Minggu, 26 Mei 2013

Kultum: Berbuat Baik, Bagaimana Dan Untuk Siapa

Kultum: Berbuat Baik, Bagaimana Dan Untuk Siapa
Oleh: Widia Aslima

Assalamu,a’alaikum Warahmatullaahi Wa Barakaatuh.
Alhamdulillahilladzii arsalarasula bil huda wa dinil haq ‘ala liyuzhhirahu ‘ala dinni qullihi walau karihal kaafirun. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah. Puji dan syukur kembali kita perbaharui kepada Allah SWT. atas segala limpahan nikmat iman, nikmat islam, nikmat sehat, dan nikmat lainnya yang takkan bisa kita hitung. Shalawat beserta salam kita mohonkan kepada Allah SWT. untuk dikirimkan kepada uswah dan qudwah kita yakni Nabi Muhammad SAW. Semoga kita selalu istiqamah mengikuti ajaran yang beliau sampaikan.
Saudara saudariku, kaum muslimin muslimat yang dirahmati Allah!
Dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan seseorang berbuat baik kepada orang lain karena alasan tertentu. Ada yang yang karena mereka temannya, saudaranya, atau keluarganya. Ada juga yang berbuat baik hanya karena ingin membalas kebaikan. Jadi kalau orang tidak berbuat baik kepadanya tidak ada kebaikan yang harus dilakukan. Ada kalanya kita temukan seseorang yang mengalami kesulitan lalu ketika minta bantuan pada orang lain yang mungkin cuma sekedar kenal tapi bukan teman baik, ia tidak mendapatkan pertolongan yang dibutuhkannya. Apalagi kalau tidak minta bantuan hanya sekedar mendengar ia mengeluh pada seseorang.
Allah berfirman dalam Alquran Surat Al-Isra (17) ayat ke-7; “in ahsantum ahsantum li anfusikum  wa ini asaktum falahaa” yang artinya jika kamu berbuat baik (berarti) kebaikan itu untuk dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kerugian kejahatan itu untuk dirimu sendiri.
Jelas dari ayat di atas, kebaikan itu bukan untuk orang lain tapi kita lah yang memanen hasilnya. Allah tentu sayang kepada hamba yang berbuat baik dan ikhlas karena-Nya, pahala akan mengalir untuk kita. Dampak di dunia, orang juga akan menyayangi kita karena dicap sebagai orang baik sehingga silaturahim dan ukhuwah terjalin lebih baik. Ada sebuah kata mutiara yang mencerminkan hal ini, “berbuat baik kepada orang lain bukan karena mereka baik tapi karena kita lah yang bersikap demikian”.
Berbuat baik itu luas maknanya. Kecil atau besarnya perbuatan baik yang dilakukan kembali kepada keihlasan niatnya. salah satunya dalam sebuah hadits dikatakan “senyummu pada saudaramu adalah sedekah”. Termasuk di sini juga berkata baik. Masih ada yang mungkin menganggap siapa yang berani mengasari orang lain ketika ia dirugikan baik sengaja maupun tidak sengaja adalah sesuatu yang hebat. Ia merasa dianggap sebagai pemberani. Ada juga yang berkata manis, sopan dan lembut hanya pada orang tertentu. Wallahu a’lam bishshowab.
Saudara saudariku, kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah!
Ingatlah! Sesungguhnya setiap perbuatan baik atau buruk sekecil apapun akan dibalasi Allah SWT. Seperti firman Allah dalam surat Azzalzalah (99) ayat ke 7-8, yang berbunyi “famayya’mal mitsqaa la dzarratin khairayyarah. Wa mayya’mal misqaa la dzarratin syarrayyarah”. Artinya, maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah* niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah* niscaya dia akan melihat balasannya.
Saudara saudariku, kaum muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah!
Demikianlah bentuk dan hikmah berbuat baik itu. Sesungguhnya berbuat baik itu sangat banyak macamnya. Sesungguhnya berbuat baik itu untuk kebaikan diri sendiri. Kemudian sekarang apatah kita masih berpikir berkali-kali untuk berbuat baik?
Demikian tausiyah yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat bagi kita semua. Kebenaran itu datangnya dari Allah melalu Alquran dan sunnah sedangkan kekhilafan itu berasal dari saya yang menyampaikan. Mohon maaf atas segala kekurangan. Billahittaufiq wal hidayah.

Wsssalamu,a’alaikum Warahmatullaahi Wa Barakaatuh.

*zarrah = sebesar biji bayam

Widia Aslima sekaligus nama di akun FB-nya terlahir dengan nama Widia Febriyeni. Ia berdomisili di Padang, Sumatera Barat. Seorang tamatan eksakta yang suka dan ingin belajar merangkai kata nan indah penuh hikmah. Aktifitasnya mengajar di sebuah SD swasta di kota yang sama. Tinggal di Padang-Sumatera Barat. Bisa dihubungi di nadiaaslima@yahoo.co.id 

Cerpen: Seuntai Harapan

Cerpen: Seuntai Harapan
Oleh: Shusi Essilent


Aku adalah anak kelahiran Mei 1993 dan terlahir dari kalangan keluarga yang waktu itu bisa dibilang tercukupi, karena saat itu Ayahku bekerja sebagai penjual matrial terbesar di kampung tempat tinggalku, sementara ibuku pun seorang tukang jahit yang selalu banyak orderan disertai dengan warung yang cukup besar.
Sementara waktu itu, semua kakakku tidak ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yang ada dalam pikiran mereka hanya kerja dan kerja, dengan 1001 alasan, hingga orangtuaku pun akhirnya jera menasehatinya.
Dunia memang berputar. Kadang di bawah, terkadang pula di atas. Begitu pula dengan keadaan ekonomi keluargaku, kerjaan Ayahku bangkrut karena terlalu banyak orang yang menghutang, pada akhirnya berhenti dari profesi itu. Dan hanya menekuni sebagai pedagang warung saja.
Usiaku saat itu masih 2 tahun, dan masa-masanya ingin dimanja. Terlebih sebagai anak bungsu. Sehingga apapun yang aku minta selalu dikabulkannya. Pamanku yang saat itu selalu datang untuk meminjam uang yang cukup besar selalu dituruti oleh ayahku, meski ibu dan semua kakakku telah curiga akan tipu muslihatnya kepada Ayah. Sementara Ayahku tak menggubris mereka, dan hanya tunduk patuh pada paman saja.
Namun lambat laun Ayahku pun tersadar ketika simpanan makin berkurang, sementara janji dari paman tak pernah ditepati. Dari sanalah semua bangkrut. Tak ada lagi warung besar, tak ada lagi orderan baju pada ibuku, karena semakin banyak tukang jahit. Sementara saat itu aku duduk di kelas 4 SD, dan kakakku yang baru saja menyelesaikan sekolah dasarnya, tak tahu harus melanjutkan kemana.
Mungkin, sudah kehendak-Nya. Anak dari guru Ayahku semasa di pesantren datang menghampiri rumah kami. Itu pun beliau harus mencari-cari dahulu letak di mana tempat tinggal keluargaku, yang bertujuan untuk menanyakan anak Ayahku yang masih bersekolah, dan  bersedia dimasukkan dan dididik oleh beliau. Akhirnya kakakku pun di masukkan ke lembaga pendidikan itu, Pondok pesantren modern Al-madina yang berada di Pandeglang, yang saat ini kami masih tinggal di sana, dan masuk sebagai kelas 1 KMI (kuliyyatu-l- mualliminAl-islamiyyah).
Setelah aku menyelesaikan sekolah dasar, aku pun disekolahkan di lembaga itu. Sejak saat itulah kedua orangtuaku berharap banyak kepada aku dan kakakku, begitu pula dengan kakakku yang telah berumah tangga, mereka menyesal tak mendengarkan nasihat  orangtua dulu untuk melanjutkan sekolah. Dan nasihat pun tak pernah henti, selalu mengalir seperti air kepadaku dan kakakku, agar kami berdua dapat menjadi orang yang berilmu dan berpendidikan.
Orangtuaku berjuang keras untuk membiayai kami berdua,hampir setiap minggu kami ditengoknya, dari rumah yang terletak di kecamatan Tunjung teja menuju Pandeglang yang cukup jauh, dengan senang hati ditempuh oleh Ayahku seorang diri yang kini sudah mulai renta, yang seharusnya mereka gunakan waktu senja itu dengan istirahat saja, tapi dia semakin berkerja keras, membanting tulang dengan cara berkebun dan turun ke sawah yang dahulu tak pernah dilakukannya sendiri, kini harus turun sendiri agar hasilnya lebih banyak. Semuanya mereka lakukan demi aku dan kakakku di pesantren yang telah menuruti permintaannya untuk terus menuntut ilmu.
Aku berpikir dan sebisa mungkin aku belajar dengan fokus, agar aku dapat membanggakan mereka. Alhasil, tak ada yang sia-sia jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah setiap tahun aku selalu masuk dalam 3 besar, meski aku sendiri ragu mendapatnya, serta terpilih dalam komunitas untuk memperdalam ilmu nahwu bersama Mudir (Pimpinan pondok) ketika aku duduk di kelas 2 semester akhir, ketika itu aku semakin menyenangi B. Arab dan bertekad untuk masuk Sastra Arab jika aku sudah lulus nanti.
Semangatku pun semakin menggebu-gebu untuk membanggakan kedua orangtuaku, namun…aku yang sering mengeluh atas keadaanku yang pemalu dan tak bisa melafalkan huruf R dengan jelas. Itulah yang membuatku semakin malu dan enggan bersuara, dan lebih senang berdiam diri saja, hingga aku dapat sebutan Silentygirl dari teman dan guruku.
Akhir kelas 5 KMI atau kelas 2 MA, aku senang membaca cerpen dan  menulis cerita, karena dengan menulis aku bisa mencurahkan isi hatiku pada secarik kertas putih, dan tak perlu bagiku untuk banyak omong, meski saat itu dalam kepengurusan aku menduduki bagian pengajaran yang harus berperan aktiv ketika para anggota di mesjid, dan tentunya harus banyak mengeluarkan suara.
Liburan semester pun tiba, dan itu adalah liburan terakhir. Karena liburan lebaran nanti aku tidak pulang, dan itu sudah peraturan mutlaq dari pondok untuk menetap di sana bagi siswa akhir KMI, yang mana waktunya itu dipakai dengan belajar sungguh-sungguh untuk mempersiapkan program di kelas akhir itu, terlebih hafalan setengahnya dari nadzom al-fiah atau 500 baitnya, yang dihafal di atas panggung-di depan khalayak ramai pada hari H nanti. Yang tentunya akan membanggakan bagi yang hafal dan memalukan keluarga pula bagi yang tidak hafal.
Seperti biasa, waktu liburanku dihabiskan dengan di rumah saja, bahkan hanya untuk duduk di serambinya pun aku enggan karena malu dan tak punya nyali. Namun orangtuaku pun tak pernah berkomen apa-apa, hanya sesekali menyuruhku keluar rumah saja.
Saat liburan itulah aku benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana orangtua berjuang demi aku dan kakakku di pondok, semua simpanannya mulai surut, bahkan dibilang telah habis apa-apa, sementara orang yang mempunyai sangkutan kepada Ayahku hanya mengulur-ngulur janji, tak seorang pun dari mereka yang menepatinya, terlebih pamanku yang mempunya sangkutan cukup besar itu.
Di kejauhan sana, hatiku menjerit. Melihat keadaan mereka yang berjuang keras untukku. Aku lihat ibuku yang sedang tertidur tergeletak di lantai, dari raut mukanya terlihat sangat lelah, kulitnya pun kini mulai berkeriput. Serta rambut yang dulu hitam kini berganti menjadi putih. Bahkan rumah pun tempat mereka berteduh, kini mulai compang-camping, besar, tapi berserakan tak terurus. Dan jika hujan, bocor pun di mana-mana. Tapi mereka tak pedulikan itu, uang yang mereka hasilkan selalu dikumpulkanuntuk aku dan kakakku di pondok. Terkadang jika kami minta sesuatu, langsung dikabulkannya, tak tahu mereka dapat uang dari mana?.
Semampu mungkin aku membantu mereka,bahkan pernah terucap kepada Ayah ketika dia menengokku di Pondok “aku ingin berkerja dan pindah dari pesantren, udah gak betah”. Namun, Ayah tak menggubrisku, bahkan dia pulang begitu aja meninggalkanku yang sedang menangis saat itu setelah menasehatiku.
Aku yang saat itu berpikir kalau Ayahku egois, harus selalu menuruti perintahnya. Tapi aku salah, semuanya untuk kebaikanku. Beberapa hari setelah itu, nasehat kembali meluncur padaku, oleh saudaraku yang menjadi tenaga pengajar di sana, bahwasannya Ayahku menangis kepada teman dekatnya, karena mendengar aku yang ingin pindah. Merasa akan gagal kembali mendidik anaknya.
“Ya Allah…begitu durhakanya aku, telah membuat orang tua menangis, aku telah menghancurkan harapan besarnya kepadaku”. Aku pun bersegera minta maaf kepadanya, atas kekhilafanku kemarin. Aku berjanji untuk mengharumkan nama mereka, apa pun akan kutempuh untuk mereka, Anythink for you…Ayah...Ibu.
Dipelulusan kemarin, aku beserta satu temanku mampu membawa harum nama graduette  (Alumni) kami saat itu, terlebih Orangtua. Dengan pertama kalinya ada Alumni yang mampu menghafal Al-fiah1002bait. Orangtuaku menangis haru atas itu, bahkan orang yang menghadiri pun ikut menumpahkan air mata kebanggaan. Sehingga banyak orang yang menguji atas prestasi yang kami raih. Meski aku hanya sebatas menghafalnya saja, tanpa aku paham satu persatu makna dari bait Al-fiah itu. Lain halnya dengan temanku itu yang bernama Ade, dia hampir paham semuanya, terlebih setelah lulus dia mendalami kembali semua ajaran kitab kuning, serta Al-fiah. Karena untuk melanjutkan kembali perjuangan pondok salaf Ayahnya yang tak lama setelah pelulusan kemarin telah menghadap Sang Ilahi.
Aku benar-benar mensyukuri atas apa yang telah Allah anugerahkan padaku, saking bangganya Orangtua, mereka ceritakan atas prestasiku kepada saudara-saudara, bahkan tak sedikit pujian dari Orang yang menghadiri acara itu kepada Ayah dan ibuku sampai mereka bertanya, “Amal apa yang dilakukan ibu, hingga punya anakpintar seperti ini”.
Terkadang aku risau, jika mendengar itu. Karena aku tak seperti yang mereka bayangkan. Aku tak bisa apa-apa, hanya sebatas hafal saja, lain halnya dengan temanku itu. Itu pun kemarin hafalnya, jika ditanya sekarang aku masih hafal atau tidak, aku tak sanggup untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku yang jarang sekali mengulang kembali, meski hadiahnya sebuahlaptop, telah ada ditanganku, serta untuk meraihnya, Orangtuaku harus menjual ini dan itu terlebih dulu, dan dengan niat aku akan tetap mengulanginya lagi.
Setelah mendapatkan panggilan pengabdian. Banyak waktu yang terbuang sia-sia, Aku yang saat itu hanya mendapati jadwal mengajar ba’da dzuhur saja, tak kugunakan dengan baik, meski setelah pelulusan itu aku mendapati amanat langsung dari Mudir untuk menghafal Al-Qur’an dan mengulang kembali hafalan Alfiah. Kuliah pun tak seutuhnya mendarah daging, karena aku yang telah berambisi untuk mengambil Sastra Arab, tapi harus rela masuk ke dalam Sastra Inggris, meski kata Dosen, semua bahasa sama saja.
Pikiranku saat ini kacau balau, bahkan aku mendapat sebutan “Galau Nusantara”dari Dosenku, semuanya karena ulahku sendiri. Aku yang terjebak dalam permainan cinta. Meski sebelumnya aku telah berniat tak akan mengenal make affair dahulu sebelum aku menyandang gelar sarjana. Namun, saat itu aku terjebak, aku yang berpikir dia sangat perfect dalam ukuran manusia di mataku, tapi nyatanya dia melukaiku, cinta pertamaku berakhir tragis. Berhari-hari sampai berbulan-bulan aku larut dalam kesedihan, bahkan ketika MK dimulai pun, aku menangis, tak mampu lagi menahan bendungan air mata ini. Untung saja saat itu Dosennya mengerti akan keadaanku.
Tapi kini, setelah dua bulan berjalan. Aku kembali memikirkan Orang tua. Mungkin, jika mereka tahu aku seperti ini. Mereka akan kecewa. Ayah, Ibumaafkanaku, entah untuk yang keberapa kali aku membuat kalian kecewa. Ya Allah… mohon ampun aku. Terkadang aku menyesali, kenapa semuanya harus terjadi, mengapa aku harus bertemu dengan dirinya? Namun… aku tersadar, semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak-Nya, dan semuanya pasti ada hikmahnya, serta memberikan pelajaran untukku.
Yang ada dalam benakku sekarang, aku hanya ingin ketenangan hati, ketenangan untuk belajar seperti dulu, tanpa harus memikirkan apa-apa. Serta membahagiakan Orangtuaku. Mewujudkan impian besar mereka, melihat aku mengenakan Toga−baju kebanggaan Sarjana. Karena semuanya akan aku lakukan untukmu, Ayah…dan ibuku.YaAllah…tunjukan aku jalan lurus-Mu−menuju  jalan yang KAU ridhai.
Pandeglang, 23 Februari 2012

Sabtu, 25 Mei 2013

Sharing Menulis Cerpen bersama Bang Asa Mulchias (Pekan 1)

Sharing Menulis Cerpen bersama Bang Asa Mulchias (Pekan 1)

Nah, sahabat KPS yang suka nulis cerpen. Ini nih tips-tips agar cerpen kita lebih bernah. Kebet terus ya… ini dia…
***
Asa Mulchias Oke, saya komen bagian awal cerpen Yuli ya?

CINTA DAN SAHABAT

Perlahan, cerita ini terlahir kembali di lamunanku. Saat itu, masa SMA ku lalui dengan cerita yang jauh lebih perih dari masa hidupku sekarang. Cinta yang tak pernah kunjung aku raih, karena orang yang aku cinta mungkin bukanlah jodohku. Saya Rahma dan cinta saya Adli, cinta itu hadir di berbeda sekolah. Aku dan adli berbeda sekolah, dan adli punya cintanya sendiri walau cinta itu bukanlah aku. Lestari wanita tercantik, pintar dan sedikit menor berhasil di gaet adli karena memang adli juga punya sesuatu popularitas di sekolah, adli adalah ketua OSIS banyak anak-anak sekelas bahkan kakak kelas juga ada yang memberanikan diri menyatakan cintanya lebih dulu, kak frizcha adalah wakil ketua OSIS.

***

Dari bagian ini, ada yang perlu disimak:
Dari paragraf satu saja, sudah terlalu banyak karakter. Ada Rahma, Adli, Lestari, Kak Frizcha. Hindari ini dalam cerpen. Bukan hanya pada paragraf satu, tapi pada keseluruhan isi cerpen. Sebisa mungkin, tonjolkan beberapa karakter saja. Karena cerpen tidak sama dengan novel. Ruangnya terbatas, hanya beberapa halaman saja. Jika input banyak karakter, pembaca akan bingung karena dijejali terlalu banyak orang yang harus "dikenali" dan memungkinkan juga cerpen jadi bias.


Dua, dalam fiksi, prinsipnya adalah show, don't tell. Jangan sebutkan, tapi tunjukkan. Misal, dia marah. Ini tell namanya. Fiksi tidak mengatakan marah dengan marah, tapi tunjukkan bahwa orang itu marah. Misal, "Wajahnya memerah. Rahangnya bergemeretak, lalu... BRAK! Tangannya memukul meja." Jika dilihat dari paragraf ini, sudah terlalu banyak tell, bukan show.

Asa Mulchias @nadya: ada banyak cara membangun feel dalam membuat cerpen. Pertama, banyak baca. Nadya suka baca? Kalau suka, harusnya ada banyak gagasan yang hendak ditumpahkan. Tapi kalau malas baca cerpen, padahal mau bikin cerpen, itu "wajar" namanya. Cobalah baca cerpen-cerpen yang didaulat menang atau berhasil dimuat media. Mereka menunjukkan cara yang oke dalam membuat cerpen.

Dua, pendalaman konflik dan karakter. Seberapa dalam kita tahu karakter, itu akan membantu kita tetap menulis cerpen dan menjaga atmosfirnya. Begitu juga konflik. Makin besar konfliknya, makin besar pula kemungkinan kita bisa bertahan. Nah, sekarang coba lihat karakternya: apakah dia karakter yang benar-benar kita tahu? Apa hobinya? Bagaimana dia berjalan? Apa yang diam-diam dia sembunyikan? Pun konflik. Apakah konfliknya akan membuat kita sebagai pengarang bersemangat menulis? Jika tidak, jangan heran, jangan heran 

Asa Mulchias @resha: judul yang menarik itu memang perlu diupayakan, walau datangnya tak jelas juga. Namun, saya percaya pisau yang diasah itu makin lama makin tajam. Brainstorming judul, pernah dilakukan? Brainstorming judul itu menulis apa saja judul yang terlintas di kepala kita, tanpa diedit, tanpa disensor. Tulis saja, tulis semuanya. Ini seperti mengeluarkan kotoran dari saluran air yang mampet. Kalau kotorannya tidak keluar, jangan harap airnya akan keluar. Makin ditulis, akan makin banyak ide tentang judul yang lebih oke.

Bantu juga diri Resha dengan banyak baca buku dengan judul-judul unik. Banyak pula baca buku dengan gaya tutur yang lain dari biasa. Selain memperkaya kosa kata penulis, karya-karya itu membantu otak kita berkembang dalam mengeksplor judul

Asa Mulchias Laila Rahma Sr.: itu ada hubungannya dengan jam terbang. Biasanya, orang yang baru mulai menulis punya penyakit sama: melantur. Ini terjadi karena otaknya belum terbiasa fokus dengan apa yang sedang ditulis. Jadi solusinya apa? Rajin menulis setiap hari. Jangan hanya pas lagi mood. Tapi menulislah tiap hari, mood atau tidak mood. Tekniknya sama dengan brainstorming judul. Menulis apa saja, tanpa dibatasi, tanpa teori. Makin sering menulis tanpa beban, makin terlatih untuk focus

Asa Mulchias Resha T. Novia: berhenti karena apa? Kalau jenuh, obatnya ya istirahat. Penulis manusia juga kok 
Tapi, kalau berhenti karena idenya habis, nah kudu dicari tahu dulu di bagian mana ide itu habis. Kemungkinan penulisnya kurang prepare sebelum menulis. Prepare itu bisa dari kerangka, riset, pendalaman karakter, konflik, dan lain-lain.

Asa Mulchias Soal cerpen: Saat Wanita Merasai Cinta- Dutio Infired Halima
Cerpen itu satu konflik, dan konflik sedapat mungkin jelas di mata pembaca. Terlihat dalam cerpen ini penulisnya sudah mampu menulis dengan mengalir, namun sayang: konfliknya apa ya? Jika konfliknya adalah wanita yang sedang jatuh cinta, maka sepanjang cerita pembaca akan melihat curhatan jatuh cinta--yang mana kita juga kerap temukan pada cerpen lainnya. Kalau pembaca sudah terlebih dahulu merasa, "Ah, paling ini cerpen tentang ungkapan rasa cinta," bahaya bagi penulis karena cerpennya sedang terancam untuk ditinggalkan.


Jadi, konflik itu penting. Dan mencicil konflik itu juga jauh lebih penting. Jangan beberkan semua konflik di awal, karena itu sama saja dengan push up 100 kali sebelum kita lari marathon. Sudah capek duluan 

Asa Mulchias @Acha: konfliknya belum kuat. Sebab kasus seperti itu sudah sering diangkat. Yang perlu diwaspadai dari tema cinta adalah sudah terlalu banyak penulis yang menulis soal itu. Dan kemungkinan kita dibandingkan, pembaca bosan, itu besar. Berbeda bila jam terbang kepenulisan kita telah matang. Tema cinta yang relatif basi pun bisa dikemas menarik. Saya saran, untuk penulis baru, banyak baca dan temukan tema yang belum banyak diangkat. Ini membantu kita juga dalam "persaingan kepenulisan" karena minim pembanding.

Asa Mulchias @nurhalima dan anazkia: sedikit share ya. Saya pernah jadi redaktur majalah dan bertugas menyeleksi cerpen. Tahu waktu yang saya butuhkan untuk menolak cerpen? Bisa kurang dari 30 detik. Emang agak "kejam" ya, tapi saya diminta menyeleksi 3 tumpukan naskah cerpen dan saya tak mungkin membacanya satu demi satu sampai selesai. 

Yang redaktur lakukan adalah melihat awal, tengah, dan ending. Kalau bagian awal kita tidak "ditangkap" oleh rasa menarik dari cerpen, maka redaktur akan melihat bagian tengahnya. Oh, begini. Oh, begitu. Tuh kan begini. Tuh kan begitu. Lihat ending? Nah, pasti begini, pasti begitu. Dan sret, sret, saya coret naskahnya.

Dalam menulis, kita harus eye-catching dari awal. Beneran deh 

·         Asa Mulchias Berikut, saya kasih contoh cerpen saya. Judulnya: Nona Manis Pesek Sekali
Asa Mulchias Hari ini Manis ulang tahun. Sweet seventeen! Perayaan besar-besaran. Menyewa gedung dan penyanyi wanita segala. Khas orang berada. Biaya: ratusan juta. Kecil. Tidak seberapa. Namanya juga orang kaya. Paling tidak bisa pusing soal uang.
“Apa permintaan kamu, Sayang?”
“Iya. Di hari spesial ini, kamu bisa minta apa saja dari Mama dan Papa.”
“Sungguh, Pa?”
“Sungguh, dong.”
“Sungguh, Ma?”
“Sungguh, dong.”
Manis mencubit-cubit bibir bawahnya. Mencari ide—bola matanya berputar-putar. Tapi, lama dicari, gagasan itu tak muncul jua.
 
“Mmm... nanti saja, deh, Pa. Manis ingin pesta dulu, nih!”
“Oh, iya!” Papa menyesali kebodohannya, “Maafkan Papa, Sayang. Papa lupa. Baiklah, nikmati dulu pestamu yang mewah ini. Papa dan Mama akan menunggu permintaanmu dengan bahagia.”
“Terima kasih, Papa,” Manis lalu melenggang hura-hura. Bernyanyi lagu happy birthday, make a wish, tiup lilin, gemuruh tepuk tangan, salaman plus cium pipi teman-teman. Tertawa. Lepas. Lebar sekali. Ini memang momentumnya. Untuk itulah, mama dan papa Manis tidak akan sudi merusaknya. Ya, sebisa mungkin, tidak akan ada kibasan kepala hari ini. Permintaan Manis—keturunan idaman yang baru nongol 10 tahun pasca ijab kabul—harus diwujudkan, apapun itu.
 
“Manis ingin operasi plastik, Pa,” tukas Manis begitu saja kala pesta telah usai. Uhuk uhuk, Mama langsung tersedak. Papa menganga terperanjat. Ha? Apa?!
 
“Operasi p-plastik?” tergeragap orang tua, tidak menyangka. “Buat apa, Manis? Memangnya bagian wajah mana yang kamu anggap jelek?”
“Hidung, Pa!”
“Hidung?”
“Iya, Manis mau mancung, Pa. Tidak pesek seperti sekarang!”
“Tapi, Sayang...,” Papa membetulkan letak kacamatanya, “bagi Papa, hidung kamu sudah bagus kok. Tidak kurang satu apapun. Kamu... minta kado yang lain saja, ya. Pasti Papa kabulkan!”
“Lho?” Manis meradang—delikan bingkai mata, indikasi tidak rela, “Papa bagaimana, sih!? Tadi di pesta, Papa ‘kan sudah janji mau turuti segala maunya Manis. Tapi sekarang kok omongannya beda lagi?!”
“Bukan begitu, Manis.”
“Habis?” menantang.
“Papa kira hidung kamu tidak butuh operasi plastik. Tidak perlu dipermak-permak lagi, Manis. Bagus begitu; alami—bukan buatan. Percayalah… kamu sudah manis kok, Anakku. Bahkan maniiis sekali!”
Rayuan gombal. Orang tolol mana yang akan percaya?
“Huh!” Gadis bersubang berlian itu mendengus kasar, “Bicara memang gampang, Pa! Tapi selama ini ‘kan Manis yang merasakan punya hidung cetakan luar angkasa begini. Apa Papa tahu, gara-gara hidung Manis pesek, sampai sekarang Manis belum juga punya pacar. Udah begitu, Manis diledekin terus lagi. Cowok-cowok di sekolah bilang hidung Manis mirip kue cucur; jajanan pasar. Manis sakit hati, Pa. Manis tidak tahan! Pokoknya Manis mau operasi! Manis tidak mau sakit hati lagi! Titik!”


Asa Mulchias Tentang cerpen Nadya, Tiga Butir Pengkhianatan

Pertama, temanya berat. Jika dibawakan dengan gaya yang berat, pembaca mungkin akan menghindar.
 

Kedua, menyadari tema berat, penulis perlu pintar-pintar memilih angle penceritaan. Salah angle itu kiamat
 

Ketiga, karakter bukanlah suara penulis. Karakter itu memiliki cara pandangnya sendiri, bukan personifikasi dari ide penulis. Berbeda dengan nonfiksi, di mana penulis menjadi dirinya sendiri, menuangkan semua gagasannya dengan verbal dan apa adanya. Tapi dalam fiksi, berbicara tema yang berat, lalu penulis masuk ke dalam salah satu karakter (seringkali menjadi orang tua yang bijak, atau karakter-karakter "guru" yang mengkritisi tanpa cacat), akan menyebabkan cerpen seperti ceramah. Ingat: cerpen itu adalah cerita pendek, ceramah pendek
 

Dalam cerita, penulis menyampaikan pesan lewat interaksi karakter, kejadian, respon, dampak, sesuatu yang bisa dirasakan pembaca, walau tidak dituliskan pesannya. Jika kita bisa menulis fiksi yang semacam itu, kita akan dihargai dan tidak akan dicap tukang ceramah. Kalau mau menyampaikan ide blak-blakan, ambil jalur nonfiksi. Itu aman. Tapi fiksi itu riskan.
 

Pesannya sederhana: jangan jadikan karakter sebagai corong penulis menyuarakan ide pribadinya. Biarkan karakter itu berpikir dan merasakan sesuai dengan karakternya. Maka, kita pun mendapatkan cerita yang kaya.

Asa Mulchias @nurhalima: sip. Saya salut sama penulis yang bermental siap dikritik. Semangat terus, ya!

Asa Mulchias Bagi yang tertarik untuk menulis cerpen secara lebih profesional, saya buka bimbingan cerpen dan asistensi cerpen. Ada juga private bimbingan novel dan asistensi novel. Dalam bimbingan, saya akan tuntun peserta untuk bisa menulis cerpen atau novel agar lebih terarah dan tidak berantakan. Sedang dalam asistensi cerpen atau novel, saya akan bertindak seperti teman sharing, editor, menyarankan ini dan itu sehingga naskah lebih ciamik dan terarah. Bagi yang tertarik, bisa add saya dan inbox. Nanti kita bicarakan lebih dalam. Private saya based on request, artinya saya akan gali dulu ekspektasi teman-teman, merumuskan masalah, lalu baru menentukan obat dan langkah-langkah pengobatannya.

Asa Mulchias Oke, segitu dulu ya, Teman-teman. Mohon maaf kalau ada kata-kata yang salah. Semoga teman-teman semangat belajar, bukan semangat minta dipuji. 

Nurhalima Tanjung: wah, selamat kalau begitu. Memang, dunia penulisan itu subjektif. Ada yang bilang cocok, ada yang tidak. Saya punya naskah yang ditolak di mana-mana, tapi akhirnya diterima oleh satu penerbit yang punya sudut pandang beda. Bukan berarti satu cerpen dibilang kurang, itu berarti kurang juga bagi orang lain 


Prito Windiarto Asa Mulchias
Author of "Jiwa-jiwa Gagah yang Pantang Menyerah" 
ASA MANAGEMENT: Islamic Education, Spiritual Motivation, and Writing Course. Contact: (021) 41896720. Follow: @Asa_Mulchias. Email: asa.mulchias@gmail.com

#Ada yang masih penasaran? Makanya gabung di Grup FB KPS (Komunitas Pena Santri). 

Kamis, 16 Mei 2013

Cerpen: Catatan Cinta untuk Kang Aan

Cerpen: Catatan Cinta untuk Kang Aan
Maftuhah As sa'diyah
Suasana indah di saat senja, matahari sudah terlihat di ufuk barat, langit tampak kemerah-merahan, burung-burung terbang serempak selayaknya sekelompok pasukan yang akan meyerang lawan. Semilir angin melambai-lambai menyibakkan jilbab putih seorang gadis yang sedang melangkahkan kakinya. Langkah demi langkah gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak di antara rindangnya alang-alang. Gemercik  air sungai mengalir mengikuti  arah hembusan angin yang sejuk. Rumput-rumput bergoyang menari dengan indah. Gadis itu tetap berjalan dengan mengalunkan suara lembutnya, ia berselawat lirih. Gadis itu bernama Fatimatuz Zahra, atau biasa dipanggil Zahra.
Tiba-tiba langkah kakinya terhentikan oleh suara yang memanggil-manggil namanya, “Zahra, Zahra, tunggu aku.” Panggil Ima sahabat Zahra. “Ima, dari mana kamu?” Tanya Zahra. “Aku dari rumah nenek, Ra. Kamu sendiri dari mana?” Ima balik tanya pada Zahra. “Aku dari rumah Mbak Mimin, pinjam buku Hermeunetika Al-Qur’an.” Jawab Zahra. “Hermeneutika Al-Qur’an? Bukankah kamu jurusan sosial? Hermeneutika al-Qur’an kan untuk mahasiswa jurusan Tafsir Hadis, Ra.” Kata Ima heran. “Iya sih, tapi aku ingin mempelajari dan mengetahui tentang Hermeneutika al-Qur’an.” Jawab Zahra. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin mempelajari Hermeneutika, Ra? Kamu ikut kajian tafsir ya?” Ima penasaran. “Gak kok, aku hanya ingin mengetahui seperti apa ilmu Hermeneutika itu.” Kata Zahra dengan senyum manis yang menyungging dibibirnya. “Baiklah, kalau gitu nanti aku akan belajar Hermeneutika padamu aja yah, Ra? Kata Ima dengan penuh canda. Kemudian mereka berdua meneruskan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak.
Di tengah perjalanan, Ima memulai percakapan, “Zahra, aku mau cerita nih, kamu mau dengerin tidak?”
Kemudian Zahra menjawab, “Tentu saja, memangnya kamu mau cerita apa, Ima?”
“Zahra, sejak beberapa hari yang lalu hingga sekarang seseorang mengirim sms padaku. Awalnya dia hanya sms biasa, tapi tadi malam dia sms ‘Ima, uhibbuki’ (Ima, aku mencintaimu).” Kata Ima sambil memperlihatkan sms pada Zahra.
“Oh ya.. Lalu kamu menjawabnya apa, Ima? Dan siapakah sebenarnya dia? Jika dilihat dari mata dan raut wajahmu, sepertinya kamu juga menyukainya, atau bahkan juga mencintainya, iya kan?” Zahra penasaran.
“Ah.. Zahra bisa aja. Aku tidak menjawabnya seketika itu, aku menanyakan alasannya kenapa dia mencintaiku? Sejak kapan dia mencintaiku? Baru setelah mendapatkan penjelasan darinya, aku menjawab ‘uhibbuka aidlon’ (aku juga mencintaimu). Dia adalah Kang Aan. Siapa yang tidak tertarik padanya, sudah pintar, baik, pengetahuan agamanya sangat mendalam, dan yang terakhir dia tampan pula. Dan dia berjanji suatu saat akan melamarku. Aku sangat senang, Zahra. Bagaimana menurutmu, Ra? Apakah sikapku ini salah?” Ima berekspresi sangat bahagia dan meminta pendapat pada Zahra.
“Tidak ada yang salah, Ima. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Kang Aan adalah calon imam yang baik. Dia pasti mencintaimu dengan tulus. Kalian berdua sangat cocok.” Kata Zahra singkat.
“Terimakasih, Zahra. Kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu selalu ada untukku.”
“Sama-sama, Ima. Kamu juga sahabat terbaikku. Mampir ke rumahku dulu yuk, sambil ngobrol-ngobrol lagi nanti.” Zahra mengajak Ima mampir karena sudah sampai di depan rumahnya.
“Terima kasih, Ra. Tapi aku harus pulang karena hari sudah senja. Kapan-kapan aku akan mampir ke rumahmu. Kita berpisah sampai di sini dulu ya, Assalamu’alaikum.”
“Oke. Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya, Ima.”
Keduanya pun berpisah dan beranjak ke rumah masing-masing. Hari semakin senja, matahari mulai bersembunyi di balik awan. Suasana akan berganti malam. Kan datang rembulan dan bintang-bintang yang menghiasi langit dan menyinari bumi.
***
            Di keheningan malam, dalam suasana yang diam, tiada yang bersuara satupun kecuali detak-detik jarum jam. Di sudut kamar terlihat Zahra sedang duduk terdiam, namun pikirannya tidak diam. Ia teringat ucapan sahabatnya, Ima ‘(Zahra, sejak beberapa hari yang lalu hingga sekarang seseorang mengirim sms padaku. Awalnya dia hanya sms biasa, tapi tadi malam dia sms ‘Ima, uhibbu ilaiki’ (Ima, aku mencintaimu))’. Kemudian Zahra berkata seorang diri dalam hati, “Ima, sebenarnya seseorang yang membuat aku belajar Hermeunetika al-Qur’an adalah Kang Aan. Suatu saat ia pernah bertanya padaku tentang Hermeunetika al-Qur’an. Saat itu aku jawab aku belum pernah mempelajari ilmu itu. Kemudian ia meminta memberitahuku ketika aku sudah tahu tentang ilmu tersebut. Oleh karena itu, aku terinspirasi mempelajarinya.” Tidak lama kemudian kedua mata Zahra terlelap tidur.
***
            Cuaca terasa sangat panas, seakan matahari berada di atas ubun-ubun. Hilir-mudik silih berganti mahasiswa di zona kampus STAIN Lamongan, ada yang datang dan ada yang pergi dengan jaz berwarna biru tua sambil menyandang buku ditangannya. Tak terkecuali Zahra dan Ima, keduanya hendak pulang karena sudah tidak ada jam kuliah.
 “Zahra, mampir ke rumahku dulu yuk, sekalian kita mengerjakan tugas bersama.” Kata Ima kepada Zahra.
“Oke, Ima.” Jawab Zahra singkat. Lalu keduanya berjalan menuju rumah Ima.
            Setiba di rumah Ima, mereka menunaikan sholat Dhuhur, baru kemudian mengerjakan tugas kuliah.
 “Alhamdulillah tugas kita sudah selesai.” Kata Zahra.
“Iya, Ra. Alhamdulillah, tapi kamu jangan pulang dulu ya, aku mau curhat sama kamu.” Kata Ima.
“Iya, Ima. Kamu mau curhat tentang Kang Aan ya? Bagaimana hubungan kalian?” kata Zahra dengan senyum menyungging di bibirnya.
“Yup betul sekali. Hubungan kami baik-baik saja, Ra. Mohon doanya agar sampai dipersinggahan halal. Karena minggu depan Kang Aan akan melamarku. Aku sangat bahagia, Ra.” Jawab Ima dengan bahagia.
 “Alhamdulillah kalau begitu, Im. Doaku selalu menyertai kalian berdua.” Jawab Zahra.
“Lalu kamu kapan akan menyusul, Ra?” Kata Ima.
 “Nanti jika sudah tiba masanya.” Zahra menjawab dan tersenyum.
“Baiklah kalau begitu, pokoknya dengan siapa pun nanti, kamu harus cerita sama aku ya. Dan aku berharap akulah orang pertama yang akan kamu kasih tahu. Sebagaimana aku selalu cerita padamu, Ra.” Kata Ima.
“Iya, tenang saja, Ima. Kamu akan menjadi orang pertama yang akan aku kasih tahu dengan siapa pasangan hidupku nanti. Oh iya, aku harus pulang sekarang. Karena hari sudah semakin sore.” Zahra berpamitan sambil memeluk Ima.
“Iya, Zahra. Hati-hati di jalan ya.” Jawab Ima. ‘Ima. aku titipkan Kang Aan padamu. Tolong jaga dia baik-baik ya.’ Kata Zahra dalam hati sebelum beranjak pergi.   
“Iya, Ima. Assalamu’alaikum.” Kata Zahra.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Ima.
            Tidak lama setelah melangkahkan kaki dari rumah Ima, tiba-tiba pandangan Zahra kabur, kepalanya terasa pusing, dan hidungnya berdarah. Hingga semua menjadi gelap dan Zahra tak sadarkan diri, tubuhnya lemah dan terjatuh tepat di depan halaman rumah Ima.
“Zahra, kamu kenapa?” Ima berlari ke arah Zahra.
“Tolong..tolong..Mas Ainul..tolong Zahra, dia pingsan.” Teriak Ima minta tolong pada saudaranya yang kebetulan ada di rumah. Ainul pun keluar, dan membawanya ke rumah sakit bersama Ima. Dalam perjalanan ke rumah sakit Ima menghubungi bapak dan ibu Zahra di rumah, “Assalamu’alaikum ibu, ini Ima.”
“Iya nak Ima, ada apa?” Tanya ibu Zahra.
“Tadi ketika Zahra hendak pulang, tiba-tiba dia pingsan di depan rumah Ima, bu. Sekarang saya dan Mas Ainul akan membawa Zahra ke rumah sakit. Tapi kami hendak ke rumah bapak dan ibu dulu untuk menjemput bapak dan ibu. Bagaimana, bu?” kata Ima.
“Baiklah nak Ima, kami akan bersiap-siap.” Kata ibu singkat.
***
            “Dokter, bagaimana keadaan anak kami?” Tanya ibu Zahra di ruang dokter.
“Keadaan saudari Zahra kritis, pak, bu. Seharusnya dia menjalani kemoterapi, tapi dia selalu menolak.” Kata dokter.
“Apa, Dok? Kemoterapi? Memangnya anak kami menderita penyakit apa?” bapak dan ibu Zahra terkejut.
“Apakah selama ini Zahra tidak bercerita mengenai penyakit yang dideritanya pada bapak dan ibu?” Tanya Dokter pada orang tua Zahra.
“Tidak, Dok? Sebenarnya Zahra sakit apa?” Tanya ibu Zahra sambil meneteskan air mata.
“Sejak tujuh bulan yang lalu Zahra menderita kanker otak. Waktu itu saya sudah menyuruhnya untuk melakukan kemoterapi, tapi dia menolak. Katanya biaya kemoterapi sangat mahal, jadi dia tidak melakukannya.” Dokter menjelaskan.
“Zahra, kenapa kamu tidak pernah cerita pada kami, nak. Apa tidak ada cara lain agar dia bisa sembuh, Dokter? Masih bisa dioperasi, kan?” ibu Zahra semakin cemas.
“Bisa dioperasi, bu. Tapi resikonya sangat besar.” Kata Dokter. “ Tenang, bu. Tenangkan pikiran ibu, sebaiknya sekarang kita lihat bagaimana keadaan Zahra dan berdoa agar Zahra segera sembuh.” kata bapak mencoba menenangkan ibu. Kemudian mereka ke kamar di mana Zahra dirawat.
            “Bapak… Ibu….” Lirih Zahra.
“Zahra, kamu sudah sadar, nak. Bapak dan ibu ada di sini.” Kata ibu.
“Bapak….Ibu…maafin Zahra ya, karena selama ini Zahra sudah membuat repot bapak dan ibu. Dan terimakasih untuk semuanya.” Kata Zahra dengan tetesan air mata membasahi pipi.
“Jangan bicara seperti itu, nak. Kamu adalah anak yang membanggakan. Kamu adalah anugerah bagi kami.” Kata ibu.
 “Iya, nak. Jangan lagi kamu bicara seperti itu.” Kata bapak sambil memegang tangan Zahra.
“Ima, maafin aku ya atas semua kesalahanku padamu. Dan terimakasih karena kamu sudah mau menjadi sahabat yang selalu ada untukku. Jika aku telah tiada, jangan pernah melupakan aku ya. Sering-seringlah main ke rumahku, agar bapak dan ibu tidak kesepian.” Kata Zahra pada Ima.
“Zahra, tolong jangan bicara seperti itu, kita akan selalu bersama. Kamu akan sembuh.” Kata Ima dengan memeluk Zahra.
            “Asyhaduanlaa ilaahaillallah.. wa asyhaduanna muhammadurrosulullah.” Zahra mengucapkan kalimat terakhirnya, ia pun menutup mata untuk selama-lamanya.
 “Zahra, bangun, nak. Jangan pejamkan matamu. Bangun, nak..” teriak ibu. “Innalillahi wa innailaihi roji’un, Zahra sudah meninggalkan kita semua, bu.” Kata bapak dengan tegar. Beberapa saat kemudian Zahra dipulangkan dan dimakamkan.
***
            Tiga hari setelah kepergian Zahra, Ima berkunjung ke rumah Zahra, sekalian ia juga hendak mengembalikan buku Zahra yang dipinjamnya.
“Assalamu’alaikum, ibu. Saya ingin mengembalikan buku Zahra.”
“Wa’alaikumsalam, iya, nak Ima. Masuklah ke kamar Zahra. Rumah Zahra juga rumahmu, Ima.” kata ibu. Ima pun masuk ke kamar Zahra. Ia teringat kenangan bersama sahabatnya di kamar tersebut. Ia memandangi foto Zahra dan air matanya pun membasahi pipinya. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada amplop yang bersandar di tembok di atas meja belajar Zahra. Tangan Ima menggapai amplop tersebut dan membukanya. Di dalamnya terdapat surat dari Dokter, Ima membacanya. Dalam surat tersebut tertera bahwa Fatimatuz Zahra menderita kanker otak stadium akhir.
“Tidak..Tidak mungkin.. Zahra, kenapa selama ini kamu tidak bercerita padaku bahwa kamu sakit?” kata Ima sambil sesenggukan.
Ima juga melihat buku catatan kecil berwarna biru muda. Terdapat lima buku catatan biru muda di meja belajar Zahra. Ima membacanya satu persatu, ia terkejut. Ternyata buku catatan tersebut semua berisikan tentang perasaannya terhadap Kang Aan.
“Jadi selama ini orang yang kamu cintai adalah Kang Aan, bahkan kamu mencintainya lebih dulu dari pada aku. Kamu telah mencintai Kang Aan sejak sepuluh tahun yang lalu. Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya padaku, Ra? Padahal selama ini aku bercerita tentang Kang Aan padamu. Kamu pasti cemburu, kan? Maafkan aku, Ra. Aku tidak tahu kalau kamu mencintai Kang Aan lebih dulu dari pada aku. Kamu terlalu baik, Ra. Kamu menyembunyikan banyak hal dari orang lain, padahal itu menjadi derita bagimu.” Kata Ima tak bisa berhenti menangis.
***
            Di taman kampus, Ima menemui Kang Aan, ”Kang Aan, aku ingin kamu membaca catatan-catatan ini. Ini adalah catatan cinta untukmu.” Kata Ima sambil memberikan buku catatan Zahra pada Kang Aan.
“Apa maksudmu, dik Ima? Milik siapa buku ini?” Tanya Kang Aan heran.
“Baca saja, kang. Nanti kamu akan mengerti.” Jawab Ima. kemudian Kang Aan mulai membuka satu persatu buku tersebut. Lembaran demi lembaran ia baca, tulisan di dalamnya membuat linangan air mata Kang Aan. Dalam buku tersebut, Zahra selalu menggoreskan penanya. Zahra menuliskan setiap suasana perasaannya mengenai Kang Aan. Zahra telah menulisnya dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. Sudah sepuluh tahun Zahra menuliskan perasaannya dalam lima buku catatan. Diakhir catatan, Zahra menuliskan,
            Untuk orang yang selama ini aku cintai (Kang Aan),
            Selama bertahun-tahun aku menantimu. Selama bertahun-tahun aku memendam perasaan cinta terhadapmu. Harapanku selama ini adalah kau memiliki perasaan yang sama terhadapku. Namun, harapan hanyalah sebuah harapan. Nyatanya kau menyukai seseorang. Dan ia adalah sahabatku. Saat pertama kali aku mendengarnya, aku sangat terluka. Tapi wajar jika kau memilih dia. Karena dia lebih baik, lebih cantik, lebih sholehah, lebih pintar, dan lebih cerdas dari pada aku. Dengan berbesar hati, aku akan merelakanmu bersamanya.
Hampir setiap hari aku menulis tentangmu di buku catatan kecilku. Aku menulis ketika aku merindukanmu, ketika aku ingin melihat senyummu, ketika aku ingin bertemu denganmu walaupun itu dari balik jendela dan dari kejauhan. Aku selalu menulis ‘aku akan selalu setia menunggumu dan aku akan selalu mencintaimu’. Aku ingin suatu saat nanti kamu membaca tulisan-tulisanku tentangmu, entah ketika aku masih ada atau sudah tiada. Hingga sampai saat ini, semua sms darimu, masih kusimpan di arsip pesanku. I will always wait for you!!
            “Zahra, sesungguhnya aku juga pernah memiliki perasaan yang sama terhadapmu, dan cintaku terhadapmu pun telah berlangsung hampir sepuluh tahun. Namun, ada sahabatku yang juga menyukaimu. Dia adalah Ainul, kakak kandung Ima. Sejak saat itulah aku mencoba ‘tuk melupakanmu dan akan melamar Ima, sahabatmu. Sungguh aku tidak tahu bahwa kita memiliki perasaan yang sama. Maafkan aku, Zahra.” Kata Kang Aan dalam hati dengan linangan air mata yang tidak bisa dibendung.
*cerpen ini terinspirasi dari sebuah hadis: (Diriwayatkan oleh Hakim, Khatib, Ibnu Asakir, Dailami dan lainny; Rasulullah bersabda; “Barang siapa yang jatuh cinta, lalu tetap menjaga kesucian dirinnya, menyembunyikan rasa cintanya dan bersabar hingga mati maka dia mati syahid.” Sungguh sangat beruntung orang yang mencintai dengan kesucian diri dan berlindung dari godaan syetan yang terkutuk. Tentunya orang yang menjaga cintanya yang suci hingga ia meninggal dunia).