Minggu, 10 April 2011

Bangsat-Bangsat Berkelas 1-5 By Tere-liye*

Bangsat-bangsat berkelas

oleh Tere-Liye



episode 1



Pesawat badan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London.

Penerbangan tanpa-berhenti menuju Singapura.

Gadis dengan rambut dikuncir, ipad di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar. Silahkan.

“Maaf kalau wawancara ini berkali-kali, berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha untuk menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah.” Sedikit percaya diri nampaknya, senyumnya lebih baik.

Aku mengangguk, aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi, batal, aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah mingguan itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini amat penting, waktunya mendesak, pembaca setia mereka ingin tahu bagaimana cara terbaik menyikapi turbulensi ekonomi dunia saat ini. Apapun akan mereka lakukan untuk mendapatkan materi wawancara, termasuk menyusul ke London. Baiklah, aku memberikan waktu satu jam selepas konferensi. Lagi-lagi wartawan mereka datang terlambat di gedung konferensi, aku sudah menumpang taksi bergegas menuju bandara. Editor itu kembali terburu-buru menelepon, bilang mereka sudah berusaha mengirimkan wartawan terbaik mengejarku ke Eropa, tetapi jadwalku terlalu padat untuk diikuti, tertawa bergurau, “Kau tahu, Thom. Bahkan jadwalmu lebih padat dibanding Presiden.” Demi sopan-santun, aku ikut tertawa, lantas berkata pendek, kita lakukan saja sekarang di atas langit atau lupakan sama sekali.

“Seperti yang mungkin sudah disebutkan dalam email, ini akan menjadi judul di halaman depan.” Gadis dengan blouse putih dan rok hitam konservatif selutut itu masih dengan kalimat pembukanya, “Kau tahu, terus-terang aku sedikit gugup. Bukan untuk wawancaranya, tetapi karena antusias, ya Tuhan, aku baru pertama kali menumpang pesawat besar. Ini mengagumkan. Lebih besar dibandingkan foto-foto rilis pertamanya, berapa ukurannya, paling besar di dunia? Tiga kali pesawat biasa. Dan aku menumpang di kelas eksekutif, teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar satu pesawat denganmu.”

Aku mengangguk, lebih asyik mengamati penampilan ‘kami akan mengirimkan wartawan terbaik’ di sebelahku itu. Bergumam, semoga isi kepalanya secantik penampilannya, ia lebih cocok menjadi pembawa acara keakungan Anda di layar televisi dibandingkan kuli tinta, bergenit ria dengan dandanan dan kalimat, padahal kosong. Apa tadi kualifikasinya? Lulusan terbaik sekolah bisnis? Ada ribuan orang yang memiliki predikat itu—aku bahkan punya dua.

“Sejak kapan kau menjadi wartawan?”

Senyum riang gadis itu terlipat, meski ekspresi wajah terbaiknya tetap menggantung.

“Aku?”

“Ya, sejak kapan kau menjadi wartawan?”

“Dua tahun.” Ia menjawab ragu-ragu.

“Berapa usia kau sekarang?”

“Usia? Eh, dua puluh lima.”

“Ada berapa wartawan di kantormu?”

“Eh?”

“Ya, anggap saja aku yang sedang mewawancarai kau.” Aku menatapnya tipis, mengabaikan pramugari yang penuh sopan-santun berlalu-lalang menawarkan kaviar serta anggur terbaik.

“Hampir tiga puluh.”

“Menarik.” Aku menjentikkan telunjuk, “Dari tiga puluh wartawan di kantor review ekonomi mingguan yang mengklaim terbesar di Asia Tenggara, pemimpin redaksi kalian ternyata memutuskan mengirimkan juniornya yang berusia dua puluh lima dan baru bekerja dua tahun, melakukan wawancara yang katanya paling penting, topik paling aktual, yang judulnya akan diletakkan di halaman depan edisi breaking news. Amat menarik, bukan?”

Wajah gadis itu memerah. Sepertinya aku berhasil menyinggung harga dirinya. Ia terdiam sejenak, meremas jemari, nafasnya tersengal. Boleh jadi, kalau tidak sedang di atas pesawat, dia sudah bergegas meninggalkanku, lupakan wawancara sialan ini. Boleh jadi pula, kalau aku bukan narasumbernya, bukan siapa-siapa, sudah dilemparnya dengan ipad atau sepatu, ia sepertinya belum pernah dipermalukan seperti ini.

Aku mengembangkan senyum, santai melambaikan tangan, “Tentu saja aku begurau. Kau pastilah yang terbaik. Lagipula, aku hanya ingin membuktikan, apakah dugaanku saat bertemu di atas pesawat ini benar, ternyata kau memang jauh lebih cantik saat marah. Namamu, Julia bukan? Mari kita mulai wawancaranya.”



***



Aku tidak terlalu suka bicara di depan ratusan orang—yang satupun tidak kukenal. Berada di tengah pakar, akademisi, penerima hadiah nobel ekonomi, birokrat, atau apalah yang mentereng sekali menyebut latar belakang masing-masing, mulai dari kartu nama hingga basa-basi moderator memperkenalkan, sebenarnya membuatku muak.

Ruangan dipenuhi praktisi keuangan dunia. Pialang, petinggi sekuritas, direktur perusahaan raksasa, CFO, CEO, dan berbagai strata manajerial kunci. Mereka sejatinya adalah srigala berbalut jas, dasi mahal, sepatu mengkilat tidak tersentuh debu, dan diantar dengan mobil mewah yang harganya ratusan kali gaji karyawan hirarki terendah mereka. Buncah bicara tentang regulasi, tata kelola yang baik, tetapi mereka sendiri yang tidak mau diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang penyelamatan dan bantuan global, namun sibuk mengais keuntungan di tengah situasi kacau-balau.

Hanya satu alasan kenapa aku menghadiri konferensi ini, meluangkan satu jam menjadi pembicara, bayarannya mahal. Alasan paling masuk akal bagi seluruh umat manusia.

“Si Om Teroris ini, maaf, aku bosan menyebutnya dengan krisis ekonomi global, subprime mortgage, atau apalah nama binatang itu, terlalu panjang dan mual mendengarnya, setiap hari ada di televisi, koran, radio, internet, bahkan sopir taksi tidak ketinggalan. Aku akan menyebutnya dengan Om Teroris saja. Ada yang keberatan?” Aku memulai sesi pagi dengan santai, bertopang dagu.

Peserta konferensi antar bangsa tertawa.

“Ya, ya, aku tahu di pojok sana keberatan.” Aku pura-pura memasang wajah serius, “Tetapi di dunia dengan sistem ekonomi saling bertaut, tidak ada batas pasar modal dan pasar uang, krisis seperti ini lebih menakutkan dibanding teror dari ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Kita tidak pernah melihat indeks saham terjun bebas seperti hari ini ketika dulu menara WTC dihancurkan, bukan? Bahkan indeks tidak berkedut ketika kapal selam nuklir Soviet memasuki perairan Amerika di era perang dingin. Hari ini, semua orang panik, satu per-satu seperti anak kecil menunggu jatah permen, perusahaan raksasa mendaftar perlindungan kebangkrutan, dan harga surat berharga menjadi sampah, tidak lebih dari harga selembar kertas folio kosong.”

Aku ekspresif menjentik selembar kertas, membiarkannya jatuh dari atas meja.

“Orang-orang kehilangan dana pensiun, jaminan kesehatan menguap, tabungan puluhan tahun, rencana pendidikan. Kita amat tahu, untuk orang-orang seperti kita, inilah teror sebenarnya. Rasa cemas atas masa depan, detak jantung mengeras setiap melihat tukikan grafik harga, potensi kehilangan kekayaan, tidak bisa tidur, bahkan satu-dua eksekutif puncak memilih bunuh diri.”

Peserta konferensi antar bangsa takjim mendengarkan. Aku diam sebentar, meraih gelas air mineral, senang memperhatikan wajah-wajah menunggu mereka.

“Akungnya,” Aku meremas rambutku, menghela nafas, “Om Teroris yang satu ini tidak bisa ditusuk dengan pisau. Presiden kalian, maksud aku Presiden di meja pojok sana bisa dengan mudah mengirim ribuan tentara, pesawat tempur, tank bahkan kapal induk untuk memburu satu orang teroris. Khotbah tentang preventif strike, memberikan rasa aman bagi segenap rakyat, mencegah teror meluas. Sial, Om Teroris yang satu ini bahkan tidak bisa dipegang batang lehernya.”

“Bukan karena dia tidak bisa dilihat, tentu saja muasal kekacauan pasar modal dan pasar uang kita amat terlihat, tidak susah mengurai benang kusutnya. Kita tidak bisa menusuknya, karena kalau itu dilakukan, kita semua di sinilah yang pertama kali tertikam. Kitalah yang terlalu serakah dan kreatif menciptakan pola transaksi keuangan, membiarkan bahkan membuat nilai asset menggelembung tidak terkendali, mengabaikan resiko sebesar Gunung Everest di depan hidung, peduli setan? Sepanjang bonus tahunan terus membumbung, semua fasilitas pesawat jet perusahaan, hotel terbaik, liburan berkelas. Temuan audit dibungkus sebaik mungkin, peringatan awal dianggap angin lalu, dan mulailah kita terbiasa mematut informasi, pabrikasi kemasan, lupa semua ada batasnya. Ketika nilai surat berharga semakin lama semakin menggelembung, harga selembar kertas bisa setara berkilo-kilo emas, padahal sejatinya dia tetap selembar kertas.”

“Kaboom!” Aku mengetuk mik dengan jari—membuat hadirin sedikit tersentak kaget, “Semua meledak, ekonomi dunia remuk, krisis ekonomi global pecah, dalam sekejap menjalar kemana-mana. Bursa New York tumbang, memangkas kapitalisasi dunia milyaran dollar, disusul London, Frankurt, Amsterdam, Paris. Dan hanya butuh sedetik berita mengerikan itu tiba di Bangkok, Singapura, Jakarta, Dubai, Sao Paolo, Sydney bahkan Johannesburg. Semua orang panik, kontrak future harga minyak dan komoditas turun, perdagangan dunia terkulai, perekonomian melambat, banyak negara menyatakan resesi. Bahkan ada yang bergegas menyatakan bangkrut, meminta pertolongan.”

“Hari ini kita sibuk berdiskusi sana-sini, menganalisis, berandai-andai, andai itu tidak dilakukan, andai ada regulasi yang mengatur, tetapi lebih banyak yang berandai-andai, andai lebih dulu menjual lantas memasang transaksi short-selling, andai uang tunai di tangan siap sedia, andai dalam posisi transaksi sebaliknya. Itu akan jadi berkah tidak terkira, berpesta-pora di tengah kerugian massal.”

“Tuan, maaf menyela.” Seorang peserta konferensi tidak sabaran, dengan bahasa Inggris sengau khas Asia Timur, membuat ruangan tertoleh padanya.

“Sesi tanya jawab tersedia di lima belas menit terakhir.” Bergegas moderator, salah-seorang profesor sekolah bisnis ternama, mengingatkan.

“Tidak mengapa. Silahkan.” Aku tidak keberatan, mengangguk.

“Eh?” Moderator itu menatapku.

“Terima kasih.” Peserta itu berdehem, dasinya miring, rambutnya tidak rapi, pasti sedang pusing dengan banyak hal, “Aku pikir, kami tidak akan menghabiskan waktu untuk mendengar lagi cerita seperti sesi akademis dan birokrat sehari penuh sebelumnya. Jauh sekali kami datang hanya untuk mendengar teori-teori, kami lelah, butuh keputusan cepat dan tepat. Tuan, Anda dipuji banyak media sebagai salah-satu penasehat keuangan terbaik, begini sajalah, sejak krisis ini terjadi, frankly speaking, perusahaan kami sudah limbung kiri-kanan, melaporkan kerugian yang menghabisi saldo laba dua puluh tahun, posisi kas negatif, dan klaim pembayaran nasabah hanya menunggu waktu. Apa yang harus kami lakukan? Atau tepatnya, apa yang eksekutif puncak perusahaan bernasib sama seperti kami harus lakukan? Menunggu vonis kematian?”

Gumaman setuju terdengar dari banyak meja.

Aku tertawa kecil, menyikut moderator di sebelah, “Nah, akhirnya bisa dimengerti kenapa aku dibayar mahal sekali untuk menjadi pembicara dalam konferensi ini. Kalian ternyata meminta nasehat keuangan secara gratis. John, jangan lupa kau bantu kirimkan tagihan ke seluruh peserta.”

Peserta konferensi antar bangsa tertawa.

Aku mengusap wajah, menunggu ruangan kembali hening, lantas berkata perlahan, “Kunci solusinya hanya tiga kata: rekayasa, rekayasa, dan rekayasa. Itu saja. Sejak jaman Fir’aun, sejak jaman Xerxes dari Persia, hanya itu solusi menghadapi krisis ekonomi besar. Termasuk bagaimana menyelamatkan uang kalian yang terlanjur terbenam di perusahaan terancam bangkrut.”



*** bersambung



episode 2



Pesawat badan besar melaju cepat meninggalkan London, sekarang sepelemparan batu di atas wilayah penerbangan Myanmar. Penerbangan tanpa-berhenti menuju Singapura.

Tertawa kecil.

“Kau bergurau, aku konsultan keuangan profesional, aku tidak peduli dengan kemiskinan. Yang aku cemaskan justeru sebaliknya, kekayaan. Ketika dunia dikuasai segelintir orang, nol koma dua persen, orang-orang yang terlalu kaya.”

Kami sudah menghabiskan anggur gelas pertama. Pramugari selalu-tersenyum itu barusaja lewat (lagi), menawarkan gelas kedua. Aku menggeleng, selepas mendarat di Singapore, penerbangan lanjutan menuju Jakarta sudah menunggu, aku harus bergegas menuju lokasi klub tinju, aku punya pertandingan penting malam ini.

“Bisa dijelaskan lebih detail?” Gadis dengan predikat ‘kami akan mengirimkan wartawan terbaik’ di sebelahku bertanya.

“Ya, kau bayangkan, ketika satu kota dipenuhi orang miskin, kejahatan yang terjadi hanya level rendah, perampokan, mabuk-mabukan, atau tawuran. Kaum proletar seperti ini mudah diatasi, tidak sistematis dan jelas tidak memiliki visi-misi, tinggal digertak, beres. Bayangkan ketika kota dipenuhi orang yang terlalu kaya, dan terus rakus menelan sumber daya di sekitarnya, mereka sistematis, bisa membayar siapa saja untuk menjadi kepanjangan tangan, tidak takut dengan apapun. Sungguh tidak ada yang bisa menghentikan mereka selain sistem itu sendiri yang merusak mereka.”

Dahi gadis di sebelahku terlipat, belum mengerti juga.

“Kau tidak mengerti ilmu ekonomi?” Aku menyeringai.

Gadis itu tidak setersinggung sebelumnya, “Maksudku, tidak semua pembaca kami memiliki kompetensi pengetahuan ekonomi, ilustrasi lebih sederhana akan membantu mereka.”

“Baiklah. Coba kita misalkan dunia ini hanya sebesar kota. Ada seribu ribu penduduk di dalamnya. Sebagian menjadi petani, perajin, peternak, tukang, sebagian lainnya menjadi pedagang, tentara, semua profesi dan mata pencaharian hidup yang kita kenal. Katakanlah berabad-abad mereka hanya mengenal barter, ikan ditukar gandum, jasa cukur rambut ditukar perbaikan atap rumah, atau seporsi masakan lezat dibarter dengan jahitan baju. Hingga salah seorang jenius, well, kita sebut saja Mister Smith menemukan uang. Kehidupan primitif mereka dengan segera berubah drastis, perekonomian kota kecil itu bergerak maju. Transaksi lebih mudah dilakukan, itu fase pertama muasal kegilaan ini.”

“Sejak uang ditemukan, berbagai teknologi juga ditemukan, era industri datang, sumber minyak, emas, batubara, timah, besi dekat kota mulai ditambang. Tenaga kerja semakin produktif, perhitungan efisiensi produksi dikenal, dan tuntutan atas kemudahan transaksi keuangan meningkat. Mister Smith kembali datang dengan ide mendirikan bank, membuat seluruh penduduk kota terpesona, benar sekali, mereka butuh modal untuk membuat perekonomian melesat lebih hebat. Tetapi mereka ragu-ragu, siapa yang akan percaya dengan selembar kertas? Mister Smith melambaikan tangan, tenang saja, bank akan mencetak setiap lembar uang dengan jaminan cadangan emas. Seratus dollar dijamin sekian satu gram emas, jadi uang tersebut dijamin aman, ada nilai pelindungnya di bank, dan semua orang harus menerima transaksi dengan uang. Penduduk kota semakin kagum. Luar biasa, itu ide yang brilian.”

“Maka, bank mulai mencetak uang dengan jaminan cadangan emas. Sebagai pemanis, Mister Smith menjanjikan bunga untuk setiap orang yang bersedia menyimpan uang di bank. Mulailah, orang kaya berbondong-bondong meletakkan uang, sedangkan yang membutuhkan uang untuk modal usaha, juga datang ke bank dengan janji membayar cicilan ditambah bunga. Kau tahu, salah-satu penemuan klasik Mister Smith yang menjadi dasar ilmu ekonomi modern adalah bunga.”

Aku berhenti sejenak, mengangguk kepada pilot pesawat yang keluar dari kabin, ramah menyapa penumpang, lantas tertawa kecil, bergurau pada salah-satu anak kecil di seberangku yang cemas kenapa Pilot meninggalkan kokpit, “Tenang, Nak, pesawat ini memiliki sistem otomatis handal.”

“Nah, dengan adanya uang dan bank, akumulasi kekayaan mulai terjadi. Di tahun nol, total uang beredar hanya seratus dollar, katakanlah begitu. Di tahun ke sepuluh, total uang beredar di kota melesat menjadi satu miliar dollar. Bagaimana bisa? Karena begitulah sistem perekonomian baru bekerja, begitu canggih melipatgandakan kekayaan. Kau letakkan uang seratus dollar di bank yang dijamin setara satu gram emas, lantas uang itu dipinjam orang kedua, si tukang jahit. Orang kedua ini menggunakannya untuk membeli mesin jahit terbaru pada orang ketiga, si pembuat mesin. Si pembuat mesin punya uang seratus dollar sekarang, hasil menjual mesin, dia bawa uang itu ke bank lagi, ditabung. Jadi berapa uang dalam catatan bank? Dua ratus dollar.”

“Bank lantas meminjamkan uang itu ke orang keempat, si nelayan, si nelayan belanjakan untuk membeli kapal terbaru pada orang kelima, si pembuat kapal. Orang kelima membawa uang seratus dollar itu ke bank, menabungkannya. Begitu terus siklus perbankan yang canggih.”

“Jadi berapa uang seratus dollar itu sekarang dalam catatan bank? Tiga ratus dollar? Kau keliru. Uang itu tumbuh jadi tidak terhingga, semakin banyak yang terlibat dalam mekanisme simpan-pinjam itu, tanpa regulasi bank harus menyisihkan sekian persen sebagai cadangan, maka efek pengalinya berjuta-juta tidak terhingga. Padahal, come on, berapa sejatinya nilai uang yang dijamin oleh cadangan emas? Ya hanya seratus dollar, lantas bagaimana ribuan dollar lainnya? Itu hanya ada di kertas. Benar-benar ada di kertas, dalam catatan bank, dalam catatan kekayaan masing-masing.”

“Perekonomian kota tumbuh tidak terbilang, semua sektor produktif, berlomba-lomba melaporkan keuntungan transaksi. Situasi berjalan aman-aman saja hingga puluhan tahun. Di tahun kesepuluh, uang beredar di seluruh kota menjadi satu milyar dollar, dan situasinya mulai rumit, hanya segelintir orang yang menguasai uang-uang, mereka adalah penduduk super-kaya, yang terus rakus menambah nominal angka kekayaan mereka. Tidak pernah puas.”

“Katakanlah, di tahun itu, ada seribu penduduk kota yang butuh meminjam uang untuk membeli rumah, kita sebut saja ‘kredit rumah’. Uang pinjaman dari bank dibayarkan pada tukang-tukang untuk membuat rumah, dan tukang-tukang ternyata tidak menabung uang itu ke bank, melainkan dibelanjakan keperluan sehari-hari. Bank yang dikuasai segelintir orang kaya berpikir keras, kalau begini caranya, lambat sekali mereka bisa menambah kekayaan, uang itu tidak segera balik ke pundi-pundi bank, tidak ada uang yang bisa diputar lagi, lagi, dan lagi. Tanpa uang, maka sistem bunga tidak bekerja, kekayaan mereka melambat. Mister Smith datang dengan ide lebih cemerlang, dia ciptakan binatang yang disebut securization. Bagaimana caranya? Seluruh kredit rumah itu, jumlahnya ada seribu lembar surat perjanjian kredit, dikumpulkan saja jadi satu, lantas dianggap seperti produk, macam seribu potong tempe atau seribu ekor kambing, lantas dijual ke pemilik uang, penduduk super kaya lainnya, dengan imbalan bunga sekian persen yang dibayarkan setiap bulan plus cicilan. Tidak ada yang tertarik? Gampang, tinggal naikkan bunganya, tambahkan bumbu-bumbu janji semua aman, semua dijamin, kalau ada masalah, rumah-rumah itu bisa jadi jaminan.”

“Ide cerdas! Tentu itu brilian, bank yang tadinya kekurangan uang, dengan cepat kembali punya uang. Banyak malah. Mereka tidak hanya sebagai pemberi pinjaman, tetapi sekarang sekaligus sebagai ‘nasabah’ bagi pembeli aset securization tadi. Ide itu berhasil tidak terkira, dengan uang hasil menjual seribu surat perjanjian kredit, bank leluasa mengucurkan kredit berikutnya ke penduduk kota. Bank menerima pembayaran dari nasabah setiap bulan, uang pembayaran itu untuk mencicil kepada pemegang aset securization. Semua terkontrol, semua baik-baik saja, hingga tanpa disadari aset yang pada dasarnya hanyalah selembar kertas itu menggelembung tidak terkira.”

“Harga properti melesat naik, harga komoditas tidak terkendali, karena juga bermunculan derivatif transaksi keuangan lainnya, Mister Smith menciptakan transaksi future, minyak bumi atau gandum yang dibutuhkan enam bulan lagi, bisa dibeli sekarang, lantas uangnya bisa diputar kemana-mana, menjadi berkali-lipat. Dan boom! Ribuan kredit perumahan tiba-tiba macet total, orang mulai berpikir harga-harga sudah tidak rasional, harga komoditas jatuh bagai roller coaster, dan mulailah kekacauan merambat kemana-mana.”

“Bank tidak bisa menagih kredit ke penduduk kota, sedangkan pemilik aset securization sudah mulai menagih. Panik, penduduk kota panik, si pembuat perahu, si pembuat mesin bergegas ingin mengambil uang di bank, padahal uang itu sudah dipinjamkan ke tukang jahit dan nelayan. Tidak ada uang di bank, hanya catatan pinjam-meminjam. Jaminan emas? Orang lupa kalau itu hanya untuk seratus dollar pertama. Posisi bank terjepit, atas-bawah. Tidak perlu seorang jenius untuk menyimpulkan hanya soal waktu seluruh surat berharga terjun bebas, tidak ada lagi harganya. Krisis aset securization ini merambat kemana-mana.”

“Itulah yang terjadi di kota kecil tadi. Nah, itulah yang terjadi di dunia saat ini. Sama persis. Krisis dunia akibat kredit perumahan. Masalahnya, di dunia yang sebenarnya, nilai akumulasi uang ratusan tahun sejak ditemukan jumlahnya triliunan dollar, tidak terbayangkan. Kau tahu Julia, berapa total hutang negara kita? Hanya seratus dua puluh milliar dollar, kecil sekali dibandingkan akumulasi uang dunia yang berjuta kali lipat, hanya nol, koma nol nol. Dan uang-uang itu hanya dimiliki nol koma dua persen penduduk bumi, yang terus rakus menelan sumber daya. Uang itu butuh tempat bernaung, mereka sudah punya mobil, rumah, berlian, pesawat pribadi, pulau pribadi, membeli hutan jutaan hektar di Afrika, Asia dan Amerika Selatan, maka mereka ciptakanlah berbagai produk keuangan untuk menampungnya, tidak puas mendapatkan lima persen bunga bank, mereka menyerbu ke obligasi dan saham. Tidak puas juga, mereka menyerbu ke komoditas dan transaksi derivatif yang semakin rumit, uang itu seperti ratu lebah yang beranak setiap hari, terus tumbuh, serakah. Uang itu butuh tempat untuk berkembang-biak, persis seperti mutasi genetik tidak terkendali.”

“Padahal kita lupa, semua hanya kertas, bukan? Secara riil, kekayaan dunia tidak berubah sejak uang pertama kali ditemukan, jumlah cadangan emas yang menjamin uang hanya itu-itu saja. Kau tadi bertanya apa? Julia, aku tidak peduli kemiskinan, peduli setan, karena daya rusaknya itu-itu saja, busung lapar, kurang gizi. Tetapi kekayaan, daya rusaknya mengerikan, bahkan karena di dunia ini terlalu banyak uang yang membuat orang tidak peduli wabah, kelaparan, perusakan alam, dan tragedi kemanusiaan lainnya.”

“Kau pernah kuliah ekonomi, bukan?” Aku diam sejenak, menatap wajah gadis di depanku yang matanya membulat, masih mengunyah kalimatku, “Aku pernah, lima belas tahun lalu. Salah-satu dosenku adalah profesor penerima nobel ekonomi. Kau bisa membayangkan, mahasiswa modelku seperti apa di kelas, aku pernah bilang hipotesis bodoh padanya, andaikata dunia ini tetap menggunakan barter, andaikata dunia ini tidak pernah mengenal uang dan bunga, maka dunia boleh jadi akan jauh lebih adil dan makmur. Profesorku tertawa, Thomas, bagi pialang, pengelola danareksa, eksekutif puncak, orang-orang pintar, bagi kalian mahasiswa sekolah bisnis terbaik dunia, kalian pasti akan lebih bersyukur karena uang dan bunga pernah ditemukan. Kami berdebat, sia-sia. Profesor itu ringan melambaikan tangan, kau lupa petuah bijak bapak ekonomi modern, pasar memiliki ‘tangan tuhan’, Thomas. Dia akan selalu membuat keseimbangan, bahkan meski harus meledakkan keseimbangan sebelumnya. Jadi jangan pernah menulis macam-macam di kertas ujian, atau kau tidak lulus di kelasku. Nasehat yang bagus. Sejak saat itu aku tidak peduli omong-kosong kemiskinan, Julia.”

“Apakah kau seorang sosialis?” Gadis di sebelahku akhirnya berkomentar setelah terdiam sejenak.

“Apa aku terlihat seperti sosialis, Julia?” Aku tertawa, menunjuk sepatu mengkilat yang kukenakan.

Gadis itu tidak menggeleng apalagi mengangguk, balas menatapku datar, “Lantas apa pedulimu dengan jahatnya kekayaan. Bukankah kau sendiri hidup dari orang-orang itu. Konsultan keuangan dengan bayaran tinggi? Atau kau jangan-jangan tipikal orang berpendidikan tinggi, pintar, kaya, memiliki pengaruh, tetapi juga sekaligus paradoks dan memiliki kepribadian banyak?”

Aku menatap mata hitamnya, nah, sekarang rasa percaya diri dan harga diri gadis ini sudah sempurna kembali. Ia sepertinya bersiap berdebat banyak hal di luar daftar pertanyaan. Sayangnya aku tidak berselera, aku harus beristirahat sejenak di atas pesawat besar ini sebelum mendarat, jadwal pertarungan pentingku menunggu, rileks melambaikan tangan, “Jika kau tertarik, kita diskusikan hal itu di lain kesempatan, Julia, mungkin makan malam yang nyaman. Tetapi kita lihat dulu akan seperti apa hasil wawancara ini di majalah kalian. Semoga kemampuan menulis kau sekinyis penampilan kau sekarang. Selamat malam.”

Gadis itu tidak dapat menahan ekspresi gregetan, kesal. Boleh jadi kalau tidak sedang di kelas eksekutif penerbangan maskapai internasional, dengan pilot masih asyik beramah-tamah menyapa penumpang, ia akan menampar pipiku.



***bersambung







episode 3



“Kau gila, hampir sebagian dari kita memang datang ke klub masih dengan pakaian rapi dan dasi langsung dari tempat kerja, tapi tidak ada yang datang kemari dengan tas bagasi, langsung dari London.” Theo, teman dekatku, orang yang pertama kali mengenalkanku dengan klub menyergah.

“Aku tidak punya pilihan, Theo. Jadwal konferensi itu sudah disusun sejak sebulan lalu, juga jadwal sialan ini. Aku harus menunaikan keduanya sekaligus.” Aku melepas kemeja dengan cepat, menarik sembarang kaos lengan pendek dari koper yang kubawa sejak keluar dari hotel konferensi.

“Kau sudah istirahat? Di pesawat misalnya.” Theo melemparkan sepasang sarung tinju.

Aku tertawa, “Bahkan di langit masih saja ada yang menggangguku, Theo. Ada wawancara. Dan sialan, seharusnya aku sudah sampai di sini dua jam lalu, tetapi petugas imigrasi bandara menahanku.”

“Petugas imigrasi?”

“Siapa lagi? Pemeriksaan rutin mereka bilang.”

“Mana ada pemeriksaan rutin untuk WNI, kecuali kau tersangkas kasus?”

“Mana aku tahu. Dua jam yang sia-sia.” Aku mendengus kesal.

Theo menggeleng prihatin, menatapku cemas, “Dengan semua kesibukan ini, kau tidak akan punya kesempatan, Thomas. Aku dengar, Rudi si penantang bahkan sengaja mengambil cuti tiga hari untuk menghadapi pertarungan ini. Tadi sempat kulihat wajahnya sangar, dan lihatlah kau, dengan wajah lelah, pupil mengecil. Kau bisa meminta penundaan waktu, itu hak yang ditantang.”

Aku menggeleng, tidak ada penundaan, semua anggota klub menunggu pertarungan ini. Bahkan ruangan pertarungan belum pernah dipenuhi oleh penonton seperti malam ini. Suara dan teriakan antusias mereka terdengar hingga ruang ganti tempatku sekarang bersiap-siap. Aku masih punya waktu setengah jam, di sana masih bertarung dua anggota klub lain, saling menjual pukulan.

“Selamat malam, Thomas.” Seseorang masuk ke ruang ganti, menepuk lemari baju, tertawa lebar.

Aku dan Theo menoleh.

“Kupikir kau tidak akan datang. Terlalu takut menghadapi penantang paling besarmu, mungkin.”

Aku tidak menjawab. Theo mengacungkan tangannya, “Kau tidak boleh berada di sini, Randy.”

“Ayolah, aku hanya menyapa salah-satu petarung terbaik klub.” Randy, salah-satu anggota senior klub masih tertawa lebar, “Beruntungnya malam ini aku tidak meletakkan uang taruhan pada kau, Thomas. Aku tidak punya ide akan bertahan berapa ronde kau dengan tampang kuyu seperti ini. Kau baru pulang dari London, bukan?”

Gerahamku mengeras, tidak balas berkomentar.

“Ngomong-ngomong, berapa lama kau tertahan di bandara? Dua jam?”

Gerakan tanganku yang memastikan sarung tinju telah terpasang sempurna terhenti, aku menoleh, berpikir cepat, berseru galak, “Dari mana kau tahu aku tertahan di sana dua jam?”

Randy terkekeh, “Seharusnya aku menahan kau lebih lama lagi, Sobat. Tiga-empat jam misalnya, tetapi kalah WO membuat uang taruhan batal, dan itu jelas tidak lebih seru dibandingkan melihat Thomas yang hebat tersungkur di lantai dengan wajah berdarah-darah.”

Aku melompat, tanganku bergerak cepat hendak memukul Randy—sekalian menguji apakah sarung tinjuku sudah sempurna mencengkeram, “Dasar bangsat, ternyata kau yang sengaja menghambatku di loket imigrasi.”

Theo lebih dulu menahanku, berbisik, “Simpan pukulan kau untuk Rudi. Jangan sia-siakan.”

Aku tersengal, berusaha mengendalikan diri, tentu saja urusan ini bisa dimengerti. Randy adalah pejabat tinggi di kantor imigrasi, dia punya kekuasaan untuk melakukannya.

“Kenapa kau harus marah, Thom. Semua sah dan boleh-boleh saja dalam pertarungan, bukan?”

“Tutup mulut kau.” Aku berseru marah.

Randy justeru kembali tertawa ringan.

Suara teriakan di ruangan pertarungan terdengar kencang hingga ruang ganti, sorakan-sorakan menyuruh bangkit kembali, sepertinya ada salah-satu petarung yang terkena pukulan telak.

Tiga tahun lalu, saat pertama kali Theo mengajakku pergi ke ‘klub’, aku hanya menggeleng malas. Itu bukan kebiasaanku, aku tidak suka menghabiskan waktu dengan nongkrong, minum, mendengar musik, melirik-lirik setelah pulang kerja. Theo santai mengangkat bahu, bilang itu juga bukan kebiasaannya. “Ini klub yang berbeda, Thom. Kau pasti suka.” Maka setengah terpaksa, daripada bosan menatap jalanan macet dari balik jendela tebal ruangan kantorku, aku ikut.

Menakjubkan, belasan tahun tinggal di Jakarta, aku tidak pernah tahu kalau kota ini ternyata punya ‘klub bertarung’ seperti yang kusaksikan di film terkenal itu. Theo mengajakku ke salah satu gedung perkantoran, di lantai enam, dengan akses lift private langsung ke sana, bukan partisi ruangan kantor, meja penerima tamu, dan sebagainya yang ketemukan, melainkan ruangan luas dengan lingkaran merah mencolok di tengahnya. Beberapa anggota klub sedang berseru-seru, menyemangati, wajah-wajah tegang, wajah-wajah semangat, menonton dua orang yang saling bertinju persis di lingkaran merah.

Aku menelan ludah, Theo benar, aku pasti suka. Ini sungguh keren, klub yang berbeda. Theo membiarkanku terpesona, dia sudah asyik menyapa anggota klub lain, sambil melambai memesan dua minuman ringan untuk kami.

“Ini klub tertutup dan rahasia, Thom. Tidak banyak yang tahu. Anggotanya hanya boleh mengajak teman yang dia percaya kemari. Dan kau beruntung punya teman Theo, salah-satu penggagas awal klub ini, nama kau bersih dan terjamin.” Itu penjelasan Randy—dulu dia masih ramah padaku. “Kami berkumpul tiap akhir minggu, dengan jadwal sama seperti malam ini, menonton pertarungan. Di luar latihan setiap hari buat siapa saja yang mau datang. Lumayanlah mengusir penat setelah pulang kerja, apalagi jika jadwal kau yang bertarung, itu sungguh refreshing yang hebat, Sobat.”

Aku mengangguk, bersepakat—dulu aku masih sering sependapat dengan Randy, melihat dua petarung saling pukul, menghindar, darah menetes dari luka di pelipis secara live sudah membakar seluruh penat, apalagi bertarung langsung, itu memicu adrenalin berkali-kali lipat.

“Tidak ada yang peduli latar belakang kau siapa, Thom. Itu aturan main klub.” Theo berbisik, kami sudah berdiri di pinggir lingkaran merah, bergabung dengan wajah-wajah penonton yang berteriak sampai serak menyemangati, “Randy bekerja di kantor imigrasi, kudengar dia baru mendapat promosi minggu lalu, jadi kepala imigrasi bandara. Erik, kau lihat di sana, dia manajer senior di bank besar.”

Aku mengumpat dalam hati, tentu saja aku kenal Erik, baru tadi pagi kami rapat bersama, bertengkar tentang ruang lingkup jasa konsultansi yang dibutuhkan corporate bank mereka.

“Rudi, nah, yang sedang sangar bertarung adalah petugas penyidik di kepolisian atau komisi apalah, aku tidak tahu persis, tidak ada yang peduli. Di sini ada eksekutif muda, karyawan, dokter, pesohor, penulis, orang-orang pemerintah, pengusaha, itu yang berdiri di pojok bersama teman-temannya, anak salah-satu petinggi partai. Di sini, berkumpul orang-orang yang menyukai tinju, di luar itu, pekerjaan, latar belakang, siapa kau, lupakan. Meski sebenarnya hampir seluruh anggota klub tahu satu sama lain.”

Aku masih sibuk menyapu wajah-wajah seluruh ruangan.

“Dulu kami hanya amatiran. Ada enam orang pencetus ide. Tanpa jadwal, anggota klub yang mau bertarung tinggal menuju lingkaran merah, menantang siapa saja yang habis dimarahi bos, atau kesal dengan bawahan, atau mobil mewahnya habis tersenggol. Meski amatiran, selalu seru, satu-dua pulang dengan wajah lebam, mereka terpaksa berbohong pada istri masing-masing, bilang terjatuhlah.” Theo tertawa, “Semakin kesini, kami membayar pelatih profesional, membuat jadwal, melengkapi ruang ganti, bartender, dan seluruh keperluan seperti sasana tinju. Dan anggota klub bertambah dengan caranya sendiri, hanya boleh mengajak orang yang paling dipercaya, serta direkomendasikan anggota lama, kupikir sekarang anggota klub sekitar tiga puluh orang. Cukup banyak untuk membuat kau menunggu dua bulan hingga jadwal bertarung kau tiba, tapi itu bukan masalah, lebih banyak yang menjadi anggota klub hanya untuk menonton pertarungan, bertaruh, bersenang-senang. Atau sekadar mencari tempat memukuli sansak, latihan.”

Ruangan klub dipenuhi tepuk-tangan, seruan-seruan salut, kemeja dan dasi penonton kusut karena kesenangan, di tengah lingkaran merah, Rudi baru saja membuat lawannya tersungkur. Aku menelan ludah. Theo ikut bertepuk tangan, berbisik, “Dia petarung nomor satu di klub. Jangan coba-coba menantanganya.”

Wajah sangar Rudi sepanjang pertarungan terlipat, dia sudah membantu lawannya berdiri, tertawa dengan lawannya, saling peluk. “Satu-dua pertarungan bisa sangat emosional, Thom. Tetapi ini adalah klub dengan respek di atas segalanya, kita hanya bermusuhan di dalam lingkaran merah, di luar itu semua anggota klub adalah teman baik. Semua aktivitas pertarungan dirahasiakan, bahkan besok lusa kalau kau bertemu dengan anggota klub di manalah, tidak akan ada yang membahas kejadian semalam.”

Aku mengangguk, masih tercengang dengan banyak hal. Saat Theo mengajakku pulang pukul dua belas malam, pertarungan terakhir sudah selesai, aku memutuskan menjadi anggota klub.

“Selamat bergabung, Thom. Kalau kau mau, minggu depan kami bisa menjadwalkan pertarungan eksebisi, kau mau?” Randy yang menerima kartu kredit pendaftaranku mengedipkan mata.

Aku bergegas menggeleng. Itu ide buruk.

“Baiklah, minggu depan, pertarungan kedua. Tiga ronde, masing-masing lima menit, melawan, eh, Erik. Ya, Erik, dia sudah sejak sebulan lalu menuntut jadwal bertarung. Nah, kau harus bersiap-siap.” Randy tidak peduli, dia tertawa lebar.

Itu kejadian tiga tahun lalu. Dan dengan segera aku menjadi bagian ‘klub bertarung’. Adalah Erik lawan pertamaku. Kalian bayangkan, seseorang yang tidak pernah bertinju, tidak pernah menguasai teknik bela diri apapun, memasuki lingkaran merah dibawah tatapan dan seruan penonton, aku gugup, meski Theo sudah memberikan kursus selama tiga sesi, setiap pulang kerja, itu tidak cukup. Erik membuat pelipisku robek, berdarah, dia membuatku tersungkur di ronde ke tiga, persis saat lonceng berdentang.

“Anggap saja luka kau itu sebagai ganti rapat tadi siang yang menyebalkan, Thom. Kau seharusnya menyetujui presentasiku, bukan membantainya.” Erik menyeringai, membantuku berdiri.

Kakiku gemetar, entah sudah seperti apa wajahku, dihabisi oleh pukulan terbaik Erik.

“Ini hebat, Sobat. Untuk orang yang baru pertama kali bergabung dan langsung bertarung, kau membuat rekor.” Randy tertawa senang, membantu melepas sarung tinjuku, memberikan minuman segar, “Kau orang pertama yang bertahan hingga ronde ketiga.”

Theo hanya nyengir, menatap wajah lebamku. Sedangkan belasan anggota klub lainnya menepuk-nepuk bahu, bilang selamat bergabung, menjulurkan tangan, berkenalan, memuji pertarungan seru barusan.

Terlepas dari kondisiku yang babak belur. Ini sungguh hebat. Aku tidak pernah merasakan antusiasme, semangat, tegang, atau apalah menyebutnya saat bertarung, saat mengirim pukulan, dan saat menerima pukulan bertubi-tubi. Rasa-rasanya seluruh tubuhku meledak oleh ekstase kesenangan. Sejak malam itu, pertarungan pertamaku, aku memutuskan menjadi petarung. Tiga tahun berlalu, lebih dari belasan kali aku menghadapi anggota klub lain, dan hanya itulah pertama kali dan untuk terakhir kali aku tersungkur, sisanya jika tidak menang, kami sama-sama masih berdiri gagah hingga lonceng bel ronde terakhir berbunyi.

Aku tumbuh menjadi petarung hebat. Aku membalas Erik di pertarungan setahun kemudian, bahkan aku membuat Randy, tersungkur tiga bulan lalu. Satu-satunya petarung klub yang tidak pernah kukalahkan adalah Rudi, dua kali kami bertarung, dua kali pula berakhir seri.

“Jadwal kau sekarang, Thom.” Seseorang memukul pintu ruang ganti.

Membuat wajah kesalku, wajah tenang Theo, dan wajah menyebalkan Randy tertoleh.

“Bergegas, Thom. Mereka sudah tidak sabaran menunggu pertarungan ini sejak tadi. Satu dua malah sudah di klub sejak pukul empat sore.”

Theo yang mengangguk, bilang segera menuju lingkaran merah.

“Kau akan tersungkur kali ini, Sobat.” Randy masih sibuk mengoceh.

“Thom akan mengalahkan Rudi.” Theo yang menjawab datar, “Sama seperti mengalahkan kau tiga bulan lalu. Aku bertaruh untuknya.”

Randy melambaikan tangan, “Itu hanya kebetulan. Kalian curang, sengaja mengerjai, membuatku mulas saat bertarung. Kali ini kau tidak punya kesempatan.”

Theo mengacungkan tinjunya, menyuruh Randy menjauh.

Aku tetap tidak menjawab, melangkah memasuki ruangan pertarungan.

“Tidak banyak bicara kau sekarang, Sobat.” Randy terkekeh, “Catat ini, kalau kau berhasil mengalahkan Rudi malam ini, akan kupenuhi permintaan kau, apa saja, bahkan jika itu termasuk meloloskan penjahat kelas kakap di gerbang imigrasi bandara.” Teriakan provokasi Randy terdengar di belakangku.

Aku sudah tidak mendengarkan, terus menuju pusat perhatian penonton. Beberapa anggota klub berseru-seru, menepuk-nepuk bahuku, menyemangati, bilang kau harus menang, Thom, habisi dia, Thom. Ruangan klub penuh, beberapa orang tidak kukenali—selalu menjadi saat yang tepat mengajak anggota baru ketika pertarungan penting berlangsung. Antusiasme pertarungan memenuhi setiap jengkal ruangan. Dan di lingkaran merah yang diterangi lampu sorot, berdiri gagah penantangku.

Rudi si boxer sejati klub.



***bersambung



episode 4



Hampir pukul satu dinihari. Setelah mandi, berganti pakaian tidur, saatnya beristirahat.

Badanku remuk lepas pertarungan.

Sayangnya, suara dering menyebalkan telepon tiba-tiba memenuhi langit-langit kamar. Aku reflek menyambar bantal, menutup telinga sambil menyumpah, berusaha mengabaikan, melanjutkan tidur.

Tidak sesuai harapan, aku mendengus mengkal, si penelepon pasti tidak pernah mendapatkan pelajaran etiket, nada panggil sekian kali, itu artinya yang bersangkutan tidak mau menerima, sibuk, tidur, tidak ada di tempat atau alasan logis lain yang bisa diterima akal sehat ras manusia. Siapapun penunggu meja depan hotel mewah malam ini, besok-lusa akan menerima komplain tanpa ampun yang pernah ada.

Aku melempar bantal, bersungut-sungut, menyadari dua hal. Satu untuk telepon sialan ini tidak akan berhenti kalau aku tidak mengangkatnya, dua untuk bahkan menginap di kamar terbaik, hotel berbintang enam sekalipun, suara dering telepon di kamar selalu saja standar, mendengking-dengking berisik. Tidak adakah manajer keramah-tamahan kelas dunia punya ide mengganti nada dering dengan irama lagu jazz atau yang lebih ramah didengar, atau sekalian menyediakan opsi pengaturan dengan nada getar atau beep kecil. Mereka sepertinya lebih sibuk meletakkan bebek-bebekkan kuning di kamar mandi, buku petunjuk wisata kota penuh iklan atau ide sampah macam surat selamat datang yang ditandatangani massal. Atau salahku pula, mengapa tidak mencabut kabelnya sebelum tidur.

“Maaf, Pak—“

“Kau tahu ini pukul berapa, Shiong?” Sialan, aku mengenali suaranya.

“Eh? Pukul—“

“Ini lewat tengah malam, Shiong. Bukankah aku tadi berpesan tolak semua telepon ke kamarku.” Aku berseru marah.

“Maaf, Pak. Ini mendesak.”

“Persetan, bahkan besok dunia tenggelam oleh air bah Nabi Nuh.” Aku mengutuknya, bersiap menumpahkan kosa-kata makian beradab yang kumiliki, urung, terlanjur pintu kamarku diketuk.

Apalagi? Aku menoleh.

“Ada yang memaksa bertemu Bapak. Aku sudah bilang Bapak perlu istirahat, mereka memaksa naik ke atas. Aku tidak bisa menahannya, tidak ada petugas yang berani menahannya, Pak. Aku harus memberitahu Bapak, setidaknya sebelum mereka tiba.” Shiong bergegas menjelaskan, dengan intonasi hasil didikan keramah-tamahan kelas dunia belasan tahun.

Baiklah. Aku meletakkan gagang telepon. Beranjak menuju pintu kamar lebih karena ingin tahu siapa yang mendatangiku malam-malam.

“Selamat malam, Thomas.”

Hanya ada dua orang yang berdiri di depan pintu. Satu orang kukenali, satunya tidak.

“Kami sejak empat jam lalu mencari kau.” Tersenyum lelah, “Kebiasaan kau yang jarang tinggal di rumah, memilih menginap di hotel menyulitkan ka—”

“Langsung saja, apa keperluan kalian?” Aku tidak punya waktu mendengar basa-basi.

“Sudah tersambung, Pak.” Orang yang tidak kukenali berbisik, menyerahkan telepon genggam.

Orang yang kukenali mengangguk, menerima telepon genggam itu, lantas memberikannya padaku, “Ada seseorang yang ingin bicara dengan kau, Thomas. Situasinya genting sekali.”

Siapa? Aku ragu-ragu menerima telepon genggam itu.

“Hallo, Tommi.”

Suara tua, terdengar serak dan bergetar, suara yang justeru seketika membuat kemarahanku kembali memuncak.

“Jangan, jangan ditutup teleponnya dulu Tom.” Terbatuk sebentar, “Aku tahu kau masih membenciku. Tetapi aku tidak punya pilihan, Nak. Aku harus memberitahu kau.”

“Sungguh jangan tutup teleponnya dulu, Tommi. Aku tahu kau tidak peduli lagi denganku, kau juga tidak akan peduli kalau kuberitahu rumah orang tua ini sudah dikepung, satu peleton polisi berkumpul di halaman rumah, mereka seperti akan menangkap teroris saja. Tetapi, Tante kau, Tommi, kesehatannya memburuk sejak berita ini dimuat di koran-koran, dan empat jam lalu saat petugas berdatangan, memeriksa banyak hal, memasang barikade memastikan aku tidak lari, dia tidak kuat lagi, jatuh pingsan. Datanglah, Nak. Temui Tante kau, sebelum jatuh pingsan, dia berkali-kali menanyakan kau, menatap pigura foto saat kau masih kecil dan bersama keluarga besar kita.” Terbatuk sebentar.

“Maafkan orang tua ini yang mencarimu malam-malam, Nak. Semoga kau tidak semakin membenciku. Selamat malam.” Sambungan telepon telah dimatikan.

Lorong kamar hotel terasa lengang.

“Bagaimana?” Orang yang kukenali bertanya setelah aku hanya diam satu menit.

Aku meremas jemari. Mengembalikan telepon genggam.

“Seberapa serius?” Aku mengeluarkan suara.

“Yang mana? Situasi di rumah? Atau Keadaan Tante kau?” Orang yang kukenali tertawa prihatin.

“Dua-duanya.” Aku menghela nafas.

“Buruk. Dua-duanya buruk, Thom, apalagi situasi di rumah, kau pastilah tahu, hanya soal waktu wartawan mulai berdatangan, memastikan penangkapan besar. Mungkin lebih baik kita bicarakan di mobil, waktu kita amat terbatas. Sekali mereka memutuskan menahan Om kau, kacau balau semua urusan. Kau ikut dengan kami?”

Aku terdiam.

“Ayo, Thomas, putuskan.”

Aku akhirnya mengangguk, “Berikan waktu satu menit untuk berganti pakaian.”



***

Mobil melesat kencang. Jalanan Jakarta lengang, pukul dua dini hari, jika nekad kalian bisa memacu kecepatan hingga 120 km/jam di jalan protokolnya.

“Kau mengikuti berita-berita?”

Aku mengangguk. Duduk di kursi belakang, mendengarkan penjelasan.

“Maka lebih mudah menjelaskannya. Bagai raja catur yang dikepung banyak musuh, Om Liem terdesak. Seminggu lalu otoritas bank sentral sudah memberikan peringatan ketiga untuk bank miliknya, dan tadi siang, sialnya mereka mengumumkan kalau bank milik Om Liem tidak bisa menutup kliring antar bank. Itu membuat kepanikan, padahal kau tahu, hanya kurang lima milliar saja. Mereka umumkan atas nama transparansi. Kau tahu akibatnya, saham Bank Semesta dihentikan perdagangannya di bursa, suspended. Nasabah panik, antrian panjang terbentuk di setiap cabang tadi sore. Dan di tengah krisis dunia, sedikit saja informasi negatif, semua orang panas-dingin.” Orang yang duduk di sebelahku menghela nafas.

“Aku belum tahu soal kalah kliring.” Aku bergumam.

Sopir sepertinya tidak mengurangi kecepatan, mobil meliuk menaiki fly over.

“Tentu saja belum. Kau baru pulang dari London tadi sore bukan? Beruntung ini hari Jum’at, jadi kita semua punya waktu dua hari untuk menghadapi nasabah yang panik Senin lusa. Situasinya sudah kacau balau, Thom. Jika rush terjadi, semua nasabah berbondong-bondong menarik tabungannya, Bank Semesta pasti kolaps, bahkan seluruh aset dijual, seluruh harta Om Liem digadaikan, tetap tidak akan cukup. Come on, semua uang telah dipinjamkan ke pihak ketiga, bagaimana mungkin kau menarik uang dari mereka dengan cepat untuk mengembalikan tabungan nasabah. Dan situasi semakin rumit, karena kau pastilah sudah tahu dari berita-berita di media massa, penyidik kepolisian dibantu otoritas bank sentral sejak beberapa bulan memeriksa Bank Semesta. Urusan ini kapiran, seperti halnya kau membenci Om kau, aku juga tahu kalau terlalu banyak transaksi tidak bisa dijelaskan di bank itu. Enam tahun menguasai bank itu, Om Liem terlalu ambisius, tidak hati-hati, menggampangkan banyak hal, dan melanggar begitu banyak regulasi demi pertumbuhan bisninya.” Orang yang duduk di sebelahku itu kembali menghela nafas.

“Kita sungguh tidak punya waktu hingga Senin lusa menghadapi polisi yang mengepung rumah, Thom, bahkan hanya karena Tante kau masih pingsanlah, mereka menahan diri belum memborgol Om Liem. Cepat atau lambat, besok atau lusa, wajah Om Liem akan terpampang besar di surat kabar, menjadi headline. Pemilik bank besar dan imperium bisnis raksasa telah tumbang.”

Aku menelan ludah. Menatap deretan gedung tinggi dari atas jalan layang.

“Bukankah dia punya banyak kenalan orang penting dan berkuasa untuk menyelamatkan bank itu?” Akhirnya berkomentar.

Orang yang kukenali tertawa masam, “Dia punya lebih banyak lagi musuh dan orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari kolapsnya Bank Semesta, Thom. Berebut atas aset berharga yang dijual murah. Dia sudah terdesak. Kabar terakhir yang kuterima, tapi ini off the record, pejabat bintang tiga kepolisian, petinggi kejaksaan serta salah-satu deputi bank sentral terlibat langsung atas penyidikan Bank Semesta. Semangat sekali mereka bekerja, seperti tidak ada kasus korup kroni-kroni mereka yang bisa diurus. Terlalu banyak misteri dalam kasus ini sejak peringatan pertama dari otoritas. Astaga, Thom, hanya kalah kliring lima milliar, rusuhnya sudah seperti kalah kliring lima trilliun. Buat apa coba?”

“Itu sudah tugas mereka. Pengawasan.” Aku menjawa pelan.

“Omong kosong, Thom. Puluhan tahun aku menjadi orang kepercayaan Om Liem, puluhan tahun mengendalikan bisnisnya, dalam beberapa hal, aku juga sepakat dengan kau, membenci cara dia berbisnis, tetapi kasus Bank Semesta ini terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak misteri. Seolah ada hantu masa lalu yang memang sengaja mengambil alih seluruh keberuntungan Om Liem, membuat skenario, bersiap menusuk dari belakang. Dan itu benar, sekali Bank Semesta tidak terselamatkan, seluruh kekayaan keluarga Om Liem habis. Bukankah kau termasuk salah-satu ahli warisnya, Thom?”

“Aku tidak peduli urusan itu.”

“Tentu saja kau harus peduli, kau tidak sekadar mewarisi harta benda, Thom. Kau juga otomatis mewarisi hutang-hutang.” Orang di sebelahku tertawa prihatin, bergurau.

Aku tidak menjawab. Mobil yang kami tumpangi sudah berbelok tajam, menuju salah-satu area paling elit di Jakarta.



***bersambung





episode 5



Mobil merapat ke halaman rumah yang sebenarnya luas—namun terasa sempit dengan pemandangan yang ada. Dua mobil taktis polisi terparkir, beberapa mobil lain yang entah milik siapa, ditambah dengan satu mobil ambulans yang merapat persis di depan pintu masuk. Belasan polisi berdiri mengawasi siapa saja yang keluar masuk pintu depan, dengan senjata lengkap di tangan. Aku mengeluh dalam hati, terlepas dari bisnis mereka yang menggurita, penghuni rumah ini hanya pasangan sepuh yang tinggal dengan pembantu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada penjaga bayaran. Mereka tidak akan melawan.

Beberapa perawat terlihat sibuk menurunkan sesuatu dari ambulans.

Aku melintasi ruang tamu, langsung menuju ruangan yang biasa digunakan Om Liem dan Tante beristirahat. Satu-dua petinggi bank dan perusahaan milik Om Liem duduk di ruang tengah, wajah kalut, berbicara pelan satu sama lain. Empat petugas polisi sedang mengeluarkan perangkat komputer dan dokumen dari ruangan yang biasa digunakan Om Liem bekerja di rumah, petugas mengenakan seragam seolah ada bom di dalam kardus-kardus dokumen serta bukti lain yang mereka gotong keluar.

Aku menghela nafas pendek, ada yang lebih mendesak, Tante Liem.

Pintu kamar langsung ditutup saat aku masuk.

Pemandangan yang suram.

Tetapi kabar Tante tidak seburuk yang kubayangkan. Tante terbaring di ranjang besar, Dokter berdiri di sebelahnya, dibantu dua perawat, berusaha memasangkan infus dan belalai selang lainnya.

“Akhirnya kau datang juga.” Suara serak Om Liem lebih dulu menyapa sebelum aku menyapa Tante.

Aku mengangguk—membiarkan dia memelukku.

“Duduk dekatku, Tommi.” Itu suara Tante, memanggilku.

“Kapan Tante siuman?” Aku menelan ludah, menatap wajah yang dulu terlihat segar dan menyenangkan berubah jadi pucat dan cekung hanya dalam waktu sebulan sejak kasus Bank Semesta menggelinding.

“Lima belas menit lalu.” Dokter yang menjawab.

Aku mengangguk, meraih tangan Tante Liem.

“Semua sudah berakhir, Tommi.” Tante menatapku lamat-lamat, “Situasi tidak akan mungkin lebih buruk lagi, bukan? Jadi aku tidak akan pingsan lagi, Nak. Itu kabar baiknya.”

Aku menatap getir wajah Tante, matanya berkaca-kaca.

“Mereka hanya memberikan waktu sebentar.” Om Liem menjelaskan perlahan, berdiri di sebelahku, “Jika Tante kau sudah membaik, sudah siuman, mereka akan membawa orang tua ini pergi ke penjara. Itu berarti hanya tinggal beberapa menit lagi.”

“Apakah tidak ada lagi orang yang bisa membantu?” Aku menoleh. Meski aku selama ini membencinya, melihat wajah kuyu Om Liem di hadapanku itu, sambil menyentuh tangan Tante yang dingin, aku banyak berubah pikiran.

Om Liem menggeleng, tertawa suram.

“Bukankah Om teman dekat dengan pejabat partai yang berkuasa? Menteri-menteri? Atau bahkan Presiden? Atau kolega bisnis, bukankah mereka bisa bantu menyelamatkan Bank Semesta?” Aku menyebut daftar kemungkinan.

“Kau tidak mendengarkan Tante kau, semua sudah berakhir, Tommi. Tidak ada yang mau dekat-dekat dengan situasi buruk seperti ini. Alih-alih, kau yang dituduh bersekongkol. Perintah penangkapan sudah efektif, polisi yang berjaga di ruang depan membawa surat perintah.”

Ruangan lengang, semua kepala tertunduk.

Aku menelan ludah, “Bagaimana dengan Shinpei, rekan bisnis selama puluhan tahun? Bukankah dia akan senang hati membantu?”

Om Liem menggeleng, “Group mereka juga dalam kesulitan, aku sudah menelepon Shinpei, bilang situasi buruk ini, dia hanya bisa ikut prihatin, tidak bisa membantu.”

Aku menghembuskan nafas. Menatap wajah empat perawat yang menunggu perintah. Dokter yang berdiri takjim, prihatin, dan beberapa petinggi perusahaan Om Liem yang balas menatap kalut, tidak bersuara, tidak punya ide harus bagaimana.

“Aku tahu kau tidak akan pernah mau mendengarkan orang tua ini, Tommi. Tetapi kali ini, tolong urus Tante kau, adik-adik sepupu kau selama aku di penjara. Pastikan mereka baik-baik saja.” Suara serak Om Liem memecah lengang.

Astaga? Aku menelan ludah.

“Sayangnya kami tidak punya anak laki-laki. Kaulah satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar kita. Apapun yang tersisa dari bisnis ini, kaulah yang paling pantas melanjutkan. Senin, otoritas bank sentral akan menutup operasi seluruh cabang Bank Semesta. Senin pula, aku akan menanda-tangani surat pernyataan akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak sepeser pun uang mereka akan dimakan orang-tua ini. Bahkan jika itu termasuk melego bisnis properti, otomotif, seluruh perusahaan kita.” Om Liem menyentuh tanganku.

Ruangan semakin senyap.

“Kau pernah masuk penjara, Ram?” Om Liem menoleh pada orang yang menjemputku di hotel, orang kepercayaannya di induk perusahaan, tertawa getir, “Aku pernah, Ram. Saat usiaku dua puluhan. Aku masuk penjara selama enam bulan. Bukan masuk penjaranya yang membuatku berkecil hati, melainkan saat aku di penjara, Papa dan Mamanya Thomas meninggal, dan sejak hari itu, Thomas membenciku.”

“Hentikan!” Aku menyergah kasar, mataku panas.

Semua kepala di ruangan terangkat, Tante menatapku.

“Hentikan omong-kosong ini.” Aku tersengal, berusaha mengendalikan nafas, “Tidak akan ada yang masuk penjara malam ini.”

“Ini bukan omong-kosong, Tom. Tidak ada lagi jalan keluar.” Om Liem menatapku datar.

“Kau diam! Biarkan aku berpikir sebentar.” Aku meremas rambutku, berusaha mencerna banyak hal yang terjadi sejak konferensi di London, klub bertarung, dan rumah besar Om Liem.

“Apakah polisi di luar tahu kalau Tante sudah siuman?” Aku bertanya pada orang-orang di dalam kamar.

Dokter menggeleng, “Belum ada yang memberitahu mereka.”

Itu kabar bagus, aku mengepalkan tinju.

“Apakah kondisi Tante stabil?” Aku mendesak memastikan, waktuku terbatas.

Dokter mengangguk.

“Baik, dengarkan aku!” Aku meminta perhatian seluruh orang yang berada di dalam kamar, mataku menatap tajam ke setiap orang, “Kalian semua akan menutup mulut hingga semua urusan selesai.”

Wajah-wajah bingung.

“Kau, ya, kau segera ambil ranjang darurat dari ambulans!” Aku mengacungkan telunjuk pada salah-satu perawat.

“Buat apa?” Dokter memotong perintahku, bingung.

“Segera lakukan, Dok. Suruh dua perawat kau bergegas.” Aku berseru, “Bukankah kau sudah hampir dua puluh tahun menjadi dokter keluarga ini? Bukankah kau dulu salah-satu anak-anak yang disekolahkan Om Liem? Demi semua itu, laksanakan perintahku.”

Dokter menelan ludah. Patah-patah menyuruh dua perawatnya.

“Bilang ke polisi di luar, kondisi Tante Liem semakin parah.” Aku menarik salah-satu perawat itu sebelum keluar dari ruangan, “Kalau mereka bertanya detail, jangan dijawab, dan jangan pernah biarkan mereka mendekati pintu kamar ini. Kau mengerti?”

Perawat itu mengangguk—meski masih dengan wajah bingung.

“Apa, apa yang sedang kau lakukan, Tom?” Om Liem bertanya gugup.

“Menyelamatkan seluruh keluarga ini. Apalagi?” Aku berseru cepat, “Kau, ya kau bantu melepas infus dari Tante Liem. Segera.” Aku meneriaki dua perawat yang tersisa di kamar.

“Apa yang kau rencanakan, Tom?” Om Liem bertanya untuk kedua kali.

“Kita tidak punya waktu untuk penjelasan, tapi jika semua berjalan lancar, dua jam dari sekarang kita sudah ribuan kilometer dari kota sialan ini.” Aku berkata cepat pada Om Liem, “Dua hari, kita punya waktu dua hari hingga Senin untuk membereskan semua kekacauan. Bank Semesta akan diselamatkan, percayalah, tidak ada selembar pun saham milik perusahaan yang akan dijual. Dan sebelum itu terjadi, kau harus kabur dari mereka. Lari.”

“Aku, aku tidak akan melakukannya, Tommi.” Suara Om Liem terdengar bergetar.

“Tidak ada pilihan. Kau harus lari.” Aku berseru gemas.

“Aku tidak mau jadi buronan, Tom.” Om Liem menggeleng, reflek melangkah mundur.

“Kau harus mau. Astaga, sekarang bukan saatnya membahas prinsip-prinsip basi.” Aku membentaknya, “Turuti semua perintahku, dan semua akan baik-baik saja.” Aku menoleh ke sisi lain , “Ram, siapa nama petinggi kejaksaan dan bintang tiga di kepolisian yang memimpin kasus ini?”

Ram dengan wajah tidak mengerti menyebut dua nama yang sudah ia sebutkan di mobil yang menjemputku dari hotel.

“Nah, bukankah dua nama itu berarti buat keluarga ini?” Aku kembali menoleh pada Om Liem, menyebut nama itu kencang-kencang, “Mereka tidak akan berhenti, percayalah, kau tidak akan dipenjara enam bulan seperti masa lalu, kalau bisa, dua orang ini akan membuat kau dipenjara selamanya, agar tidak ada jejak yang tersisa.”

Pintu kamar didorong dari luar, dua perawat sudah kembali, terburu-buru mendorong ranjang darurat, diikuti beberapa petugas polisi yang ingin tahu.

Aku segera melesat ke depan pintu, menahan petugas yang hendak masuk.

“Kalian tidak boleh masuk.”

“Kami harus tahu apa yang terjadi?” Komandan polisi memaksa.

“Astaga? Apalagi yang ingin kalian tahu,” Aku memasang badan agar mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam, “Nyonya rumah terbaring sekarat, dia butuh segera dibawa ke rumah sakit. Tuan rumah tidak akan kemana-mana, lihat, dengan memakai tongkat, tangkapan kalian tidak akan bisa kabur dari sini, bahkan berjalan seratus meter pun dia tidak akan kuat.”

Petugas polisi saling lirik satu sama lain.

“Kalian akan terus menonton, atau lebih baik menunggu di ruang depan.” Aku melotot, “Percayalah, setelah Nyonya rumah dibawa pergi oleh ambulans, kalian dengan mudah bisa memborgol Tuan Liem. Dan besok kalian akan mendapatkan kenaikan pangkat atas tangkapan hebat ini.”

Komandan polisi terlihat ragu-ragu, aku sudah balik kanan, kasar menutup pintu.

“Kau naik ke atas ranjang dorong.” Aku mendesis.

Om Liem bingung.

“Pasangkan infus dan semua belalai selang di tangannya.” Aku menyuruh perawat yang juga masih bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Aku, aku tidak bisa membiarkan ini, Thom.” Dokter berseru tertahan, sepertinya dia orang pertama yang mengerti apa yang akan kulakukan.

“Kau akan membiarkannya, Dok.” Aku menatapnya galak, meraih stick golf di pojok kamar, “Aku akan memukul siapa saja yang menghalangiku. Kau naik ke atas ranjang.”

Om Liem patah-patah naik, berbaring, aku segera menyuruh dua perawat bekerja di bawah ancaman stick golf. Mereka takut-takut segera menyelimuti tubuh tua itu, memasang masker di wajah, memasang penutup kepala, infus, alat bantu pernafasan, apa saja yang bisa membuat kamuflase.

Adalah penting segera membawa Om Liem kabur. Tanpa tanda-tangan Om Liem, tidak ada satu pihak pun yang bisa membekukan Bank Semesta atau mengambil-alih perusahaan lain. Aku tidak bisa melarikan Om Liem begitu saja dari rumah, melewati belasan polisi yang sejak empat jam lalu tidak sabaran. Aku akan menukar Tante dengan Om Liem. Rencana ini nekad, meski perawat sudah berusaha membuat tampilan Om Liem yang terbaring tidak dikenali lagi dengan selimut dan peralatan medis, jika ada salah-satu petugas polisi yang detail memeriksa, mereka dengan cepat akan tahu. Tetapi dalam situasi panik, darurat, pukul dua dini hari, tetap ada kemungkinan skenario ini berhasil.

“Berjanjilan, Tante akan baik-baik saja setelah kami kabur.” Aku berbisik pada Tante Liem sebelum mendorong ranjang darurat yang di atasnya sudah terbaring tubuh gemetar Om Liem.

Tante masih menatapku bingung. Dan sebelum dia mengucapkan satu patah, aku sudah mengucapkan kalimat terakhir, “Percayalah, berikan aku waktu dua hari, semua kekacauan akan dibereskan.”

Tante menelan ludah, mulutnya kembali tertutup.

“Kalian,” Aku menunjuk empat perawat yang masih gentar melihat stick golf yang kupegang, “Bantu aku berpura-pura seperti situasi darurat. Berteriak-teriak, suruh menyingkir polisi yang berjaga di ruang tengah. Dan kau, Dok, pimpin rombongan paling depan, bertingkahlah seperti dokter yang galak dalam situasi darurat. Kau paham?”

Dokter di hadapanku menelan ludah, aku mengacungkan stick golf tinggi-tinggi.

“Ram, kau tetap tinggal di sini, pastikan kau mengurus Tante. Kalian tahan polisi selama kalian bisa, berbual, karang alasan, bilang Om Liem tiba-tiba sakit perut, ada di toilet, atau bilang Om Liem memanjat jendela, kabur ke taman belakang. Berikan kami waktu lima belas menit menuju bandara, Ram. Pastikan kau membangunkan salah-satu staf perusahaan untuk menyiapkan tiket, paspor dan dokumen perjalanan kami. Segera menyusul ke bandara. Ada penerbangan ke Frankurt, transit di Dubai pukul 3 dini hari, 45 menit lagi. Kita lakukan ini demi Om Liem, orang yang telah membantu banyak kalian selama ini.” Aku mendesis, menatap tajam semua orang dalam kamar.

Mereka balas menatapku tegang. Mereka sepertinya sudah sempurna paham apa yang akan terjadi.

Aku menatap pintu kamar lamat-lamat, lima detik berlalu, menghela nafas, mendesis, “Sekarang atau tidak sama sekali. Semuanya ikut aku!”

Aku mendorong pintu kamar, mulai berteriak-teriak panik.

Dokter yang sedetik terlihat ragu, juga ikut berseru-seru, menyuruh semua orang yang berdiri di ruang tengah menyingkir. Ranjang darurat didorong dengan kecepatan tinggi oleh dua perawat, dua lainnya menyibak siapa saja, membuat petugas polisi rebah jimpah reflek memberikan jalan.

Jangan biarkan, bahkan sedetik sekalipun, jangan biarkan mereka tahu adalah Om Liem yang terbaring di atas ranjang, atau semua rencanaku akan gagal total.



***bersambung
untuk mengikuti episode berikutnya silakan ikuti Fan page Fb beliau : Darwis Tere Liye


*Penulis Novel Hafalan Shalat Delisa, Bidadari-bidadari surga dan 11 novel lainnya
Nb : Telah mendapat Izin Share

1 komentar: