Jombang, Jawa Timur. Lulusan FK Universitas Brawijaya Malang tahun 1997. Pernah aktif di majalah kampus dengan menjadi Pimred Majalah DIGNOSTIKA FK Unibraw. Sekarang menjadi PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim Sumsel dan sedang menjalani tugas belajar di RSUD Syaiful Anwar Malang. Tinggal di Jl. Serayu Selatan No. 22A Malang. Bisa dihubungi melalui e-mail: rahadiwidodo@ymail.com atau FB https://www.facebook.com/rahadiwidodo.




3 komentar:

  1. Persoalan minta maaf dan memaafkan apabila ditelaah lebih dalam ternyata bukan masalah yang sederhana, ya. Saya setuju apabila urusan yg. satu ini tidak menunggu saat tertentu misalnya ketika lebaran tiba. Kesannya kok seperti ritual basa basi saja. Mungkin meminta maaf dengan penuh penyesalan dan bertekad tidak mengulanginya lagi akan lebih bermakna. Memaafkan dengan penuh keikhlasan memaknai arti manusia takkan pernah luput dari salah, terasa menyejukkan. Sedangkan Allah SWT saja disebut sebagai Al Ghoffaar, masa kita makhlukNYA menjadi pendendam. Setidaknya itulah pendapat saya.. :)

    BalasHapus
  2. Admin : Ya setuju dengan mas Nopi. Terimakasih berkenan berkunjung.

    BalasHapus
  3. Saya sangat setuju dengan pendapat nya mas Nopi, salam kenal dan sukses terus ya mas :)

    BalasHapus