Kamis, 21 Juli 2011

Meneladani Said Bin Amir Al Jumahi






Oleh: Pirman (Usman Alfarisi)

Pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, ada sebuah kisah yang membuat kita takjub. Kisah pengangkatan salah satu gubernur di daerah Al Hims. Waktu itu, sang Khalifah yang terkenal tegas ini meminta kepada sahabatnya, Said Bin Amir Al Jumahi untuk menjadi gubernur di daerah Al Hims. Al Faruq – julukan Umar- bukanlah sembarangan dalam menunjuk. Said adalah pribadi yang terbukti jujur dan tulus. Yang Ia lakukan pastilah tulus karena Allah dan Rasulnya.
Maka, Umar berkata, “ Wahai saudaraku, Aku serahkan Al Hims kepadamu. Jadilah pemimpin yang menegakkan kalimat Allah di bumiNya.” Dengan terbata, Sahabat yang juga tawadhu’ ini menolak, dengan halus. Ia tidak mau hisabnya di akhirat diperberat karena kekhawatirannya jika tidak amanah. Maka, Umar pun mendesak dan mengingatkan kepada Said agar ia mematuhi Perintah Allah, RasulNya dan pemimpin kaum muslimin yaitu Umar sendiri. Said pun akhirnya menyanggupi amanah itu. Ia memimpin Al Hims.


Setelah berlalu bebarapa masa kepemimpinan Said. Umar mengundang beberapa utusan dari Al Hims untuk menghadap kepadanya. Kata umar, “Tulislah nama - nama fakir miskin yang ada di daerah kalian!” Perintah Al Khattab. Utusan itu pun menulis sejumlah nama dan menyerahkannya kepada Amirul Mukminin. Ia terhenyak, kaget bukan kepalang ketika mendapati dalam daftar fakir miskin itu terdapat nama Said Bin Amir. Umar bertanya heran kepada utusan itu, “ Siapakah Said Bin Amir? ” Sang utusan menjawab, “ Ia adalah pemimpin Kami, Gubernur Al Hims. Sudah beberapa hari ini dapurnya tidak mengepulkan asap. Ia tidak punya apapun untuk sekedar memenuhi perutnya dan keluarganya.” Allahu Akbar walillahil Hamd.


Maka, Umar pun iba. Hatinya yang gagah menjadi leleh. Ia menangis. Lalu dititipkannya 100 dinar kepada sang utusan, “ Berikan ini, sedekah dariku untuk pemimpinmu.” Sang utusanpun pulang. Sesampainya di Kantor kegubernuran, ia memberikan titipan dari sang khalifah. Said pun membuka titipan itu. Seketika itu juga, ia memerintahkan kepada stafnya untuk membagikan sedekah itu. Katanya, “ Bagikan ini kepada fakir miskin. Sungguh! Gajiku dari Baitul Maal jauh lebih cukup untuk sekedar menghidupi diri dan keluargaku.” Kita selayaknya malu. Malu bercampur takjub. Bertasbih kepada Allah karena hambaNya yang luar biasa ini. Dimana pada saat-saat seperti ini, Kita membutuhkan sosok Said yang teguh. Yang mengatakan “Gaji saya cukup” padahal dalam beberapa hari dapurnya tidak mengepulkan asap, karena tidak ada appun untuk dimasak. Sementara Ia adalah seorang Gubernur.


Lantas, apakah Said termasuk orang yang enggan dengan harta? Apakah Ia termasuk orang yang menjauhi harta dengan dalih Zuhud? Tidak. Sebelum menjabat sebagai gubernur, ia adalah seorang saudagar kaya yang omset kekayaannya setara dengan Abu Sufyan dan saudagar Arab lainnya. Sebelum menjabat, Said adalah pribadi yang dekat dan karab dengan harta. Tapi, Ia sadar. Kepemimpinan bukanlah untuk memperkaya asset. Bukan untuk menumpuk harta. Bukan! Bagi dia kepemimpinan adalah sarana untuk melayani. Sarana untuk meratakan kemakmuran. Agar Islam, terasa rahmatnya, bagi seluruh alam.


Adakah di zaman globalisasi ini, pemimpin seperti Said Bin Amir yang begitu dihormati namun tak mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari? Bahkan, Pemimpin kita sekarang, lebih suka bermewah-mewahan sementara rakyatnya kelaparan.


Kita berharap, dan akan terus berupaya, agar pribadi seperti Said ini akan terus ada. Yang merasa perlu berbagi meski ia sangat membutuhkannya. Yang terus memberi meski diri dan keluarganya kekurangan. Mudah mudahan Allah menjadikan kita penerus generasi itu, generasi terbaik yang pernah dimilki oleh umat ini. Bukan generasi yang sebaliknya. Generasi yang cinta harta, kemudian mengampu jabatan, bukan untuk melayani, melainkan menambah pundi - pundi harta, baik untuk dirinya, keluarga besarnya, ataupun partainya.


Seperti halnya said, mulai sekarang kita akan belajar, minimal berniat untuk menyerupainya. Meski kita faham, kita sadar, kita takkan mungkin bisa seperti dirinya. Hanya mendekati.
“Wahai Said Bin Amir, berbahagialah dengan nikmat Tuhanmu karena amal perbuatanmu ketika di dunia ini. Kami menjadi saksi atas kebaikanmu. Wallahu A’lam.”

Selasa, 12 Juli 2011

Event PIP oleh Komunitas Pena Santri

Event PIP
oleh Komunitas Pena Santri

Mengiringi tumbuhnya ‘tunas’ Pohon Keberuntungan, Komunitas Pena Santri bekerjasama dengan Inzpirazone Book mengadakan event : Puisi Inspirasi Pohon Keberuntungan (PIP).

***Berikut ketentuannya

1. Setiap peserta dianjurkan memiliki kumcer “Pohon Keberuntungan”

2. Puisi berbahasa Indonesia maksimal 150 kata.

3. Puisi merupakan inspirasi dari salah satu cerpen yang terdapat dalam kumcer “Pohon Keberuntungan” Judul puisi bebas

4. Menulis kata-kata berikut –dalam kurung- di bawah puisi. (Puisi ini terinspirasi dari cerpen -sebutkan judul- dan halaman) contoh : -puisi ini terinspirasi dari cerpen Yang Tak Disangka, hlmn 67-

5. Sertakan biodata naratif maksimal 100 kata

6. Puisi+Biodata disatu-file-kan kemudian kirim dengan attachment ke pena.santri@gmail.com. Tulis di Subjek : PIP+nama+judul puisi

7. Deadline 8 Agustus 2011

8. Sebarkan info lomba ini di catatan Fb atau Blog, tag teman-teman dan Komunitas Pena Santri

9. peserta Dianjurkan berteman dengan Fb Inzpirazone Book
www.facebook.com/inzpirazone?sk=wall



***Hadiah :

Setiap peserta berhak atas sertifikat kepesertaan

Puisi yang masuk akan dibukukan oleh Inzpirazone Book. Adapun royalti Untuk pengembangan KPS. Peserta tidak mendapatkan bukti terbit.



Hadiah buku

Juara 1, mendapatkan 3 buku.

Peringkat 2, mendapatkan 2 buku.

Peringkat 3, mendapatkan 1 buku plus pulsa Rp. 10.000.



***Dewan Juri

Dewan juri sementara dirahasiakan, terdiri dari Mahasiswa Diksatrasia dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia.





*** yang peduli dan berkenan silakan share.

Syukron.



Salam pen, KPS : www.pena-santri.blogspot.com. Inzpirazone : www.inzpirazonebook.web.id



HOT NEWS

Terbit di LeutikaPrio!!!

Judul : Pohon Keberuntungan

Penulis : Akhi Dirman Al-Amin, Prito Windiarto, Dkk

Tebal : vii + 91 hlmn

Harga : Rp. 27.700,-

ISBN : 978-602-8597-89-0

Ps : Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website www.leutikaprio.com, inbox Fb dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0821 38 388 988. Untuk pembelian minimal Rp 90.000,- GRATIS ONGKIR seluruh Indonesia. Met Order, all!!



Sebagian Royalti akan digunakan untuk pengembangan Komunitas Pena Santri.

Info lebih lanjut, silakan klik www.pena-santri.blogspot.com

Kepingan kehidupan book 2




Kepingan kehidupan book 2


Alhamdulillah, buku antologi Puisi Komunitas Pena Santri akhirnya bisa di pesan. Oh,ya antologi ini di bagi dua buku (bisa di lihat siapa saja yang masuk buku satu atau dua)





Kepingan kehidupan book 2
Penerbit HAMASAH
118 Halaman


Husen Arifin

Nisfiyah Sya`baniyah Munir

Minehaway

Diena Rifaah Amaliah

I Nyoman Gangga Sena

Ratu Bilqis

Stefany Budiono

Sudianto

Anisa Widiyarti

Alif Dede

Atik Parmawati

Dyah A. Hamasah

Eni Setiati

Budhi Setyawan

Talitha Huriyah

Reno Han

Faruqi Munif

Nero Taopik Abdillah

Dwi Endah Septyani

Elis Tating Bardiah

Ganz Pecandukata

I Putu Gede Pradipta

Yekaputra

Abdul Majid Kamaludin

Sri Maryani

Nessa Kartika

Shandy A.

Ikha Aprilia

Riyawati

Asqarini

Lintang Kanvas

Widya Arum

Santi Nuur P

Syaiful Mustaqim

Raditya Usra

Linda Puspita

Syahdaka Musyfiq A

Wahyu Amir

Anice Farabenta

Aw Wibowo

Yance Murviana

Alfa Kamila

Rakhmat Ari Nugroho

M Hasbi Ash Shiddiqy

Chosiin

Muna Masyari

Dwi Aprilytanti H

Muhammad Rusydi

O’onks kemarung

Lucky Andrean Sanusi

Muhammad Rasyid Ridho

Weny Rosmaya

Amerul Rizki

Padina Dariyanti

Pik Parwati

A’yat Safrana Khalili

Erny Binti Sanusi

Andy Khusniardhy

Dini Nuris

Rian Ibayana

Vyga Afisatiarini

Muhibbuddin Murzan

Sule Subaweh

Ardy Kresna Crenata

Ain Nisa Oktarinda

Nur Hayati

Mutiah A. Rasta

Asiah Amizar

Hidayu

Iman Safri Lukman

Fiyan Arjun

Diannafi

Asyari Muhammad





PJ Antologi

Taufiq Abdullah

dalinsyi@yahoo.co.id

FB : Daud Al Insyirah









Antologi Keping kehidupan Komunitas pena Santri.

Buku 1 dan Buku 2



Harga Rp. 35.000,- (Belum termasuk ongkir dari sidoarjo - tujuan) khusus daerah Sidoarjo dan Surabaya, akan di antar langsung oleh PJ antologi.



*Khusus yang membeli pada tanggal 9 Juli – 17 Juli 2011

harga Rp. 30.000/eks





Cara pemesanan,

Ketik SMS dengan format,

nama_Jml pesanan_KPS 1* _Alamat lengkap_jml yang di transfer dan di kirim ke 085733520180 (mas Taufiq)



*jika memesan antologi buku 1. kalau ingin memesan buku kedua , ketik KPS 2



Transfer ke BCA KCP Kembang Jepun No Rek : 2260586389 atas nama

Abu Dzar Al Ghifari.

Antologi puisi KPS "Kepingan Kehidupan" book 1




Antologi puisi KPS "Kepingan Kehidupan" book 1


Alhamdulillah, buku antologi Puisi Komunitas Pena Santri akhirnya bisa di pesan. Oh,ya antologi ini di bagi dua buku (bisa di lihat siapa saja yang masuk buku satu atau dua)



Kepingan kehidupan Book 1

120 hal

Penerbit HAMASAH



Inung Imtihani

Mas Adi

Deris Afriani

Yazmin Aisyah

Ida Raihan

Rurin kurniati

Iqbal H. Saputra

Mieny Angel

Okti Li

Jazim Naira Chand

Dian Soeto

Rusmin nuryadin

Zahratunnisa

Khoer Jurzani

Muhimmah

Kawako Tami

Elasofa

Syarifah Aini

Royyan Julian

Binta Al Mamba

Dhea Fanta

Ria Mustika Fasha

Naomi Dita

Siti Masruroh

Ben Santoso

Sofi Bramasta

Asri Bestari Rayawari

Febrianti Ika Dewi

Panama

Wien.Monik

Tina Yanes

Mutaminah

Eros Rosita

Maryam Zakaria

Umystha Fasuruqa'

Yusran Arifin

Riska Wulandari

Ratih Anggraeni

chu-x

Nhirwana Sari

Rina Asri

Karina Maulana

Fera Nur Aini

Enggar Dhian

Rahma hanifah

Mardhiah

Rouzix Zahra as_syeefa

Efriany Susanty

Rinaldi A Thal

Ray Aquila

Lia Arrumaisha

Sekar Langit

Rhein Yanti

Nanda iriawan R

Noorwidia Ulaeni

AF Kurniawan

Nisrina Nabihah

Ayumi Maulida

Daniel Hermawan

Sarip Hidayat

Aida Sulistyowati

Rizky Bagoes A

Faricha Hasan

Prito Windiarto

Muhammad irfan abdul aziz

Ade Riyan Purnama

Ahmad Khoirul Zul Fithor

Lara Ahmad)

Aliyah Azka

Kaka Hy

Ady Azzumar

Yulia Fatmianeri

Maulana riska

Muhammad Fauzan Rusman

Agus Ehsan ImaGiner

Assyafa Jelata

Muhammad Labib

Al fakir Taufik Hidayat

Endang Ssn)

Evi Andriani

Arizky Rachmad S





PJ Antologi

Taufiq Abdullah

dalinsyi@yahoo.co.id



Fb @Daud Al Insyirah









Antologi Keping kehidupan Komunitas pena Santri.

Buku 1 dan Buku 2



Harga Rp. 35.000,- (Belum termasuk ongkir dari sidoarjo - tujuan) khusus daerah Sidoarjo dan Surabaya, akan di antar langsung oleh PJ antologi.



*Khusus yang membeli pada tanggal 9 Juli – 17 Juli 2011

harga Rp. 30.000/eks





Cara pemesanan,

Ketik SMS dengan format,

nama_Jml pesanan_KPS 1* _Alamat lengkap_jml yang di transfer dan di kirim ke 085733520180 (mas Taufiq)



*jika memesan antologi buku 1. kalau ingin memesan buku kedua , ketik KPS 2



Transfer ke BCA KCP Kembang Jepun No Rek : 2260586389 atas nama

Abu Dzar Al Ghifari.

Rabu, 06 Juli 2011

MEMAKNAI SABAR DENGAN SYUKUR






Oleh: Fitri Arniza

Sebagai makhluk bernyawa, kita kerap kali merasakan betapa peliknya hidup ini. Dan yang seperti kita ketahui bersama bahwa banyak sekali saudara-saudara kita di luar sana yang memilih mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara karena merasa tak sanggup dengan segala permasalahan yang ada dalam hidup ini.

Berbicara tentang hidup berarti membicarakan tentang masalah. Sebab sudah menjadi sunatullah bahwa hidup ini tak lepas dari masalah, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 155. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Jelas sekali ayat di atas menegaskan bahwa Allah akan memberikan kita ujian dalam hidup ini. Dan tentunya hal tersebut tak lain adalah untuk menaikkan derajat kita. Jangankan kita manusia yang penuh dosa, para nabi-nabi Allah pun tak luput dari ujian. Rasullah SAW contohnya. Betapa banyak sekali ujian yang dipikulnya ketika beliau berdakwah. Mulai dari diludahi, dilempari dengan kotoran, sampai dikatakan gila oleh para musuhnya dan lain sebagainya.

Tetapi Allah menciptakan masalah bukan untuk kita tangisi, bukan untuk kita sesali, bukan pula karena Allah benci pada kita. Masalah hadir adalah untuk disyukuri. Sebab bagaimana mungkin kita bisa menacapai gelar taqwa jika bukan karena kita lulus dari berbagai masalah yang Allah berikan. Dan kunci untuk dapat lulus dengan predikat taqwa tak lain adalah sabar. “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” Demikian perintah Allah dalam surah Al-Ma’arij: 5.

Sabar. Sebuah kata yang sangat mudah untuk kita lontarkan, tetapi sangat sulit untuk kita amalkan dalam kehidupan ini. Hanya segelintir orang saja yang mampu bersabar ketika sedang dilanda persoalan.

Perlu sedikit digaris bawahi bahwa sabar bukan berarti pasrah dan tak berbuat apa-apa. Di kalangan ahli sunah ada tiga hal yang harus dilakukan ketika menghadapi masalah, yakni bersabar, berdoa, kemudian mencari jalan keluar.

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:153)

Lagi-lagi Allah menegaskan pada kita, betapa Allah sangat mencintai orang-orang yang bersabar. ‘Aidh al-Qorni dalam bukunya La Tahzan mengatakan: “Apakah Anda punya solusi lain selain bersabar? Dan apakah Anda mengetahui senjata lain yang dapat kita gunakan selain bersabar?” Semakin jelas saja bahwa tak ada jalan lain untuk menghadapi segala ujian selain dengan bersabar.

Dan ternyata bersabar bukan hanya dilakukan ketika kita sedang dihimpit berbagai persoalan, tetapi juga ketika kita tengah berada pada posisi senang dan berkecukupan. Dari Abd Rahman bin Auf ra, Beliau berkata “Kami pernah diuji oleh Allah Swt dengan berbagai kesulitan bersama Rasullah Saw dan kami mampu bersabar. Kamipun diuji oleh Allah swt dengan berbagai kenikmatan setelah masa Rasullah Saw, dan kami tidak mampu bersabar.” (HR. Turmudzi)

Lalu bagaimana cara bersabar ketika kita tengah berada dalam kenikmatan? Maka jawabannya adalah syukur. Syukur itu tak cukup dengan mengatakan ‘Alhamdulillah’ saja, tetapi sebenar-benar rasa syukur adalah mempercayai dan meyakini akan keesaan Allah Swt dengan cara menjadi hambaNya yang baik. Serta menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari nikmat Allah.” (Qs.24:34).

Seperti makna syukur yang telah disebutkan di atas, bahwa syukur itu adalah meyakini akan keesaan Allah. Jelas bahwa cara pertama untuk bersyukur adalah dengan mengerjakan ibadah dengan sebaik-baiknya. Sholat misalnya. Lakukan sholat itu dengan khusyu’ sebagai bukti bahwa kita bersyukur pada Allah. Selain itu, Allah juga telah memberikan pada kita fisik yang sempurna, dua buah mata, telinga, juga tangan dan kaki. Alangkah baiknya jika kita menggunakan pemberian Allah tersebut untuk hal kebaikan seperti menggunakan mata untuk membaca Al-Qur’an dan mulut untuk menyuruh orang beramal makruf nahi mungkar. Agar kita termasuk golongan hambaNya yang bersyukur. Dan cara bersyukur yang lain adalah dengan menyedekahkan sebagian harta kita kepada orang-orang yang kurang mampu di sekitar kita.

Umar bin Al-Khaththab berkata: “Dengan kesabaran, kita akan tahu makna hidup yang baik.” Sabar dan syukur adalah ibarat saudara kembar yang tak bisa dipisahkan. Sebab hidup ini akan terus berputar. Jika sedang berada di bawah maka sabar adalah solusinya dan syukur adalah pilihan terbaik ketika sedang berada di atas.

Maka jika kita benar-benar menerapkan dua hal penting di atas, insya Allah kita tak akan pernah menyerah dalam mengarungi samudera hidup ini, sebab kita akan merasa bahwa Allah selalu ada dalam hati kita dalam kondisi apapun. “Jangan terlalu bersedih, selama engkau masih beriman kepada Allah.” (‘Aidh Al-Qorni)

URGENSI MENJAGA SHOLAT TEPAT WAKTU





Oleh: Fitri Arniza

Sudah barang tentu sholat menjadi sebuah kewajiban bagi seorang yang mengaku Islam. Sebab hanya dengan sholatlah seorang hamba akan dekat dengan Tuhannya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim. “Waktu paling dekat antara seorang hamba dan Allah swt. adalah dalam sujud.”

Sholat merupakan perintah yang paling utama setelah mengucap kalimat syahadat. Banyak sekali faedahnya jika kita mendirikan sholat, di antaranya: terhindar dari kesulitan hidup, terhindar dari siksa kubur, masuk surga tanpa hisab, dan akan diberi kitab amal dengan tangan kanannya serta dimudahkan ketika berjalan di atas shiratol mustaqim. Demikian sebaliknya, Allah sangat murka pada hambanya yang tidak mengerjakan sholat. Apabila seseorang meninggalkan sholat maka ia termasuk kafir. Sebab pembeda antara seorang muslim dengan kafir adalah sholat.

Bila kita kaitkan dengan kehidupan sehari-hari, maka sholat adalah salah satu wujud dari rasa syukur kita kepada Allah atas apa yang telah dianugerahkannya kepada kita. Benar adanya, Allah tak pernah meminta balasan dari seorang hambaNya, tetapi maukah kita tergolong pada orang-orang yang kufur lagi kafir? Tentu tidak. Maka dari itu sudah seyogyanyalah kita selaku hambaNya yang mengaku beriman untuk mendirikan sholat, lagi-lagi karena sholat merupakan jalan satu-satunya untuk ‘bertemu’ dengan Allah. Sholat juga dapat menjadi sarana bagi kita untuk bermunajat bahkan berkeluh kesah kepada Allah.

“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnhya mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar (keutamaanya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS:29:45)

Ayat di atas adalah salah satu bukti bahwa betapa urgennya kita mendirikan sholat, guna untuk membentengi diri dari hal-hal tercela. Allah yang Maha Rahim tentu tidak akan memberatkan hamba-hambaNya. Demikian halnya dengan sholat, Allah pun telah memberikan keringanan pada kita. Apabila kita tidak sanggup sholat dalam keadaan berdiri maka diperbolehkan sholat dalam keadaan duduk, kemudian jika tidak sanggup juga, maka boleh dilakukan dalam keadaan berbaring dan selanjutnya diperbolehkan sholat dengan isyarat mata saja, jika tidak sanggup sholat dalam keadaan berbaring. Betapa Allah sangat mencintai hambaNya. Allah pun sudah menentukan waktu-waktunya dalam tiap sholat, dan tentunya untuk memudahkan kita dalam mengerjakannya. “....Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (An-Nisa: 103)

Jelas bahwa Allah sudah menetapkan waktu untuk mendirikan sholat, tetapi mengapa kita sering kali remeh dengan hal ini. Kita cenderung bahkan kerap kali menunda-nunda waktu sholat dengan berbagai alasan yang sebenarnya masih bisa kita hindari. Coba kita bayangkan, ketika ada seseorang yang memanggil kita untuk segera datang menemuinya, tetapi kita tidak menghiraukan panggilan tersebut, pastilah orang itu marah. Sama halnya dengan ketika mendengar azan berkumandang, tetapi kita tidak menghiraukannya dan menunda-nunda untuk sholat bahkan tidak menjawab azan tersebut. Sudah pasti Allah akan murka pada kita. Sebab ada dua orang yang susah mengucap kalimat syahadah ketika ia berhadapan dengan syakaratul maut yakni orang yang tidak menjawab ketika azan berkumandang dan yang kedua adalah orang yang durhaka kepada orangtua.

Dalam buku ‘Petunjuk ke Jalan Lurus’ terdapat sebuah hikayat tentang seorang yang suka menunda-nunda sholat. Seorang saleh mengubur jenazah saudara perempuannya yang telah meninggal, tiba-tiba dompetnya jatuh ke dalam kubur dengan tidak terasa hingga pulang. Kemudian ia ingat. Maka segera ia kembali ke kubur untuk menggalinya, setelah digali tiba-tiba kubur itu menyala api, maka segera ditutupnya kembali dan ia segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ia bertanya kepada ibunya sambil menangis: “Ibu, beritahu padaku apakah amal saudaraku itu? Ibunya pun bertanya: “Mengapa kau bertanya begitu?” Lelaki itu menjawab: “Ibu, aku telah melihat kuburnya menyala api.” Maka menangislah ibunya seraya berkata: “Saudaramu itu biasa meringankan sembahyang dan mengakhirkan waktunya.”

Na’udzubillahi min dzalik. Betapa kita terhenyak mendengar cerita di atas. Itulah tanda bahwa Allah sangat membenci orang yang menunda sholat. Tanpa kita sadar, kita masih kerap kali menunda-nunda untuk sholat. Kita hanyut dengan urusan dunia, kita selalu saja bergelut dengan hal yang berbau materi, pekerjaan bahkan mungkin hal yang berbau maksiat. Sehingga kita pun lalai dari Allah bahkan lupa untuk sholat. Itukah balasan kita kepada Allah, sedang nikmat yang diberikanNya begitu banyak pada kita?

Bukhari, Muslim dan An-Nasa’I meriwayatkan: “Malaikat pencatat amal yang bertugas malam bertemu dengan malaikat yang bertugas siang pada waktu sholat Subuh dan Ashar. Ketika sholat Subuh, malaikat malam naik ke langit dan digantikan olehh malaikat siang. Ketika sholat Ashar, malaikat malam turun dan menggantikan tugas malaikat siang. Dia sendiri naik ke langit. Kemudian Allah menanyakan kepada mereka berdua tentang perbuatan hambaNya, sedangkan Dia sendiri lebih thu dari mereka. “Sedang apa hambaKu ketika kalian datang dan pergi?” Malaikat menjawab: “Kami datang dia sedang sholat, dan kami pergi dia juga sedang sholat, ampunilah dia di hari kiamat.”

Dapat kita ketahui dari hadits di atas bahwa Allah senantiasa mengawasi kita melalui apa saja. Coba kita renungkan, betapa indahnya jika kita berada pada posisi yang disebutkan dalam hadis tersebut, namun bagaimana jika sebaliknya? Allah bertanya pada Malaikat ketika waktu Ashar datang misalnya, kemudian Malaikat menjawab kita sedang tidur. MasyaAllah. Betapa meruginya kita. Karena kita baru saja menyia-nyiakan kesempatan emas. Maka dari itu marilah kita sama-sama untuk membiasakan diri menunaikan sholat tepat pada waktunya, sebab Allah sangat mencintai hambaNya yang sholat tepat waktu dan sebaliknya Allah swt. sangat murka pada hambaNya yang suka menunda-nunda sholat tanpa alasan yang tepat. Semoga kita senantiasa dalam naunganNya.

Minggu, 03 Juli 2011

UP Date Event Pohon Favoritku

Bismillahirrahmanirrahim



001. Akhmad F

002. Ahmad Ghoseen

003. Entoni Putra

004. Poetry Hasyim

005. ichsan "kdneep" E

006. Nurlaili S

007. Sarni Boegisi

008. Ika R. A.

009. Prastiwi Bhakti N

010. Riri A

011. Danney D

012. Rianti

013. Zita E

014. Iban R

015. Aisyah A

016. Nawang W

017. Vindy Ganti-na

018. Boneka Lilin

019. Nyi Penengah D

020. Rihan A

021. Aoi Azzahra

022. Levina N

023. Dhia Fajar

024. Azizah Z

025. Dewii R

026. Mey Z

027. Heri Azwan

028. Ary N. A.

029. Mukti A

030. Elly N

031. Rurin K

032. Yulina T

033. Murti Y

034. Raditya S

035. Ari Kurnia

036. Rachmi R

037. Hiradati D

038. Ety Abdul

039. Daniel DH



___



B 001. Diess V

B 002 Risah Icha

B 003 Heri Awan

B 004 Prihatin Nur Latifah



____



Alhamdulillah. Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan nama/gelar. yang merasa mengikuti event namun belum terdaftar, silakan komplain. mhn maaf tidak ter-tag semua Syukrn katsir atas partsipasi sahabat sekalian.



Salam Pena, Grup 2 KPS :

http://www.facebook.com/home.php?sk=group_217761104910100



Cerita-Cerita yang Teralun dari Bibir Ibu

Cerita-Cerita yang Teralun dari Bibir Ibu
Cerpen A’yat Khalili*

Ibu pun selalu bercerita padaku tentang keluarga ini; jujuk, kakek, nenek, terlebih bapak, yang paling kubayangkan sampai kini pun tak pernah ingin terhapus untuk sekedar melihatnya di dinding kamar; sebuah album tua yang beberapa waktu sempat dipajang ibu. Ketika musim kemarau tiba berkepanjangan, musim panen mulai meninggalkan kampung ini, sawah-sawah yang ditanami jagung, otok, pakau jadi kekurangan sedot air, dari Padang Ara ke hamparan Garincang, langit seolah terus berwarna merah dengan muka marah, melintasi kampung, begitu kira-kira ingatanku dulu.

Sebab seperti yang kulihat, di sinilah mula hidup keluarga kami diputar; makan-minum, sakit-sakitan, bertengkar antara tetangga, sebab tanian, bidingan, menyelimuti wajah kampung kami, siang dan malam. Bahkan tak jarang dari sebagian kami mengeluh-ngeluh dan kerap meratap sedu-sedan. Lebih dari itu, jauhnya jarak menempuh perkelokan lorong raya telah membuat tenaga tubuh sebentar konyol. Tak ada yang bisa dikais. Hingga memaksa kami hidup hanya dengan damian, menghembuskan sisa ubian.

***

Ketika itu, usiaku baru 5 tahun. Mata yang terlalu pinang untuk cukup melihat helai baju berwarna lesu yang selalu dipakai Bapak. Memang, Ibu kerap sekali bercerita, bila terkadang-kadang aku bertanya. Ketika Bapakmu meninggal, keluarga ini sangat berubah. Tak biasa Ibu menagi-nagi, pergi ke tetangga, seperti Bapakmu yang dadian . Banyak Phele . Dikasihi banyak orang. Kemana-mana namen solang . Tanpa mimpi, beliau bahkan dapat menghimpun serumpun pukaan . Lalu mata ibu terpejam. Mungkin terharu, atau paling tidak mata itu segera menitik air, entah untuk makna apa?.

Dan jika sudah begitu, aku segera mendekat padanya. Ibu memelukku. Di sana, di balik rumah tabing yang separuh terbuka, atap dan genting kolare yang sudah mulai pecah. Dan apabila langit bocor, hujan menyerbunya tanpa satir. Duniaku memang seketika hitam. Terasa berat. Hidup berdua dengan seorang perempuan di atas umur kadarnya; satu anak dan seorang ibu yang tak biasa bekerja, dengan tiba-tiba harus berlatih menahan bagaimana tangan hidup menongkis janur , mengaik rakara, untuk sekedar menambal kebutuhan sehari-hari.

Tak ada lakon lain yang bisa kami lakukan, sebab kami memang hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan ringan semacan itu, alangkah tertatih rasanya, kecuali anak-anak kelapa itu sudah dapat digaik dan dijual ke pasar, atau di musim pakau, ketika seluruh warga menanamnya, kami kalau lagi mujur, hidup dengan pelok-pelok di kebun-kebun belakang rumah, warisan kae-nyae itu. Tapi, tak mustahil gagal, karena jika sekut hujan dan angin besar, panen ini kembali tak bisa bertahan goncangan. Sehingga aku dan Ibu harus ngutang atau memilih nungkis janur.

Lalu dengan itu, ngambaaki kepada pembeli, yang datang setiap minggu sekali. Mereka membelinya dengan kepalan tanang; seharga 5 kepeng uang kerningan, yang tentu hanya cukup membeli sebungkus micin kecil. Dan kalau lagi kebetulan sedang banyak janur yang kami tungkis, kami bisa membeli serantang beras jagung, ikan panggang, dan maronggi, sementara palappa masih harus ngutang juga. Tentu, hari-hari seperti ini terus berjejak dalam lingkaran hidup kami. Tak pernah bisa diduga berjalan begitu lintas cepat. Seperti angin lewat, berlalu dan menjauh ke bebukitan Kapur di selatan, tanpa perhitungan. Lelah dan kesah. Dari pintu rumah ke halaman, waktu mengalir seperti kesek tek…tek…hujan di atap, gesekan yang tambah hari makin besar, gesekan tabing rumah yang dihempas angin Bulan Rasol.

Kadang-kadang aku terpesung; menerobos masuk ke dapur, bila hujan berlangsung, untuk melihat-lihat air yang mengucur memenuhi laci, lincak, gadang, seluruh tikar terbasahi, yang sambil terengah-engah aku dan ibu mensingkapnya. Sebab kata ibu, jika tikar-tikar itu selama 3 hari tetap dibiarkan saja tidak ditampai untuk dikeringkan akan memerah, lalu tak laku dijual.

Sedang ketika musim angin barat, tak kalah mencemaskan, rumah ini seperti kapas tersangkut ditiup, bahkan pernah kami saksikan separuh atap kami yang terdiri dari damian, terseret ke belakang rumah, lalu berbalik arah disebabkan angin kencang, disertai hujan dan kilat-kilat yang menjilat sejadi-jadinya. Membuat mata kami redup seperti kelereng yang menggelinding di amperan tanah, aku dan ibu hanya berani memasrah, untuk kemudian menangis berharap hujan dan halilintar segera reda.

***

Dari beberapa tahun itu, semenjak Bapak wafat, hidupku dan Ibu terasa sangat hanpa sekali. Kami berdua kehilangan orang yang sangat kami cintai, paling berharga jasanya. Bapak adalah manusia pertama yang kami tumpu ketergantungan hidup padanya; selama kurun waktu 7 tahun kurang lebih, ayah ibu; maksudku kae, juga nyae meninggalkan kami bertiga; Bapak, Ibu dan aku di Tanah Lempung ini, di subuh gubuk; rumah yang dianyam terbuat dari serajangan pohon bambu; suatu adat perumahan di kampung kami. Dulu, marga membidik irisan pering sebagai penutup badan rumah mereka, di atapnya disusun kilasan daun kelapa yang dianggit, orang-orang di sini menyebutnya Kolore. Mereka dapat tertidur pulas di situ karena hawanya yang teduh, selain untuk menjaga pancan hujan, mereka ingin menganggitnya untuk menjemur jagung, padi, saberang, bila musim panen sudah tiba.

Entah, sampai kemudian Bapak meninggal, dan aku makin dewasa, aku masih tak dapat memahami isyarat kae, yang dikatakan ibu padaku “ jika di suatu perkampungan terpencil, rumah-rumah beratap Kolare sudah tak ada, maka kiamat bisa segera tiba “. Sehingga kami selalu berusaha mengikati adek-adek yang mulai lamur dimakan rapreap, menggantinya tanpa harus merubah dinding dan atap, selain alasan tersebut, kami sengaja membuat rumah tabing agar tanpak teduh, bidiknya dikawas sekeliling pohon-pohon pisang, ada juga jambu air dan pohon monyet tempat biasa ibu berteduh nungkis janur dan aku sering memakani sapi, begitu juga bapak menyirati pappa di dalam kandang. Masing-masing punya kalakoan . Seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, dari linus jendela rumah ini, kami dapat melihat gugus Bukit Garincang yang melandai-landai. Itulah juga bagian penting sisi hidup kami di sini, setelah pulang meladang di Padang Ara, aku, ibu, bapak, biasa hinggap menyabit rumput di sana, dengan bilah-bilah celurit dan pidok.

Dan sejak kecil memang aku telah biasa menemani mereka berdua, aku bisa ingat walau hanya sepintas—terkadang aku mendengar banyak sekali pangaremo bersiul dan mengkidungkan kijung Madureen , di situ, kata ibu—mereka adalah penyerat lahang siwalan, mereka sedang mengikati mayang-mayang untuk ditepis lahanngnya. Indah sekali rasanya, selain buat mengorek rakara, siul itu adalah penunggu angin tandang.

***
Bukannya kita juga punya pohon siwalan, Ma’ ? Sembari kudekati ibu. Ya Nak, kita punya, jawab ibu membelai ubunku. Apa tidak ada yang naik, kita tak mendapatinya. Aku penasaran. Ta’ nemo oreng se endak, ben pole jheu-jheu pungkana. Begitu ucap Ma’ku terus, bila terkadang aku jadi bertanya.

Angin barat sangat keras sekali, mengetuk-ngetuk tubuhku dan tubuh ibu di bukit itu. Angin barat punya istilah penting dalam penyebutan tradisi lisan kampung; karena datangnya yang tak terduga dan kencang berhembus, bahkan kuasa merobohkan pohon-pohon kurnis dan nyior. Orang-orang kampung kami akan was-was, dan tentu saja tidak ada yang akan berani melompati pohon-pohon tinggi, bila Bulan Rasol sudah mulai terentang di timur sana, pepohonan seperti rambut yang meliung-liung dari kejauhan. Ini musim yang kami takutkan untuk pelayaran, lukisan pikiran kami masih dibayang-bayangi Dam Berit yang beberapa waktu lalu terjerembab, itu terjadi setelah angin tanpak melilit dari awan yang menggelap, didorong langit buram, tinggal seperti sedang menyimpan murka.

Dan ketika ibu menjawab lagi, bahwa tak ada tukang naik, walau ada mungkin susah. Umurku masih 5 tahunan, waktu itu. Selalu berangan-angan dapat memanjati pohon kelapa. Pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling rumah itu, kata ibu, adalah pemberian kae untukku, waktu itu umurku masih 2 tahun. Kae memberikannya padaku, agar aku punya benih pohon kelapa gading, kelak, kalau sudah dewasa.

Dan akhirnya kami biarkan saja buah-buah nyior itu mengering di atas pohonnya, pada saatnya akan jatuh jua. Lalu disumbat dengan rajang dan dijual ke pasar, hanya saja jika terlalu tua, maka harganya lebih rendah. Orang-orang yang kuasa mengalaknya sebelum buah itu jatuh berubah kulit, maka selamatlah dari penindasan harga.

Beda ketika masih ada bapak, kami bisa mengontrol kebun seminggu sekali, seperti tak ingin membiarkan lapangan itu berwarna kerak; liar dan suram dipandang, merabasinya dari rabat liar. Dan bapaklah yang naik mengambil buah-buah itu, menyumbat dan menjualnya ke pasar Bintaro, di dekat pelabuhan. Begitu cerita ibu terus, sampai kemudian aku makin dewasa. Bahkan bapakmu adalah pemajang di pelabuhan tua itu, ibu sering pergi untuk ngerem ke sana, bila bapak tak pulang-pulang selama hampir seminggu, ibu jadi penyuap sarapannya, lengkap tarnyak istimewa dibawa dari kampung. Bahkan bapakmu sering memesan, agar dimasaki pakai urap-urap, sebab bisa disesap dengan lontong. Menjelang pagi tuai, perahu-perahu pun sudah saling menjulur ke bibir pantai, merapatkan dirinya secara masing-masing, dengan dikomando beberapa manusia berbadan kuat, kemudian ditungar ke dasar pasir.

***

Di antara orang-orang yang mengacung dirinya ke atas perahu; bapak turun menenteng beberapa jaring ikan besar-besar, melihat ibu bapak segera mengusap rambutnya dan tersenyum. Hanya ini yang kuperoleh, katanya kepada ibu, sembari menyodorkan sekeranjang ikan cakalan, pindang, balida, pulus dan nus. Masih tak ada bekal lain cair, besok mungkin, katanya lagi pada ibu, karena bagi hasil jual, masih akan dihitung bersama-sama pemajang lainnya. Ibu lalu terpejam. Karena memang begitu hasil perjuangan bersama, mesti selalu dibagi bersama.

Terus, siapa yang menggantikannya bapak di sana, Ma’? Setelah bapakmu tak ada, yang ibu tahu para pemajang lainnya dilanda paceklik, dan karena harus terus-menerus membayar pajak labbuan, mereka melenyapkan diri. Entah jadi kuli, buruh, pemadung, ada juga yang kembali bertani di sawah dan berkebun. Ibu juga tak kelar, jika harus bertatih, berbalik arah pergi-pulang ke pelabuhan; harus membawa ikan, mengidarnya ke rumah-rumah, karena jarak tempuh yang terlalu jauh, maka ibu menyerah juga Cong , dan hanya memilih bekerja di rumah, sampai sekarang. Entah nungkis janur, ngala’ oan , menyabit rumput demi membubuhi kebutuhan sehari-hari denganmu. Kulihat titik air di matanya, lalu jatuh ke pipiku lagi.

***

Musim masih kemarau. Dan Ibuku masih selalu bercerita. Kampungku pun seperti terkeruk habis, di musim yang hanya tinggal rerumputan kering yang telah mengeras, di sebagian tabun terlihat ada yang menimbar air, untuk menyiram bidingan tembakau, ada untuk menyassa baju, ada entah untuk apa, mungkin menanak-meminum. Sementara di depanku masih terpajang sebuah album tua, tanpak suram, karena sudah lama tak dibersihkan kaca dan bingkainya. Foto itu ditabung ibu di kamar mungilku. Foto wajah yang gagah, sederhana, halus budi dan dermawan, itulah bapakku.

Aku bisa merasakan kerinduan padanya kini. Bila aku ingat lagi; di Padang Ara yang terbakar terik matahari itu, ketika Bapak membuatiku serangkaian jaran-jaranan dari batang daun pisang, umurku 4 tahun waktu itu. Bahkan masa sangat memenuhi perasaanku. Sebab setelahnya bapak tak pernah membuatiku mainan-mainan lagi. Dan hanya cerita-cerita yang tetap mengalun kukenangkan dari ibu. Entah, tentang rumah dan keluarga kami, di sini. Atau juga cerita-cerita tentang laut dengan pemajang-pemajangnya, tentang ladang, terlebih bapak. Dan memang selalu begitu ibu, meski sudah berkali-kali aku bertanya. Apakh Ibu tidak mau menikah lagi? Ibu tetap tidak menjawab. Tapi, aku berusaha dapat faham dengan cerita-cerita tentang bapak yang pernah disuguhkannya. Mungkin karena itulah; ibu sering bilang sangat mencintai bapak. Mencintai yang lebih dari garis takdir yang mana pun.

Dan tentu tak kan pernah aku lupa. Di umur 5 tahun itu. Aku telah kehilangan bapak. Dan turun temurun hidup kami berwasilah tukang landuk . Bayangan sekolah tak pernah tanpak di hadapan mataku. Selain cerita-cerita ibu saja, ditambah keretek rumah yang sudah seperti ingin menunduk, kebutuhan pangan sehari-hari yang sering datang menanjak, jauh ketika bapak sudah sakit-sakitan, tak bisa lagi ditawar bekerja buat memenuhi kebutuhan kami sehari-hari lagi, kami terkadang hanya menangis sampai kemudian bapak meninggalkan kami di sini, di rumah tabing, di Tanah Lempung ini.

Latee, 29 Maret 2011.


Footnote:

Suatu sifat yang menunjukkan ke tak sungkanan.
Famili/ keluarga, terkadang disebut tetangga, saudara.
Banyak rejekinya.
Makanan, pukaan sehari-hari.
Suatu pekerjaan dengan cara mengupasi daun nyior untuk makanan sapi, kambing, dan hewan ternak lain, yang dilakukan warga kampung Telenteyan turun-temurun.
Kakek-nenek.
Pekerjaan sehari-hari.
Lagu khas madura, yang dinyanyikan dengan nada kidungan (kejung).
Panggilan untuk ibu
Panggilan untuk anak laki-laki.
Membantu pekerjaan orang lain, dengan cara ingin mengambil ongkos atasnya.
. seorang petani.


* A'yat Khalili, penyair muda berbakat, karyanya tersebar di pelbagai media masa dan buku.