Sabtu, 18 September 2010

FIKSI MINI 2

Puasaku, Puasamu

Geliat tubuhmu lugu, mengiramakan aktivitasmu yang hanya bisa kurabarasakan setiap waktu, dari gerakanmu itu aku meyakini kau mendengar semua yang kukatakan kepadamu juga yang kudengar dalam setiap ruang dimanapun itu, suara-suara itu mengajarkanmu tentang sesuatu.

Tepat Satu Ramadhan ini 20 Minggu usiamu, dengan pelan kuwartakan kepadamu sebuah amalan, tentang nafsu yang harus kau tahan meski lapar dan haus menderamu, tentang nilai-nilai kebajikan yang berakselerasi dengan kejiwaanmu, tentang Pemilik Dunia dan segala isinya, termasuk engkau dan duniamu jabang bayiku.

Intensitas gerakanmu tak tertahan ketika siang menjelang, rasa perih karena lapar mulai kutularkan, rasa haus yang mendahagakan mulai kuajarkan, namun degup jantungmu makin beraturan ketika kalam illahi mulai ku perdengarkan, hari pertama ini kuajarkan padamu rasa sabar, rasa yang akan kau gunakan nanti dalam setiap pergaulan, sebuah rasa yang tak berbatas, sebuah nilai keilahian yang akan menerangimu jalanmu saat meretas.

Aku merasakanmu tersenyum, ketika kuajak menemui puasa kedua di bulan Ramadhan ini, kembali puasamu kuniatkan.

“hari ini, mari kembali kita kerjakan amalan untuk Tuhan” bisikku kepadamu yang engkau balas dengan lengutan pelan.

Lengutanmu itu membuatku terharu, pemahamanmu tentang keikhlasan akan dimulai dari sini, kuajarkan kepadamu sejak dalam kandungan, menerbitkan harapanku akan keshalehanmu jika engkau terlahir nanti

KAMUPUN MENEMUKANNYA

Aku menemukannya setahun yang lalu. Sebelumnya aku penasaran kenapa mereka mau dan rela untuk tidak makan dan minum seharian. Bahkan mereka mengagungkannya. Lalu aku menemukan jawabannya di suatu masjid dimana aku sering mendengar adzan yang membuatku bergetar. Di sanalah aku mengucapkan 2 kalimat syahadat.

Tetapi kamu marah besar ketika aku menceritakannya. Ucapanmu waktu itu, “ Islam agama orang miskin, aku sebagai wanita karir tidak ingin seperti mereka.”

Akhirnya kulalui puasa Ramadhan sendiri, bahkan istri yang kucintai memusuhiku disaat pertama aku berpuasa. Aku harus bersabar.

Namun tahun ini ada yang lain denganmu. Kamu ikut bersuka-cita menyambut Ramadhan. Hingga suatu ketika kamu memutuskan untuk mengikuti ajaran Muhammad bin Abdullah. Katamu Islam itu indah. Kaget, terharu dan senang bercampur saat itu. Istriku akan menjadi seorang muslimah, kamu berhasil menemukannya, dan kita menikmati indahnya Ramadhan bersama.

Hari ini aku lama menunggumu. Padahal kamu baru saja mengatakan akan pulang cepat untuk berbuka bersamaku. Percakapan kita terputus memang tanpa tahu apa penyebabnya. Masih lama ku menunggumu. Lalu hp itu berdering kembali. Ternyata dari kepolisian. Dari suatu hp ada dialled calls nomorku. Polisi itu bertanya,” Apa Anda mengenal wanita dengan ciri-ciri…?” “Ya…, dia istriku,” jawabku. “Istri Anda mendapat kecelakaan dan…. tidak tertolong.”


Nina

Sudah dua hari ini kulihat gadis itu berjualan es buah di depan masjid komplek tempat tinggal ku. Rumahku bersebelahan dengan masjid, jadi aku bisa melihatnya datang dengan sepedanya membawa beberapa buah plastik berisi es buah siap saji.Sebagai hidangan berbuka puasa.

Ku coba berkenalan dengannya dan ku utarakan niatku untuk menjadi sahabatnya karena aku sangat tertarik dengan kegigihannya menjajakan es buah dan aku siap membantunya berjualan es buah, karena bagiku ini pengalaman menarik sambil mengisi waktu sore.

Setelah berkenalan,ku tahu namanya Nina,dia tinggal di belakang komplek. Dia berjualan untuk membantu ibunya yang hanya seorang buruh cuci dan ayahnya yang sudah lamameninggal dunia.

Seminggu sudah ku membantunya berjualan es buah di depan masjid komplek. Tapi aku sangat tersentak dengan kejadian sore ini. Uang di kotak amal milik masjid lenyap,bersamaan dengan itu pula Nina tak pernah kulihat berjualan di depan masjid.Bapak bapak di masjid pun menyudutkan Nina sebagai pelakunya dan akan segeradiselidiki kebenarannya. Aku tak percaya jika Nina yang melakukannya

Siang ini Nina datang memintaku untukmengantarnya ke sebuah toko baju. Dalam perjalanan dia mengatakan hal yangmembuatku sangat tak percaya.Dia berkata bahwa dirinyalah yang mencuri uang di masjid untuk membeli baju lebaran


***keseluruhan fiksi mini ini admin co-pas dari note fb para penulis, tanpa ada penyuntingan, dan postinan ini telah mendapat persetujuan para penulis***
admin-prito windiarto

FIKSI MINI *Aku, Kamu dan Ramadhan* (naskah lomba cerpen 200 kata Dang Aji)

RAMADHAN DAN CINTA

Binta al Mamba

Dinda menanti tamu istimewa, dengan senyum...

Pantang menyerah, dengan genggaman hati pada kuasa Ilahi. Kau tau Dinda...? aku kagum dan mencintaimu.Empat hari lagi puasa. Tapi kamu belum lunas membayar qodho tahun kemarin. Masih kurang 2 hari lagi. Karena melahirkan saat ramadhan, hutang puasamu sangat banyak. Malah sekarang kamu hamil lagi 8 bulan. Sering pusing karena KB akhirnya mual-mual hamil muda. Kamu tetap pantang menyerah pada fidyah.

Seandainya sakit dan payah itu bisa dibagi. Dinda...

Pagi yang embun. Ompol-ompol itu sudah di rendam dalam ember besar. Aku bergegas mengambil sabun dan memainkan irama cuci-mencuci. Jemari yang biasanya memainkan remote TV di pagi hari terasa agak kaku. Oh ow ow.. demi kamu Dinda...

“Mas... biar nanti saja aku yang cuci.. !” ucapmu sembari menyuapi Arjuna kecil kita.

“Ndak apa-apa... pengen olah raga menyambut puasa..” jawabku.

“Oh begitu ya... Alhamdulillah...“ kamu tersenyum indah.

“Masih tersisa embun... jalan-jalan yuk biar adeknya Arjuna segar dan sehat...” ajakku setelah selesai menjemur. Senyum kamu makin merekah meski dalam payah perut besar yang selalu dilanda kram kaki setiap malam dan bangun pagi. Kamu sepertinya heran padaku.

“Dinda.. aku ingin sekali menyambut ramadhan kali ini dengan cinta yang damai, semoga Dinda sehat dalam ramadhan ini..”

*** *** ***

Bint@ alMamBa4 agustus 2010**


Ramadhanku dulu dan kini

Prito Windiarto

“Woi tunggu aku!” aku berteriak lantang, kau tak menggubrisku, malah berlari semakin kencang. 300 meter kemudian kau berhenti.

“Hah hah, Ki Omon sudah tidak mengejar kita lagi ‘kan?” tanyamu dengan napas tersengal.

“enggak kayaknya, agghh dasar kau tidak punya sopan santun!” makiku geram

”hem”

Kau hanya tersenyum-tanpa dosa, padahal baru saja kau mengejutkan Ki Omon dengan ledakan petasanmu itu. Sudah dua kali kau mengejutkannya ketika buang hajat di kolam ikan. Untung kita tak tertangkap, kalau tertangkap entah apa yang akan terjadi.

”Besok-besok jangan lewat sini lagi ah, nanti bisa-bisa Ki Omon mencegat kita”

”Iya...” kau mengangguk

Keesokan harinya selepas kultum subuh kita mengambil jalur berbeda dari biasanya, kali ini memotong melewati kebun singkong Wa Tarim. Begitulah setiap pagi selama bulan ramadhan, aku, kau, dan banyak anak seusia kita lainnya biasa beriringan menyusuri jalan menuju Bukit Pasir Sari di barat kampung, menyaksikan matahari terbit, segenggam petasan ditangan, dari petasan ukuran kecil sampai ukuran jumbo sebesar pergelangan tangan. Sorenya aku dan kau biasa memanjat pohon jambu, memetik sebutir dua butir untuk berbuka, indahnya....

”Tretetet...tretetet” bunyi alarm memutus lamunanku, mengalihkan pandanganku dari fotomu, aku menatap keluar jendela, salju turun perlahan dari langit moskow, ramadhanku kini teramat dingin tanpamu teman.