Senin, 17 Oktober 2011

MUHASABAH: AKU BUKAN HAMBA YANG BAIK





AKU BUKAN HAMBA ALLAH YANG BAIK

Ketika hamba ALLAH lain sibuk membaca dan mentadabburi Al-Qur'an,
aku sibuk mendengarkan lagu picisan yang tak membuat aku makin dekat denganNYA.

AKU BUKAN HAMBA ALLAH YANG BAIK

Ketika hamba Allah yang lain sibuk menuntut ilmuNYA
aku malah sibuk dengan urusan dunia yang membuat jarak denganNYA

AKU BUKAN HAMABA ALLAH YANG BAIK

Ketika hamba Allah lain berusaha menundukkan pandangannya,
aku sibuk memperhatikan kecantikan/ketampanan wajah yang bukan mahramku

AKU BUKAN HAMBA ALLAH YANG BAIK

Ketika hamba Allah lain menjaga hubungan dan jarak dengan lawan jenisnya,
aku malah terbiasa duduk berdekatan dengan yang tak halal bagiku

AKU BUKAN HAMBA YANG BAIK

Ketika hamba Allah lain malu untuk menampakkan wajah dan fotonya,
aku malah sibuk meng-upload foto-foto agar dilihat semua orang

AKU BUKAN HAMBA ALLAH YANG BAIK

Ketika hamba Allah lain menjaga kata-katanya dengan baik
aku terlalu sering menyakiti hati orang lain dengan lisanku

AKU BUKAN HAMBA YANG BAIK

Ketika hamba Allah lain gelisah di saat imannya menurun
aku malah semakin lalai dengan dunia.

AKU MEMANG BUKAN HAMBA ALLAH YANG BAIK

Namun, aku berharap bisa menjadi seperti hamba Allah lain yang istiqomah berjuang untuk mendapatkan cintaNYA.

Ya Robbb....
Ampuni hambaMU yang tidak baik ini

Semoga Engkau membimbing hamba yang tidak baik ini agar menjadi lebih baik di hadapanMU.

Amin Ya Robbal 'Alamin.

By: Ocha Hesti Adrian

Minggu, 16 Oktober 2011

HIDUP MULIA DENGAN ILMU



Fitri Arniza



Miris melihat kenyataan di lapangan saat ini. Semakin hari tingkat pengangguran di negeri ini semakin meninggi saja. Ijazah, titlel sarjana, gelar doktor, bahkan profesor sekalipun seolah tak mempunyai arti lagi di zaman globalisasi seperti saat sekarang ini.

Lihatlah berapa banyak sarjana jebolan universitas unggulan yang akhirnya menjadi pengangguran, berapa banyak sarjana tunggang langgang mengantarkan surat lamaran dari satu kantor ke kantor lainnya. Belum lagi masalah meningkatnya kriminalitas seiring meningkatnya pengangguran. Di setiap sudut terjadi tawuran yang pelakunya tak lain adalah mahasiswa.

Lalu bagaimana presfektif Islam dalam hal ini?

Allah Swt. mewajibkan kepada umat muslim untuk menuntut ilmu. Sebagaiamana hadits Rasullah SAW. “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam.” (HR. Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik).

Sungguh Islam adalah agama yang sempurna. Salah satu cara ampuh untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan cara menuntut ilmu. Coba kita perhatikan fenomena saat ini, sering kali kita temukan bahwa tujuan kuliah tak lagi sebagai wadah untuk menuntut ilmu tetapi sebagai ajang berburu gelar. Setiap orang berlomba menembus Perguruan Tinggi Negri (PTN) entah itu dengan cara yang benar maupun dengan cara yang diharamkan sekalipun. Namun pada kenyataaannya orang-orang lebih banyak memilih cara praktisnya saja. Yakni dengan tindakan penyuapan.Seleksi masuk yang digelar pun menjadi sebatas formalitas saja, bagaimana tidak. Jika mereka tak lulus dalam seleksi, mereka tinggal membayar berapa saja yang diminta. Perkara selasai. Universitas impian pun menjadi miliknya.

Tetapi coba sejenak kita renungkan, bagaimana jadinya generasi yang lahir dari tindak kecurangan. Generasi seperti inilah yang menjadi pemicu meningkatkan pengangguran.

“Apakah sama antara orang yg berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (QS. Az-Zumar:9)

Senada dengan firman Swt di atas, jelaslah bahwa Allah tidak pernah memandang kepada gelar yang didapat seorang hamba. Tetapi Allah menilai seseorang berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Itulah penyebab mengapa Allah mewajibkan kita menuntut ilmu. Seorang yang berilmu tidak hanya mudah dalam mendapatkan pekerjaan tetapi juga mulia disisi Allah. Seperti firman Allah dalam Surah Mujadalah ayat 11:

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam mejelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Islam tidak menganjurkan kita untuk menuntut ilmu yang berkaitan dengan agama saja, tetapi juga mendalami ilmu-ilmu lainnya, seperti saints, teknologi, juga tentang kejiwaan sekalipun. Pun Islam memerintahkan kita untuk belajar dari mana saja, tidak hanya dari sekolahan, universitas, atau tempat-tempat formal jenis lainnya. Tetapi ilmu itu bisa didapat dari mana saja, bahkan seorang perampok pun dapat dijadikan guru. Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu hari Hasan Bashri dirampok oleh seseorang. Kemudian Hasan Bashri mengatakan “Ambillah semua hartaku yang kalian inginkan, tetapi jangan ambil bungkusan yang ada di pundakku ini,” karena penasaran perampok tersebut merampasnya. Kemudian tercecerlah buku-buku dari bungkusan tersebut, “Kenapa buku-buku ini begitu berarti bagimu?’ tanya perampok. Hasan Bashri menjawab “Buku adalah sumber ilmu.” Perampok pun berkata, “Ilmu itu di dada, bukan di dalam buku.” Terenyuhlah hati Hasan Bashri mendengarnya. Seorang perampok saja dapat memberikan pelajaran, bagaimana pula dengan kita yang memiliki hati dan pikiran yang lebih jernih. Lagi-lagi kuncinya adalah ilmu. Ibadah tanpa ilmu sudah pasti salah, tetapi ilmu saja pun tanpa pernah beribadah tak bernilai sama sekali.

“Tuntutlah ilmu tetapi tidak melupakan ibadah. Dan kerjakanlah ibadah tetapi tidak boleh lupa pada ilmu.” (Imam Hasan Al-Bashri)

Kadangkala kita kerap berpikir bahwa gelar sarjana adalah harga mati kesuksesan. Karena gelar dapat menjamin pekerjaan. Inilah kekeliruan yang fatal. Bukankah sudah jelas bahwa Allah telah menetapkan rezeqi pada setiap hamba-Nya. “Allah melapangkan rezeqi bagi hamba yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang membatasi baginya. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.29:62).

Sekarang semakin jelaslah bahwa tugas utama kita adalah belajar dan menuntut ilmu karena Allah sangat memuliakan orang-orang yang berilmu, tentunya ilmu yang dapat memberikan rmanfaat kepada semua orang. “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri cina.” Demikian pepatah bijak mengatakan. Menuntut ilmu adalah kewajiban yang amat mulia. Semakin banyak ilmu kita maka semakin mudah pula jalan kita menuju jannah-Nya.

Abu Hurairah r.a meriwayatakan dari Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Imam Muslim).

Semoga kita termasuk orang-orang yang gigih dalam mencari ilmu, bukan gigih dalam mencari gelar. Jika orientasi kuliah adalah gelar, maka selamat menjadi pengangguran, tetapi jika orientasi kuliah adalah ilmu, mudah-mudahan Allah meninggikan derajat kita.


*Penulis adalah Tholibat Ma’had Abu ‘Ubaidah Ibn Jarrah Medan

Rabu, 12 Oktober 2011

Prahara Fajar : Sebuah catatan tentang syahidnya Ali bin Thalib



Oleh : Usman Al Farisi*




Kisah ini saya tulis untuk mengingatkan kita. Bahwa hidup yang kita jalani pastilah berakhir pada kematian. Kematian yang merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih abadi : Akhirat.

Banyak cara menuju maut. Kebanyakannya ditentukan oleh kebiasaan sehari-hari waktu hidup. Maka jangan heran jika mendengar pelacur mati ketika berzina. Atau pemain sepakbola yang mendadak dijemput izroil ketika sedang mengejar-ngejar kulit bundar. Pun, seorang sholih yang dipanggil Allah dalam ruku’, sujud atau tindak ketaatan lain karena memang semasa hidupnya orang ini terbiasa berada dalam ketataatan dan ketundukan kepada Allah.

Meskipun begitu, kita juga disuguhi sebuah fenomena berkebalikan. Misalnya orang sholih yang mati dalam kekufuran atau orang fajir yang meninggal dalam keadaan ketaatan. Jika ini yang terjadi, maka ini adalah pengecualian. Allah berkehendak membuat pelajaran bagi kita, bahwa iman yang ada haruslah dijaga terus hingga ajal menjemput. FirmanNya, “ Bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim (berserah diri kepada Allah).”

Jika yang terjadi adalah orang fajir mati dalam keadaan taat, maka maknanya bahwa kita tidak boleh mevonis seseorang. Karena hidup bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kehendakNya, juga lantaran upaya yang kita lakukan. Hal ini, jika kita lakukan akan membuat hidup ini berjalan pada relnya. Agar kita tidak merasa benar sendiri dan juga tidak sombong. Sekali lagi, karena ketika kita masih hidup, semuanya bisa berbolak-balik sesuai apa yang Allah kehendaki.

Tentunya, kita semuanya berharap agar kita bisa menjumpai maut dalam keadaan terbaik : Khusnul Khotimah.

Kisah yang akan saya sajikan juga bermakna demikian : Bahwa pembawa kebenaran, pembela panji-panji Allah seringkali menghadapi uji dan coba yang tidak ringan. Mereka harus siap dengan segala macam intimidasi, makar dan seterusnya. Dimana mereka tidak hanya mengorbankan waktu, kesempatan maupun harta mereka, melainkan juga nyawa. Ya. Dalam memperjuangkan kebenaran, seringkali kita harus mengorbankan nyawa yang memang hanya satu ini.

Berikut kisahnya, selamat membaca!

Sebelum wafatnya, Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib. Kata Nabi, “ Kamu (Ali) tidak akan mati melainkan dalam keadaan jenggotmu bersimbah darah.” Ali yang sangat mempercayai nabi itu hanya tersenyum. Senyumannya itu bermakna bangga. Karena sabda nabi itu bermakna bahwa Ali akan menjemput maut dalam keadaan Syahid- memperjuangkan Agama Allah.

Bermula dari syahidnya Sayyidina Utsman bin Affan yang ditikam ketika sedang bertilawah, prahara yang menggunjang peradaban islam itupun semakin menjadi-jadi. Maka, setelah beliau dimakamkan, para sahabat berselisih faham. Ada yang mengusulkan untuk memberikan Qishash kepada pemberontak, adapula yang mendesak agar segera dilantik Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus Utsman – khalifah ke-empat. Atas persetujuan para Ahli Badar yang masih hidup, maka Ali-pun dilantik menjadi khalifah. Ketika itu bertempat di masjid.

Selama menjabat, kepemimpinan Ali tidak pernah sepi dari makar. Makar ini bersumber dari si munafik, na’udzubillahi min dzalik, Abdullah bin Saba’. Isu yang ia gulirkan masih seputar kebatilan pemerintahan Ali. Hingga puncaknya terjadilah perang Jamal dan perang Shiffin-perang saudara dalam sejarah kecemerlangan Islam. Ulama’ salaf bersepakat untuk tidak membicarakan perang ini lebih jauh, karena hanya akan menambah fitnah. Pasalnya,meski para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum saling beradu senjata, tapi hati mereka senantiasa bersatu padu dalam ketataan pada Allah, hati mereka sennatiasa berpelukan dalam kecintaan kepada Penciptanya. Mereka masih satu payung dalam mengakkan ajaran islam itu sendiri.

Hal ini bisa dibuktikan dari sebuah riwayat berikut. Ketika itu, Ali didatangi oleh seseorang yang tiba-tiba bertanya, “ Wahai Khalifah, Apakah orang-orang yang memberontak pemerintahanmu sekarang adalah orang musyrik?” Jawab Ali tenang, “ Bukan. Mereka dalah orang yang lari dari kesyirikan.” Karena tidak puas, orang tersebut melanjutkan tanyanya, “ Apakah mereka ( para pemberontak ) adalah orang-orang munafik?” dengan ketenangan yang tak berkurang dari sebelumnya, Ali menjawab tegas, “ Bukan. Karena orang munafik itu sangat sedikit sekali menyebut Allah.” Orang itupun kembali bertanya, “ Lalu, siapa mereka?” jawab Ali mengakhiri, “ Mereka adalah orang beriman yang tidak sependapat denganku.”

Sebuah jawaban yang sangat bijak. Potret sejati kepemimpina dalam Islam. Jika saja yang ditanya bukan Ali, jawabannya pasti akan sangat berlainan. Apalagi ketika kekuasaan telah ditangannya.

Abdullah bin Saba’ sebagai gembong teroris ( baca ; munafik ), tidak berhenti menyebarkan fitnah. Sampai kemudian datanglah seorang khawarij bernama Abdullah bin Muljam. Diriwayatkan, ada seorang wanita khawarij yang dilamar oleh Abdullah bin Muljam. Wanita tersebut meminta mahar berupa kepala Sang Khalifah - Ali bin Abi Thalib. Maka, ia bergegas untuk mengasah pedangnya selama 40 malam. Sebuah niat keji yang sudah direncanakan dengan sangat baik.
Ketika masa 40 hari itu telah selesai, tibalah malam prahara itu. Malam prahara yang kelak mengantarkan sang khalifah kepada kesyahidan. Malam itu adalah malam 17 Ramadhan.

Seperti biasanya, Sang Khalifah menghabiskan malam dalam ketaatan. Tahajud, dzikir dan muhasabah. Ketika fajar telah menyingsing, beliau keluar rumah. Ketika keluar rumah, beliau mendengar suara gaduh, kokok ayam yang tidak seperti biasanya. Lalu, dengan ketajaman basyirahnya, beliau berkata kepada ayam-ayam tersebut, “Sesungguhnya aku akan menjemput syahid.”

Seketika itu juga, sebuah sabetan pedang menimpa tubuh kekar Sang Khalifah. Sebanyak tiga kali. Sehingga darah benar- benar membasahi sekujur tubuh beliau, sampai jenggot beliaupun berwarana merah karena darah yang membasahi.

Para sahabatpun bergegas menuju kegaduhan itu, maka diamankanlah Sang Khalifah menuju rumahnya, sementara sang pembunuh keji itu diringkus. Ketika melihat jenggotnya bersimbah darah, Sang Khalifah tersenyum sambil berkata, “ Wahai Nabi, janjimu sungguh benar.” Ia mengatakan itu karena teringat dengan sabda nabi ketika beliau masih hidup.

Maka, dihadapkanlah sang pembunuh kepada Ali. Dengan suara kejamnya, sang pembunuh berkata, “Aku telah mengasah pedangku selama 40 hari untuk membunuhmu. Dan aku benar-banar telah melakukannya.” Dengan senyum khasnya, sambil menahan sakit karena tebasan pedang, Ali menjawab santai, “ Sesungguhnya, pedang itu tidak membunuhku. Karena kematianku bukan lantaran bacokan pedangmu. Pedang yang telah kau asah itu akan membunuh pengasahnya sendiri.”

Khalifah Ali-pun berkata kepada para sahabat yang hadir,” Jika Aku hidup setelah kejadian ini, maka biarkan dia – Abdullah bin Muljam – hidup. Namun, jika Aku mati, maka qishashlah ia dengan pedangnya sendiri.”

Dua hari setelah malam prahara itu, Sang Khalifah terbang. Beliau menemui tiga kekasihnya yang telah lama mendahuluinya : Rasulullah, Abu Bakar Ash Shidiq, Umar Bin Khattab dan Utsman bin Affan. Beliau benar-benar menjemput kematian dengan cara yang terindah : Syahid.

Ali bin Abi Thalib, adalah pribadi agung. Ia adalah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ali adalah menantu Nabi. Bahkan, ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman melamar Fathimah-anak nabi-, beliau menolak ke-tiganya karena nabi ingin menikahkan Fathimah dengan Ali. Nabi adalah gudang ilmu, sementara Ali adalah pintu gerbang untuk memasuki gudang tersebut. Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda, “ Siapa yang memusuhi Ali, maka ia telah memusuhiku. Dan barangsiapa mencintai Ali, maka ia mencintaiku juga.”

Dalam perjalanan kehidupan berislam, kita mendapati dua golongan yang bertolak belakang dalam menyikapi Ali. Ada yang mengagungkan Ali secara membabi buta, golongan ini adalah Syi’ah. Adapula golongan yang sangat membenci Ali secara berlebihan yaitu Khawarij. Maka, yang terbaik adalah golongan Ahlussunah Wa Jama’ah : Yang menempatkan Ali sesuai kapasitasnya. Sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah ke-empat umat ini dengan segala kelebihan juga kekurangannya sebagai manusia biasa.

Sang Khalifah telah pergi dengan segala kemuliaannya. Semoga kita diberi kemudahan dalam meneladaninya, semoga kita bisa menapaki jejak kebaikannya, semampu kita. Semoga Kita bisa menjemput maut dalam keadaan terbaik sebagai syuhada’. Bagaimanapun caranya, terserah Allah.
“ Amiitna ‘alaa syahadati fii sabilik, Innaka ni’mal maula wa ni’man nashiir. Matikan kami dalam syahid di jalanMu. Engkaulah Maha Pelindung dan Maha Pembela.”



*Penulis adalah seorang penjual buku yang ‘numpang hidup’ di bumi Depok – Jawa Barat.

Senin, 03 Oktober 2011

Cerpen Putu Wijaya : Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata

CERPEN KOMPAS : Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata

Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata



Oleh: Putu Wijaya



Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.

Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.

”Mencari bunga untuk apa Pak?”

Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.

”Bunga untuk ulang tahun.”

”Yang harganya sekitar berapa Pak?”

”Harga tak jadi soal.”

”Bagaimana kalau ini?”

Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.

”Itu?”

Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.

”Itu saya sendiri yang merangkainya.”

Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.

”Ya, ini yang aku cari.’

Dia mengangguk senang.

”Mau diantar atau dibawa sendiri?”

”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”

Ia kelihatan bimbang.

”Berapa duit.”

”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”

”Tidak, aku mau ini.”

”Bagaimana kalau itu?”

Ia menunjuk ke bunga lain.

”Tidak. Ini!”

”Tapi itu tak dijual.”

”Kenapa?”

”Karena dibuat bukan untuk dijual.”

Aku ketawa.

”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.

”Dua.”

”Dua apa?”

”Dua juta.”

Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.

”Jadi, benar-benar tidak dijual?”

”Tidak.”

Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.

”Bagaimana kalau itu?”

Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.

Dia tercengang.

”Bapak mau beli?”

”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.

”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”

Aku terpesona tak percaya.

”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”

”Duapuluh ribu cukup.”

”Rumah Bapak di mana?”

”Cirendeu.”

”Cirendeu kan jauh?”

”Memang, tapi dilewati angkot.”

”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”

”Habis, naik apa lagi?”

”Tapi angkot?”

”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”

”Bukan begitu.”

”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”

”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”

”Ya, hitung-hitung olahraga.”

Dia menatap tajam.

”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”

Aku tercengang.

”Kurang?”

“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”

Dia tersenyum. Cantik sekali.

”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”

”Tidak.”

Dia berpikir.

”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”

”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”

”Yang dicintai mestinya.”

”Ya. Jelas!”

”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”

Aku terpesona lalu mengangguk.

”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”

Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.

”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”

”Tidak. Kamu.”

Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.

”Kamu saja yang memilih.”

”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”

”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”

”Cinta, persahabatan, atau sayang?”

”Semuanya.”

Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:

”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”

Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.

”Bagus?”

Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.

”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”

”Ya?”

”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”

Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.

”Kamu saja yang tanda tangan.”

”Kenapa saya?”

”Kan kamu yang tadi menulis.”

”Tapi itu untuk Bapak.”

”Ya memang.”

Ia bingung.

”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”

”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”

”Makanya!”

Ia kembali bingung.

”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”

Dia bengong.

”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”

”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”

”Ya.”

”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”

”Ya. Apa salahnya?”

”Bapak yang ulang tahun?”

”Ya.”

Dia menatapku tak percaya.

”Kenapa?”

”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”

”Mereka siapa?”

”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”

”Mereka terlalu sibuk.”

”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”

”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”

Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.

”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”

Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.

Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.

”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”

”Kenapa? Kan sudah aku beli?”

Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.

”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”

Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.

”Aku pemilik toko ini.”

Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.



Jakarta, 30 Juni 2011


Copas dari FB
Aiman Bagea

Minggu, 02 Oktober 2011

Event CAPER-KESAN “Catatan Perjalanan yang Berkesan”

Bismillahirahmanirrahim



Event CAPER-KESAN “Catatan Perjalanan yang Berkesan”



Suatu saat sahabat tentu pernah mengunjungi suatu tempat yang berkesan, baik dari panorama, fasilitas, keramahan atau bisa jadi kejadian tak terlupakan yang tentu saja mengandung hikmah. Nah... untuk memotret semua itu, Hamasah Komunitas bekerjasama dengan Komunitas Pena Santri mengajak sahabat sekalian untuk menuliskannya dalam sebuah catatan perjalanan yang berkesan.



***

Berikut ketentuannya



1.Merupakan kisah nyata catatan perjalanan yang berkesan, informatif (bisa mengenai budaya,makanan tradisional,kendaraanpermainan,ongkos perjalanan ,makanan yang paling murah dsb )

2.Judul bebas.

3.Diutamakan kisah sendiri dan terdapat ibroh (pelajaran) di dalamnya. Catatan berbahasa Indonesia, boleh disisipi dialog dan bahasa daerah maksimal 5 halaman A4. Huruf TNR, 12.

4.Sertakan biodata naratif maksimal 50 kata.

5.wajib add komunitas hamasah http://www.facebook.com/profile.php?id=100002738965687

6.dan komunitas pena santri http://www.facebook.com/profile.php?id=100000760083208

7. Catatan Perjalanan+Biodata disatu-file-kan kemudian kirim dengan attachment ke rumahhamasah@yahoo.com. Tulis di Subjek : CAPER-KESAN+nama+judul Catatan Perjalanan, contoh : CAPER-KESAN+PRIAN+DI GALUNGGUNG AKU BERNAUNG

8. Deadline 04 November 2011 Pukul 23.59 Sebarkan info lomba ini di catatan Fb atau Blog, tag minimal 20 teman fb dan Hamasah Komunitas

9. Semua naskah yang masuk menjadi milik panitia.



***

Catatan terbaik ke-1 berhak mendapatkan hadiah : 1 buku Pohon Keberuntungan, 2 buah buku Hamasah Komunitas dan souvenir menarik dari Hamasah.

Catatan terbaik ke-2 berhak mendapatkan hadiah : 1 buku Pohon Keberuntungan, 1 buah buku Hamasah Komunitas dan souvenir menarik dari hamasah.

Catatan terbaik ke-3 berhak mendapatkan hadiah : 1 buku Pohon Keberuntungan dan souvenir menarik dari Hamasah.

30 naskah terbaik akan diterbitkan Hamasah Komunitas.

10 naskah terbaik berhak mendapatkan bukti terbit.

Penyumbang naskah yang dibukukan tidak akan mendapat royalti. Keuntungan dari buku akan digunakan untuk pemberdayaan anak yatim.





Salam Hamasah

Hamasah Komunitas www.rumahhamasah.wordpress.com

Komunitas Pena Santri www.pena-santri.blogspot.com

monggo di share :)

Tiga Hal Penting Dalam Hidup





Oleh: Fitri Arniza

Siapapun di antara kita pastilah menginginkan sebuah kehidupan yang damai lagi berkah. Lantas sudahkah kita mengamalkan tiga hal penting yang diajarkan oleh Islam untuk menyikapi hidup ini? Dan apa sajakah tiga hal itu?

Point pertama yang terpenting adalah produktif. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara makhluk lainnya. Ssesuai dengan firman Allah dalam Surah At-Tin ayat ke empat:

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Sebagai makhluk yang paling sempurna, tentulah kita telah diberikan potensi oleh Allah sebagai modal kita dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup ini. Allah memberikan potensi yang berbeda-beda pada setiap individu. Entah itu potensi berupa kecerdasan IQ maupun potensi dalam bentuk bakat-bakat tertentu yang sangat beragam jenisnya. Untuk itulah kita dituntut untuk menjadi pribadi yang produktif.
Salah satu potensi yang diberikan oleh Allah pada sebagian kita adalah kemampuan menulis. Wajib bagi kita untuk mensyukuri apabila kita diberikan potensi untuk bisa menulis, sebab Allah menjanjikan akan senantiasa memberikan pertolongan kepada hamba-Nya yang menulis. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah riwayat yang mengatakan : “Tiga orang yang selalu mendapatkan pertolongan dari Allah Swt. Pertama adalah seorang penulis yang senantiasa memberikan penawar. Kedua seorang mujahid yang senantiasa memperjuangkan agama Allah, dan yang terakhir adalah seorang yang menikah untuk menghindari zina.

Rasanya kita tak perlu berpikir panjang lagi untuk mulai menulis. Bukankah Allah mencintai hamba-Nya yang produktif? Bahkan kita dapat berdakwah lewat tulisan. Maka tak salah pula Gola Gong mengatakan “Jangan mau tidak menulis seumur hidup.”

Tidak hanya menulis, masih banyak potensi-potensi lainnya yang diberikan oleh Allah pada kita manusia. Yang terpenting adalah sejauh mana kemauan kita untuk terus menggali dan mengembangkannya sehingga kita dapat meraih predikat produktif.

“Siapa yang memberikan sesuatu kepadaKu dari apa yang telah Ku kurniakan itu dengan taat, niscaya Kusegerakan membalasnya dalam waktu singkat (dunia) dan Ku simpan baginya untuk waktu mendatang (akhirat).” (HR Rafi’I dari Abu Hurairah ra)

Demikianlah janji Allah pada hamba-Nya yang mau mengembangkan potensi yang telah diberikan oleh-Nya.

Islam tak hanya mengajarkan betapa pentingnya menjadi seorang yang produktif, tetapi juga sangat menganjurkan kita untuk hidup hemat. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Maha Kaya. Allah Swt. telah menganugerahkan berbagai macam kenikmatan di atas bumi ini. Cobalah sejenak kita renungkan berapa banyak kenikmatan yang telah diberikan pada kita. Tentulah kita tidak sanggup menghitung nikmat-Nya. Ini sesuai dengan firman-Nya dalam Surah ke 16 ayat 18 yang berbunyi:

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Tetapi janganlah kita menjadi hamba-Nya yang kufur karena telah menghamur-hamburkan semua rezeki yang telah diberikan oleh Allah pada kita. Islam sangat menekankan pola hidup hemat. Suatu hari Rasullah Saw. pernah berwudhu dengan seorang bernama Jabir. Rasul melihat Jabir sangat boros dalam menggunakan air kemudian Rasul berkata “ Janganlah kamu boros dalam berwudhu.” Kemudian Jabir membalas perkataan Rasul “Mengapa ya Rasul?” Rasul Bersabda “Walaupun kamu berwudhu, gunakanlah air dengan hemat sekalipun kamu berwudhu di air sungai yang mengalir.”
Semakin jelaslah bahwa kita sangatlah dituntut untuk berhemat dalam hidup ini. Bahkan Rasul menyuruh pada kita untuk berhemat dalam hal kebaikan sekalipun seperti contoh di atas. Bahkan Allah pun sangat membenci hamba-Nya yang boros. Sampai-sampai Allah mengatakan orang –orang yang boros (mubajir) tak lain adalah teman setan. Na’udzubillah.

Lantas mengapa kita harus berhemat? Coba kita perhatikan orang-orang di sekeliling kita, bukankah masih banyak saudara kita yang kekurangan hidupnya? Untuk mendapatkan sesuap nasi saja mereka harus banting tulang, berpanas-panasan, bahkan ada pula sebagian mereka yang rela memungut sisa-sisa nasi yang berada di tempat sampah. Sedang kita yang hidup di garis kecukupan sering kali berlebih-lebihan dalam hal yang mubah. Padahal jelas sekali Allah memperingatkan kita dalam Surah Al-An’am : 141 “Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (rasanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesengguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Contohlah kehidupan Rasullah yang senantiasa mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Demikian pula yang dilakukan oleh Aisyah r.a. Urwah bin Azzubair r.a berkata: “ Pernah siti A’isyah r.a. bersedekah lima puluh ribu, sedang bajunya sendiri bertambal.
“Barang siapa yang meninggalkan pakaian yang berlebih-lebihan karena tawadhu’ kepada Allah, padahal ia mampu sekiranya ia mau, maka pada hari kiamat akan disuruh pilih manakah perhiasan iman yang ia suka memakainya.” (HR. At-tirmidzi)
Dan point penting yang terakhir adalah meninggalkan warisan terbaik.

“Lebih baik meninggalkan generasi yang kaya daripada meniggalkan generasi yang miskin.” (Mutafaq ‘alaih)

Alangkah baiknya jika semasa hidup kita senantiasa beramal sholeh dan selalu berbuat kebaikan, kerana hanya Allah yang tahu kapan maut kita tiba. Maka sebelum kita wafat, tinggalkanlah sebuah kebaikan yang dapat memberikan manfaat pada orang lain.

Penulis adalah Tholibat Ma'had Abu 'Ubaidah Ibn Jarrah Medan