Rabu, 25 Mei 2011

Katakan dan Jalanilah Dengan Sederhana oleh Darwis Tere Liye

Katakan dan Jalanilah Dengan Sederhana

oleh Darwis Tere Liye

Naskah Tajuk Cinta Pro2FM (105 FM); Kamis 5 April 2007, jam 22.00
Cinta itu pengorbanan! Teriak lantang seseorang yang kebetulan gagah-berani, yang tubuhnya sedikit berlemak, banyak berotot. Cinta itu pengorbanan?? Tunggu dulu. Bah, pengorbanan apa yang telah kita lakukan demi si dia tercinta? Hujan-hujanan mengantarnya pulang? Sepayung berdua, dan membiarkan sisi kita yang lebih banyak terkena air hujan? Atau pengorbanan saat membatalkan belasan jadwal keluarga untuk menemaninya ke dokter gigi dua kali seminggu? Mengurangi kesenangan pribadi demi menungguinya berjam-jam saat ujian? Itu sih bukan pengorbanan. Atau kalau mau tetap dibilang pengorbanan, ya kelasnya rendah sekali.

Yang kelasnya lebih tinggi? Seperti kita rela mati demi si dia? Aih, hari gini masih bicara nonsense. Bukankah kita malah sering bilang “dasar bodoh” kepada pelakunya saat membaca (misalnya) seorang ibu bunuh diri bersama tiga anak-anaknya yang masih kecil. Padahal boleh jadi bagi Ibu tersebut itulah wujud cinta sejati dengan anak-anaknya. Hidup bersama, mati juga bersama. Atau kita justru mengangkat alis tidak bersimpati saat membaca sepasang kekasih ditemukan mati berpelukan di pinggir sungai dengan botol baygon beberapa tahun silam (karena cinta mereka dilarang oleh orang-tua). Lupakan soal memang betapa bodoh keputusan mereka, tapi setidaknya hal ini menunjukkan seberapa baik kita memahami soal pengorbanan, tentang keputusan heroik.

Cinta itu pengorbanan? Ah, tanyakanlah soal ini pada kepiting merah di cadas pantai Pulau Christmas, Australia. Tahukah kita? Saat mereka melepas ribuan butir telur anak2nya ke laut. Mereka akan berdiri gagah berani di bebatuan cadas yang tajam-tajam, kokoh menyambut ganasnya ombak. Kepiting yang jalannya saja tak lurus itu, tahu persis mereka bisa mati saat ombak melempar mereka ke kerasnya cadas, cangkangnya akan retak, kepalanya akan pecah. Hanya segelintir dari mereka yang selamat. Tapi mereka tidak peduli. Telur-telur itu hanya bisa dilepas persis ketika ombak menjilat tubuh mereka, dan mereka bersiap menyanyikan lagu heroik. PENGORBANAN. Itulah ritus pengorbanan setiap tahun yang hebat, melepas telur-telur.

Cinta itu kesetiaan? Seru lantang seseorang yang kebetulan memuja kata setia sepanjang hidupnya. Yang setiap hari berusaha tidak bergeming dari rasa setianya pada si dia tercinta, meski si dia sudah tidak mungkin lagi dimiliki. Bah! Lihatlah sekitar kita, teman. Presenter hebat itu jelas-jelas sudah menikah lebih dari 30 tahun, dan perceraian itu tetap terjadi. Hanya demi gadis lain yang lebih muda. Lebih menarik (tentu saja). Lantas di mana janji setia itu? Yang boleh jadi terucap hot nian waktu masa-masa pacaran dulu. Atau contoh yang lain lagi, simaklah! Dai kondang itu sudah menikah puluhan tahun, memiliki banyak anak, dulu hidup susah bersama, tapi tetap memutuskan untuk berpoligami. See? Lantas di mana saat-saat romantis yang rajin terlihat di media massa? Ah, saat ini saya benar-benar tidak berkepentingan membahas soal boleh-tidak. Kontroversi, dll. Saat ini kita sedang membahas tentang cinta, sedang berusaha menggugah kita tentang pemahaman yang selama ini terlanjur diyakini.

Sekali lagi apakah cinta itu kesetiaan? Well, tanyakanlah urusan ini pada penyu-penyu. Meski jalannya lambat, nyebelin nunggunya, apalagi dipandang mata. Penyu adalah bentuk sempurna di muka bumi atas makna sebuah KESETIAAN. Saat mereka lahir, saat tukik penyu merangkak menyambut semburat cahaya matahari pagi, saat mereka bergerak bagai manuver tank amfibi berbaris menuju lautan untuk pertama kalinya, saat itulah janji setia mereka terucap. Mereka akan berenang, berpetualang mengelilingi dunia, puluhan ribu mil, menjejak benua-benua jauh. Laut-laut terdalam. Bertemu ribuan kehidupan lainnya. Boleh jadi tubuh mereka penuh luka, tersayat jala nelayan, tersiram minyak polusi. Boleh jadi mereka bertemu dengan penyu lokal di benua sana, yang lebih seksi nian di mata mereka, boleh jadi…. Tapi mereka setiap tahun pasti akan kembali ke pantai saat tukik mereka dulu merayap pertama kali. Kembali! Untuk bertemu dengan cinta sejati mereka. Untuk bertelur…. Inilah ritus hebat ribuan tahun tentang KESETIAAN. Tahukah kalian berapa umur penyu? Di antara mereka ada yang bisa mencapai 300 tahun! Kalian bisa setia selama itu?

Cinta itu soal keindahan? Ah, tahu apa kita soal keindahan dibandingkan burung merak. Saat mereka sedang “jatuh cinta”, berusaha menggoda si dia, maka mereka akan membuka lebar-lebar bulu ekor mereka yang seperti kipas. Sejuta warna di sana. Sejuta motif pula. Itulah keindahan yang mahal sekali harganya, karena bulu ekor itu justru memancing binatang pemangsa lainnya, terutama manusia yang suka sekali memburu “keindahan” burung merak. Data statistik menunjukkan mereka terancam punah karena urusan ekor ini, padahal salah apa coba ekor mereka?

Teman, saya tidak sedang berusaha mendoktrin kita tentang pemahaman baru. Saya hanya berusaha memetakan masalah ini agar lebih proporsional. Boleh saja jika kita tetap bilang cinta itu kesetiaan. Boleh saja kita tetap bertahan, menunggu, tidak bergeming. Ini justru baik dan membanggakan dalam banyak kasus. Tapi jika kesetiaan itu untuk hal yang bodoh, tidak rasional lagi, atau malah menyakiti diri sendiri, tentu urusannya menjadi lain.

Saya amat meyakini cinta itu amat sederhana. Jika ada seseorang yang bertanya apa pertanda kalau ia sedang jatuh cinta, maka jawabannya akan sederhana pula. Misalnya: jika kita merasa terganggu saat si dia bicara soal gadis lain, tidak nyaman saat dia bicara soal mantan-mantannya dulu. Itu jelas kita mulai menyemai perasaan tersebut. Jika kita mulai ingin tampil lebih menarik di depannya, itu lagi-lagi jelas pertanda sederhana. Apalagi saat kita mulai selalu ingat, selalu ingin bersama, bahkan wajahnya memenuhi kepala kita, anak kecil saja tahu kalau kita memang sedang jatuh-cinta.

Jika urusan ini memang sederhana, maka janganlah dibuat rumit. Saya kadang kehilangan kata-kata saat mendengar cerita pertengkaran, keluhan, curhat, dan apalagi saat mendengar orang-orang berkata “It’s complicated”. Kalau memang terlihat rumit, LUPAKANLAH! Itu jelas bukan cinta sejati kita. Cinta sejati selalu sederhana…. Pengorbanan yang sederhana, kesetiaan yang tidak menuntut apapun, dan keindahan yang apa-adanya….

Terakhir, saya ingin menutup tajuk ini dengan sebuah kisah yang sering kali kita dengar. Bahkan mungkin pernah kita baca berkali-kali karena dire-posting di mana2. Akan saya ceritakan ulang (karena sy tdk tahu siapa penulis pertama kisah ini, jd sy tdk bisa merujukkan namanya)…. Tentang seorang gadis yang diberikan kesempatan berbelanja “cinta” di sebuah toko “Calon Suami”. Ada enam lantai di toko tersebut dengan masing-masing kelompok calon suami, setiap gadis yang masuk bisa memilih cintanya di setiap lantai dengan satu SYARAT: "Anda hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI" Dan jika sudah naik ke lantai berikutnya, sama sekali tidak boleh turun. Lalu, seorang gadis pun pergi ke toko "suami" tersebut untuk mencari calon suaminya.
LANTAI 1 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan. Wanita itu tersenyum, kemudian dia naik ke lantai selanjutnya.

LANTAI 2: Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, dan sayang anak kecil. Kembali wanita itu naik ke lantai selanjutnya.

LANTAI 3: Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, sayang anak kecil dan cakep
banget. ” Wow”, tetapi pikirannya masih penasaran dan terus naik.

Lalu sampailah wanita itu di lantai 4 dan terdapat tulisan LANTAI 4: Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, sayang anak kecil, cakep banget dan suka membantu pekerjaan rumah. ”Ya ampun !” Dia berseru, ”Aku hampir tak percaya.”

Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini: LANTAI 5: Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, sayang anak kecil, cakep banget, suka membantu pekerjaan rumah, dan romantis.

Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah terus ke lantai 6. Tapi apa yang dia temukan? Ya ampun hanya terdapat tulisan seperti ini: LANTAI 6: Anda adalah pengunjung yang ke-4.363.012. Tidak ada lelaki di lantai ini. Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk wanita yang tidak pernah merasa puas. Terima kasih telah berbelanja di toko "Suami". Hati-hati ketika keluar toko dan semoga hari yang indah buat anda.

Pesan moralnya? Kesempatan tidak datang dua kali. Terimalah cinta kita dengan sederhana, katakan dan jalanilah dengan sederhana pula. Dengan demikian, semoga cinta sejati kita justru membuat iri seluruh semesta alam, termasuk si kepiting, penyu, dan burung cendrawasih tadi.

Adios-
Makassar, 29 Maret 2007

Nah, lagi Copas Dari Bang Darwis Tere-liye..
ayo yang belum gabung di Fan Page beliau, mari gabung

Selasa, 17 Mei 2011

SI PEMBUNUH, PEMBUNUH (Cerpen)

SI PEMBUNUH, PEMBUNUH
By: Beny Yusman

Mengigil kulit ini terperangkap dingin, gerimis membasahi tanpa ampun, tanpa jeda. Sendiri, aku disini di ruang kosong nan hampa. Duduk bersila kepala merunduk, semuanya basah, baju, sarung, dan kopiyah membalut tubuhku. Air mata yang keluar tak sedikitpun membantu, membatunya hati tetap saja begitu. Hujan berhenti, terasa enggan ia membelai tubuhku lagi dengan airnya. Dan disini aku tetap duduk bersila, kepala merunduk. Ada yang beda, air hujan berhenti tapi tidak dengan air mata ini, terus saja ia membawaku pergi melanglang jauh sampai ke peranduan mentari yang semburat muncul di ufuk timur, mengakhiri malamku.
Mataku sudah lelah, jam menunjuk setengah tujuh, memaksaku harus segera membuang semua sesal yang melekat, membuang semua kesedihan yang mencekam kesadaran, aku harus menyiram semua sisa-sisa debu malam biar bersih tak tersisa di tubuhku.”bon kamu sudah siap berangkat ke sekolah?”, ”ya tunggu sebentar”, sahabatku Azis namanya, di setiap roman pagi hari, ketika sudah mau berangkat sekolah dia memang selalu mampir, dengan pertanyaan yang selalu sama, dia menungguku di pinggir jalan, depan gubukku, dialah sahabat karibku, berperawakan sederhana sehingga tak tampak bahwa sebenarnya dia adalah anaknya orang yang berpunya, orang tuanya tercatat sebagai salah satu anggota DPR di kotaku walaupun aku sendiri memang tidak tahu pasti siapa nama bapaknya itu, berbeda seratus delapan puluh derajat denganku, aku hidup tanpa ada ayah dan ibu di sisi, mereka berdua hilang di telan bumi tiada sejarah bertutur tentang mereka, bahkan nenekku pun enggan memberi penjelasan,”sudahlah ndo’ jika sudah tiba waktunya nanti kamu akan tahu sendiri”. Hanya itu yang selalu aku dengar dari nenekku, suara dengan irama yang tak sedikitpun berubah, kata-kata layaknya tembok berlin memaksaku harus diam tak bergeming di buatnya, kata-kata yang mungkin takkan pernah berubah kecuali kalau waktu sudah memberi aba-aba, yah seperti itulah sikap nenek.
Nenekku adalah pahlawan bagiku, siang hari ia lumat dalam setalam gorengan pisang, ia berjalan melukis lorong-lorong di antara rumah-rumah warga sekitar, mencari setetes rizki yang mungkin Tuhan titipkan di hati para warga, semangat tanggung jawabnya membiayaiku kokoh, mengalahkan usia yang memeluknya, tak peduli ia akan keriput kulit yang memintanya untuk lebih banyak istirahat di rumah, tetap saja ia melumat siang di atas setalam gorengan pisang, jika mujur sepuluh ribu rupiah uang nenek akan kantongi, jika tidak hanya sebatas tiga ribu rupiah pun sudah cukup membuat lidah nenekku basah dengan memanjati rasa syukur alhamdulillah. Bersama semburat mentari pagi ia mulai merangkai langkah di atas kerasnya bebatuan takdir hingga sore menjelang baru ia datang. Selalu begitu episode hari-hari yang nenek lewati, sejak aku masih belajar berjalan, sejak lidahku masih belum bisa mengeja alif, ba’ ta’ dan seterusnya. Dialah pahlawanku satu satunya. Masih aku ingat pesannya, “ingat ndo’ sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain, sayangilah semua hamba Allah dibumi ini, niscaya semua hamba Allah di langit akan menyayangimu”.
###
Sepulang sekolah, sang raja siang sedang bermegah keperkasaan cahaya di puncak langit, mengundang keringat bersua baju. Aku tidak sendiri, ada sesosok manusia berjalan di sampingku, menemaniku, bersama berpawai awan mengiringi hingga nampak gubukku disana,”bon nenekmu belum datang jam segini”, ”ya zis, biasanya dia pulang jika hari menjelang sore”. Tak terasa sepuluh menit waktu yang aku kantongi dari sekolah ke gubukku. Dengan diameter lima kali lima, gubukku sudah cukup membuatku menggali kesadaran untuk selalu bersukur, karena aku tahu di luar sana masih banyak orang terlantar tidak punya tempat tinggal, gedek yang menjadi selimut lapis di semua sudut samping kiri, kanan, depan dan belakang gubukku sudah cukup melindungiku dan nenek dari gombalnya hujan, dan terik siang yang merayu, atap yang terbuat dari jerami terlalu kuat untuk di tembus oleh geliat tarian air hujan.
Seragam putih abu-abuku ku sandingkan dengan paku yang tertanam di balik pintu kamar, ku lepas kemewahannya ku ganti dengan celana pendek dan kaos yang sudah tidak perawan lagi, bolong-bolong yang terlihat seperti lubang danau yang menghiasi daratan. ”kamu mau kemana bon” tanya Azis yang masih berdiri mematung di depan gubukku, “aku mau mencakul di sawah zis”, “kamu nga’ mau ikut main bersamaku”, “mungkin lain waktu saja zis”, kata kata itu memutus dialog kami, memberi isyarat, Azis menyungging senyum diwajahnya, berlalu ia pergi pulang ke rumahnya, kira-kira berjarak lima puluh meter dari gubukku. Sungguh dia berperawakan sederhana, seragam putih abu-abu, sebuah tas yang mengalung di punggungnya, serta kacamata yang menggantung semuanya memancarkan kesederhanaan.
###
Terlihat sang raja siang merebah di antara ketiak pepohonan bambu, aksara warna memerah menjadi penyedap bagi wajah langit sore. Ada kegalauan di hati, nenekku, pahwalanku tak jua menampak di antara pendar warna merah langit sore kali ini, tak seperti biasanya, padahal dalam setiap kisah langit sore dia selalu tampil bagai malaikat yang bersayap, mengganti cahaya sang raja siang dengan cahaya yang ia pancarkan dari setiap dzikir di gubuk kami ketika malam menyapa, sehingga tak ada malam pekat ku kecap, tapi sekarang kemanakah pahlawanku, tanpanya malam ini sangat hampa kurasa. Kututup pintu gubuk, aku sambut langkah kaki berayun, genderang berpalu-palu selalu bertalu di dada. Hanya do’a menjadi penyanggah kesadaran. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, aku tahu nenekku sudah tidak bertenaga muda lagi namun aku yakin dia tidak terhinakan di atas panggung sandiwara ini, nenekku adalah pahlawan yang gagah perkasa layaknya tenaga para kesatria sparta berada di balik kulitnya yang sudah mengeriput. Dalam melodi perjalanan menyusuri rumah-rumah warga, tanyapun tak hentinya ku nyayikan kepada setiap orang yang aku temui, entah kenapa tak jua mereka berkata tahu, sampai adzan isya’ berkumandan di masjid, mengharap langkah tuk sejenak berhenti, akhirnya ku simpan lelah dalam balutan wudhu’ lalu di rangkai dengan sholat, Allahhuakbar,,,!! Bergetar suaraku memulainya, terselip air mata menganak sungai mengalir di wajah pucatku, tak henti hati berdo’a “ya Allah lindunginlah nenekku jangan sampai bejat hinanya dunia menyentuh kulit keriputnya yang suci, antarkanlah hamba ini kepadanya, dimanapun engkau menempatkannya, lihatlah dalam harap di dadaku ini Tuhan, antarkanlah hamba kepadanya. Karena malam sungguh kejam jika dia harus sendiri menjalaninya, biarlah hamba membawanya pulang kembali ke gubuk kami”, assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh,,,,!!, assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatu. Aku akhiri sholatku. Keluar dari masjid, riuh riak angin malam membelai wajahku yang masih basah dengan airmata. Tak tahu kemanakah langkah harus berarah, sudah sejauh satu kilo meter dari gubukku aku terpasung saat ini.
“kamu boni cucunya nenek mariam ya kan?” seseorang dengan langkah yang berlawanan arah dengan jalan yang ku arahkan kaki ini, bertanya, “ya aku boni mas, mang kenapa?”, “pasti sekarang kamu mencari nenekmu”, ”mas tahu dimana nenekku berada sekarang?” darahku membuncah ke ubun ubun ada sebutir harap keluar menampakkan dirinya, aku akan segera bertemu dengan pahlawanku. “ya nenekmu sekarang berada di rumah sakit umum daerah, mari kita kesana, aku kesini memang mau menjemput kamu” laki-laki itu menjelaskan. Mendengar itu tubuhku bergetar, hatiku lumpuh oleh serangan tanya yang bertubi-tubi, ada apa gerangan dengan pahlawanku?. Sekitar sepuluh menit perjalanan telah berlalu, waktu pun mengatarkanku ketempat dimana pahlawanku berada.
“mas, kami mohon ma’af, ini semua diluar kemampuan kami, pasien yang bernama ibu Mariam tidak terselamatkan”.
“dokter jangan ngawur”. Aku mendesak, dadaku tersentak.
“sabar bon ini garis takdir yang telah di tetapkan”. tutur dokter menabahiku di ruang dimana pahlawanku berpejam mata untuk selamanya. Kulihat wajah manisnya, tubuhnya yang tersimpan semangat dan tenaga kesatria sparta terbaring di atas permadani putih, diam tak bergerak, nenekku, pahlawanku kenapa kamu meninggalkanku sebatang kara, siapa lagi yang akan membelai rambutku ketika kantuk memelukku, siapa lagi yang akan membangunkanku untuk sholat tahaajud, siapa lagi yang akan mengusap airmataku ketika masalah memaksaku untuk mengeluarkan air mata ini, sungguh semua jasa yang telah engkau perbuat belum mampu aku untuk membalasnya dan walau sampai hari dimana aku sudah tidak mampu lagi menarik nafas. Aku seperti bunga mawar tak lagi memancarkan harum baunya, hanya tinggal duri melekat di hati, seperti pohon kering merangas tanpa desah, yang enggan lagi menari bersama gemulai angin malam hari. Tuhan kenapa semuanya engkau ambil dari sisiku, ibu, bapak dan sekarang engkau ambil nenekku. “bon tadi sebelum aku berangkat menjemputmu, nenekmu sempat berpesan kepadaku, dia menyuruhku menyampaikan ini kepadamu karena inilah saatnya kamu tahu tentang kedua orang tuamu katanya. seperti ini bon,,,,!!”.
###
Damai terasa, keheningan adalah sahabat bagi jiwa yang merana. Tak salah aku mengira hidup di balik jeruji besi lebih indah daripada hidup bebas di luar sana, disini aku menemukan ketenangan, aku tidak peduli bahwa sekarang orang telah menyebutku sebagai pembunuh, pembunuh seorang anggota DPR, malah aku menemukan kebahagiaan karena aku telah membunuh seorang pembunuh. Aku sudah jijik hidup di luar, di negeri yang kotor ini, nyawa sudah tidak berharga lagi adanya, dominasi kepentingan mengalahkan nilai-nilai moral kemanusiaan, lebih baik hidup berteman jeruji besi jauh dari hiruk pikuk kehidupan jahiliah yang sudah terkontaminasi neo kanibalism yang berorientasi politis.”saudara boni anda ada yang menjenguk”, suara penjaga tertuju kepadaku, pikiranku jatuh dalam pelukan pertanyaan-pertanyaan, tak paham siapa sebenarnya yang mau menjengukku padahal tiada lagi tersisa, ibu, bapakku dan juga pahlawanku mereka sudah mendahuluiku. Aku berjalan menapaki lorong di balik jeruji terlihat di ujung sana tempat pertemuan dengan penjenguk, sekilas aku mengenali sesosok yang duduk disana, sesaat puzzle itu mulai berbentuk, ya dia sahabat karibku satu satunya, dia adalah Azis sosok yang berperawakan sederhana yang sudah sekitar tiga tahunan waktu memisahkan kami dari kebersamaan, terakhir pertemuan kami terbingkai dalam lulusan SMA masa lalu. Ada yang lain di wajahnya, sungging senyumanya tak jua tampak, hampa tatapannya kepadaku tetaplah tak mencair, membentuk tanya dalam dada, ada apa dengan sahabatku yang satu ini. Secepat kilat ia menghampiriku, tapi bukan dengan sambutan pelukan mesra sebagai seorang sahabat, dia labuhkan tangannya yang tergenggam ke dadaku, pukulan layaknya palu godam menghempaskan tubuh ini ke lantai, tak henti waktu memberinya kesempatan memukulku, tanpa ada penjaga yang tahu. Merah darah di lazuardi wajahku sedikit telah mengalir, tak ada riak di wajah Azis sorotan matanya mematahkan hasratku untuk melawan. “ada apa denganmu zis?”, kulihat tak jua mereda amarah yang menguasai Azis, sesaat kemudian dia beranjak mundur menjauhiku, kulihat amarah itu mulai padam, matanya menyapu lantai, airmatanya mulai menampak, dia kembali duduk tenang, kepalanya masih merunduk. “kenapa harus kamu bon”, ’apa maksudmu zis?”, ”kamu tahu pak Subroto salah satu anggota DPR yang telah kamu penggal kepalanya, dia adalah bapakku bon,,,,! dia adalah bapakku, kenapa kamu lakukan ini kepadaku”. Seketika apa yang melucur dari mulut Azis itu mendarat di telingaku, terasa hati teriris, menusuk tulang, tubuhku perih, tapi bukan karena torehan tangan Azis tadi, tapi karena kesadaranku terkoyak oleh tajamnya skenario takdir yang begitu kejam, kenapa harus Azis, anak baik berperawakan sederhana menjadi anak pak Subroto, orang yag telah mengambil telaga kasih sayang orang tua dariku, orang yang membubuhkan luka di hati nenek, pahlawanku. Pak Subroto yang demi kepentingan perebutan kursi di DPR telah menggadai nyawa ibu bapakku di tangan pembunuh bayaran, sehingga tak sehelai rambut ibuku dapat ku cium harumnya, sehingga perkasanya otot bapakku tak dapat kulihat, pantas saja dendam ini memuncak dan tiada berkesudahan kesedihan aku rasakan sampai dimana aku harus merasakan bau darah segar dari pembunuh kedua orang tuaku itu, tapi kenapa harus Azis anaknya.
“apa kamu bilang,,,!! pak Subroto itu adalah bapakmu, sungguh aku tidak tahu masalah itu zis”, “ia dia adalah bapakku, kenapa kamu membunuhya bon?” suaranya meninggi. “zis apa yang kamu rasakan sekarang sama seperti apa yang aku rasakan, betapa sakitnya di tinggal orang yang sangat kita kasihi”,”apa maksudmu”,”kamu harus tahu bahwa orang yang berada di balik terbunuhnya kedua orang tuaku dulu adalah bapakmu, dia yang harus bertanggung jawab atas hilangnya kasih sayang orang tua yang semestinya aku merasakannya mulai dulu, semua itu aku tahu dari pesan terakhir nenekku”. Teriring airmataku juga tumpah, dalam isakan tangis aku sampaikan fakta itu kepada Azis. Hening tiba-tiba melingkupi ruang, hanya ada kisah bertutur airmata mengalir, di mataku dan dimata sahabat karibku, Azis.

PONDOK PESANTREN MASKUMAMBANG GRESIK

PONDOK PESANTREN MASKUMAMBANG GRESIK
( http://maskumambang.ac.id )

Pondok Pesantren Maskumambang didirikan pada tahun 1859 M./1281 H. oleh K.H. Abdul Djabbar sebagai usaha beliau untuk mencetak kader-kader dai yang diharapkan dapat menghapus kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pada awal berdirinya, Pesantren Maskumambang yang terletak di Desa Sembungan Kidul Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur, (± 40 km arah barat laut Kota Surabaya) hanya mendidik masyarakat sekitar Maskumambang, dan itupun terbatas pada pelajaran al-Quran dan tafsir serta fiqih.
Metode yang digunakan juga masih terbatas pada metode sorogan, bandongan, dan halaqah. Pada tahun 1907 M. bertepatan dengan tahun 1325 H. K.H. Abdul Djabbar berpulang ke rahmatullah dalam usia 84 tahun, dan kepemimpinan pesantren diteruskan K.H. Moch. Faqih yang terkenal dengan sebutan Kiai Faqih Maskumambang.
Pada masa kepemimpinan K.H. Moch Faqih, Pondok Pesantren Maskumambang mengalami perubahan yang cukup berarti. Santri yang datang mengaji tidak hanya berasal dari sekitar Maskumambang, tetapi banyak juga yang berasal dari daerah lain.
Pada tahun 1937 M. bertepatan dengan tahun 1353 H., K.H. Moch. Faqih berpulang ke rahmatullah dalam usia 80 tahun dan kepemimpinan Pondok Pesantren Maskumambang diteruskan oleh putra keempat beliau yaitu K.H. Ammar Faqih.
Pada masa kepemimpinan K.H. Ammar Faqih, selain sebagai tempat mengaji atau memperdalam ilmu agama lewat pelajaran al-Quran, Hadis, dan kitab-kitab kuning lainnya, oleh K.H. Nadjih Ahjad, yang saat itu sudah ikut mengasuh Pesantren Maskumambang, diselenggarakan pula Madrasah Banat (madrasah putri).
Selain itu, Pondok Pesantren Maskumambang juga dijadikan markas para pejuang kemerdekaan dari Gresik, Surabaya, dan Lamongan.
Pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965 M. K.H. Ammar Faqih berpulang ke rahmatullah. Sebelum berpulang ke rahmatullah, beliau telah menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada menantu kedua beliau yaitu K.H. Nadjih Ahjad.
Dalam memimpin pesantren, K.H. Nadjih Ahjad melakukan pembaruan-pembaruan dalam bidang kelembagaan, organisasi, metode, dan sistem pendidikan, kurikulum, serta bidang sarana/prasarana.
1. Bidang Kelembagaan
Dalam bidang kelembagaan K.H. Nadjih Ahjad mengubah sistem pengelolaan pesantren dengan cara mendirikan Yayasan yang mengelola Pendidikan di Pondok Pesantren Maskumkambang bernama Yayasan Kebangkitan Ummat Islam (YKUI).
Dengan didirikannya yayasan ini maka pemisahan antara aset pondok dan aset pribadi dilakukan dengan jelas sehingga memungkinkan pengelolaan keuangan pondok secara lebih transparan dan akuntabel.
2. Bidang Organisasi
Dalam bidang organisasi, K.H. Nadih Ahjad membentuk institusi-institusi baru yang diperlukan oleh santri, seperti Kopontren, IPPPM, perpustakaan, workshop, UKS, dan Gugus Depan Pramuka. Beliau juga membentuk institusi-institusi yang dibutuhkan masyarakat luas, seperti: Pengajian Takhassus, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Jamaah Maskumambang (JM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), dan DP3M.
Untuk memudahkan pengorganisasian kegiatan agar menjadi efektif dan efisien, beliau mengangkat para staf pemangku pesantren yang terdiri atas staf pemangku pesantren bidang kemadrasahan, bidang nonformal, bidang keuangan, bidang pembangunan, dan lurah pondok.
Adapun tugas para staf pemangku pesantren tersebut adalah:
 Staf Kemadrasahan
Bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai dengan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Maskumambang.
Sebagai penanggung jawab aktivitas pendidikan formal, Staf Kemadrasahan berupaya mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara melakukan standardisasi pendidikan yang selain mengacu pada standar pendidikan nasional, juga mengacu pada kebutuhan ilmu pengetahuan lain yang seiring sebangun dengan kemajuan zaman.
Standardisasi yang telah dilaksanakan meliputi:
 Standardisasi isi/materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh siswa/santri pada setiap jenjang pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren Maskumambang. Untuk pelajaran yang menjadi ciri khas Pondok Pesantren Maskumambang, yakni bidang pemahaman Tauhid yang bersih dari syirik dan pehaman ibadah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, pemangku pesantren telah menyusun buku-buku pelajaran berbahasa Arab yang terdiri atas:
 At-Tibyan fi Ahkamil ‘Amaliyah (pelajaran Fiqih)
 At-Tibyan fil ‘Aqa’id (pelajaran Tauhid)
Di samping dilakukan dengan cara menyusun buku-buku pelajaran berbahasa Arab, upaya yang dilakukan oleh pesantren untuk memperdalam penguasaan Bahasa Arab dan Inggris adalah dengan menyelenggarakan Dauroh Lughowiyah (bahasa Arab) bagi siswa baru Madrasah Aliyah jurusan Keagamaan dan English Training (bahasa Inggris) bagi siswa baru Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah jurusan IPA dan IPS.
Dengan demikian, para siswa akan dengan mudah mengikuti pelajaran di kelas yang memakai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sebagai pengantar pelajaran.
 Standardisasi proses pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan.
 Standardisasi Kompetensi Lulusan sebagai pedoman penilain dalam penentuan kelulusan siswa/santri yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
 Standardisasi pendidik dan tenaga kependidikan sebagai pedoman untuk meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang ada sehingga benar-benar memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sesuai dengan bidang tugasnya. Untuk memenuhi standardisasi tersebut, telah dibentuk Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mulai dari tingkat MI sampai dengan tingkat MA/SMK yang bertugas mengawal serta bertanggungjawab atas kesuksesan siswa meraih prestasi lebih tinggi dari standar ketuntasan belajar minimal, baik untuk ujian nasional maupun untuk ujian Maskumambang (UNMAS).
 Standardisasi sarana dan prasarana dengan tujuan tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi siswa secara optimal guna tercapainya tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Maskumambang.
 Standardisasi pengelolaan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan.
 Standardisasi penilaian pendidikan, meliputi penilain hasil belajar oleh guru mata pelajaran, penilaian hasil belajar oleh lembaga pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Di samping itu, Staf Kemadrasahan bersama Kepala Madrasah/Sekolah dan pihak-pihak terkait juga melakukan kegiatan strategis lainnya, misal:
 menguatkan jaringan silaturahim dan kerja sama antara wali murid dan pihak sekolah/guru untuk mencari solusi terhadap hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pendidikan dan pelatihan;
 melakukan jejaring dengan pemerintah, institusi-institusi swasta, dunia usaha/industri dengan tujuan untuk penempatan/penyaluran lulusan;
 mendirikan forum konsultasi alumni dan bursa kerja khusus (BKK) sebagai media konsultasi studi lanjut, informasi peluang pekerjaan, dan lain-lain.
 Staf Nonformal
Bertanggung jawab atas pembinaan organisasi pelajar (IPRA/IPRI), pembinaan HAPPMAS, dan penyelenggaraan kegiatan di luar lembaga pendidikan formal yang terdiri atas:
 pelatihan komputer dan internet
 pelatihan kader koperasi
 latihan kepemimpinan
 latihan jurnalistik
 Kelompok Ilmiah Remaja (KIR)
 majalah dinding dan buletin
 olahraga prestasi dan bela diri
 latihan berpidato dalam bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Jawa
 keterampilan produktif
 tata boga
 tata busana
 sablon
 teater dalam bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris
 pramuka
 English conversation club
 muhadatsah
 pendalaman agama Islam di luar kurikulum sekolah
Di samping itu, staf nonformal juga bertanggung jawab dalam kegiatan insidentil (kepanitiaan).
 Staf Ketatausahaan
Bertanggungjawab atas kelancaran administrasi keuangan pesantren. Untuk mengatur Komponen dan besarnya biaya operasional lembaga pendidikan selama satu tahun, staf ketatausahaan mengadakan standardisasi pembiayaan.


 Staf Pembangunan
Bertanggung jawab membangun, menginventarisasi dan memelihara semua aset kekayaan pesantren, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, termasuk mempertanggungjawabkan kelancaran/ketertiban administrasi keuangan pembangunan.
 Staf Lurah Pondok
Bertanggung jawab terhadap:
 Ketertiban, kelancaran, dan keamanan serta kemajuan pendidikan/pelatihan dalam pondok, baik yang berupa program madrasah diniyah maupun kegiatan pengajian lainnya.
 Mendampingi santri dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam bentuk perilaku sehari-hari serta membimbing santri dalam memahami bahkan meningkatkan pemahaman dan penalaran pelajaran/materi yang diajarkan di madrasah/sekolah. Sejak tahun 2006, pesantren menyediakan program bimbingan khusus serta asrama khusus bagi mahasiswa STIT atau lainnya yang berasal dari luar daerah.
Dalam melaksanakan tugasnya, lurah pondok dibantu pengurus asrama putra dan pengurus asrama putri.
Untuk memudahkan kinerja para staf, pemangku pesantren juga mengangkat koordinator staf yang bertugas mengkoordinasikan tugas/kewajiban seluruh staf dan melaporkannya kepada pemangku pesantren.
3. Bidang Kurikulum
Pembaruan dalam bidang kurikulum dilakukan dengan cara memadukan antara inti pelajaran pesantren yang meliputi tauhid, fiqih, dan bahasa dengan kurikulum nasional, serta penambahan pelajaran keterampilan hidup (life skill) dan olahraga prestasi.
Dengan demikian maka kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Maskumambang mencakup semua kegiatan dalam berbagai bentuknya yang dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan Pondok Pesantren Maskumambang.
4. Bidang Metode dan Sistem Pendidikan
Pada bidang metode dan sistem pendidikan, K.H. Nadjih Ahjad mulai mengenalkan sistem pendidikan formal berbentuk madrasah, sehingga di samping sistem wetonan, bandongan, dan sorogan sebagaimana lazimnya di pesantren tradisional, di Pondok Pesantren Maskumambang dilaksanakan pula madrasah berjenjang mulai tingkat ibtidaiyah sampai dengan aliyah. Bahkan Pondok Pesantren Maskumambang juga memiliki Sekolah Menengah Kejuruan (STM dan SMEA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT).
5. Bidang Sarana/Prasarana
Pembaharuan dalam bidang sarana/prasarana mendapat perhatian serius pada masa kepemimpinan K.H. Nadjih Ahjad karena ketika beliau mulai memimpin Pondok Pesantren Maskumambang pada tahun 1965, pesantren baru memiliki surau dan beberapa kamar saja.
Padahal, idealnya sebuah lembaga pendidikan harus memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, dan ruang-ruang lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Juga harus memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku, dan sumber belajar lainnya yang juga sangat dibutuhkan dalam menunjang proses pembelajaran.
Saat ini, sarana/prasarana pendidikan yang dibutuhkan sebagian besar telah terpenuhi. Sekalipun demikian, penambahan dan renovasi terus dilakukan sejalan dengan tuntutan zaman.
Sarana penunjang pendidikan yang ada di Pesantren Maskumambang terdiri atas:
 ruang-ruang belajar yang representatif;
 perpustakaan putra, putri, dan perpustakaan kampus;
 laboratorium IPA (biologi, fisika, dan kimia);
 ruang audio-visual dengan media pembelajaran modern, seperti: televisi, VCD, OHP, laptop, dan LCD proyektor;
 computer center yang terdiri atas laboratorium komputer, laboratorium rancancang bangun komputer dan jaringan (LAN), laboratorium multimedia, laboratorium rekayasa perangkat lunak, internet center;
 bengkel vocational skill:
a. bengkel otomotif roda dua
b. bengkel otomotif roda empat
c. bengkel las
d. bengkel bubut
e. bengkel tata boga
f. bengkel tata busana
g. bengkel/laboratorium penjualan (khusus SMK Maskumambang 2/SMEA) yang dilengkapi dengan cash register dan kalkulator print.
 sarana olahraga :
a. lapangan basket
b. lapangan bola voli
c. lapangan futsal
d. meja ping-pong
e. lapangan bulutangkis
 masjid
 aula
 kantin
 asrama putra
 asrama putri

Rabu, 11 Mei 2011

"I Love You" oleh Darwis Tere Liye

"I Love You"

oleh Darwis Tere Liye



Naskah Tajuk Cinta Pro2FM (105 FM); Kamis 12 April 2007, jam 22.00

Satu pemuda dgn mata berbinar-binar, di bawah temaram lampu kota Jakarta, dengan pemandangan jalanan yg super-macet, akan bilang dengan suara bergetar: "Aku cinta padamu!" Sementara di belahan China sana, di lorong-lorong toko yang ramai, kencan di bawah hiasan lampion dan naga-naga merah, asap mie kuah mengepul, serakan bebek peking, mereka akan bilang: "Wo ai ni". Lain pula satu pemuda bavaria, di dekat sisa tembok Berlin yang sekarang jadi hiasan toilet, menggunakan syal Bayern Muenchen, dia akan berbisik mesra ke pasangannya: "Ich liebe dich…" Sedangkan di India sana, dgn sedikit kerling mata, sedikit aca-aca, diiringi banyak tari dan lagu, mereka akan bilang: "Mein Tumse Pyar Karta Hoon", atau "Tane Prem Karoo Choo" bagi dialek Gujarat. Si cewek mengangguk, bukankah dia juga selama ini sudah "Kuch-kuch hota hai" pula? Bukan main….



Ah, di bawah menara Eiffel yg elok, bermandikan cahaya, lihatlah seorang pemuda Perancis, akan mengatakan dengan gagah kalimat: "Je t’aime"… Konon, katanya bahasa Perancis adalah bahasa yg paling indah, jadi bayangkan betapa super-indahnya pernyataan cinta itu ketika dikatakan. Indah di atas indah… Lain kisah teman Jepang kita yang sedang berduaan sambil menatap gunung Fuji yang juga indah, sakura-san akan bilang: "Kimi o ai shiteru". Dan pasangannya akan mengangguk malu-malu. Besok mereka akan bertamasya ke Menara Tokyo yang terkenal itu. "Ana behibek" kata pemuda Arab sambil tersipu ke pasangannya, maka sang gadis akan menjawab, "Ana behibak". Tak kalah tersipunya. Tp, jgn salah kalimatnya. Ada behibak, ada behibek. Huruf a dan e bisa membedakan arti di gurun pasir sana, kalian bisa disangka suka sesama jenis jika salah pakai….



Kakek-nenek kita dulu yang masih mengalami penjajahan Belanda, pasti pernah mendengar meneer dan nyonye Belande saling bilang: "ik hou van jou"… dan lucunya, kakekku dulu juga suka menirunya, cuek bilang: "ekhopanjo, istriku-" Tak masalah separuh2 begitu, tak masalah salah2 lafal, kan bibirnya tetap bibir inlander pribumi. Yang penting nenek mengerti, dan balas bilang "ekhopanjo juga". Beruntung kita tidak dijajah bangsa Hongaria atau Kazakhastan, kan susah banget nulis kalimat cinta mereka: "Szeretlek te’ged", "Men seny jaksy kuremyn"…. puh, apalagi pas bilangnya, tambah syusah, kebanyakan huruf konsonannya… tapi meski susah banget bagi lidah kita, nih kalimat mungkin sudah setengah mati ditunggu seorang gadis yang selalu menatap penuh harap seorang pemuda yang selalu berjalan lambat di gang depan rumahnya di kota Budapest yang eksotis itu… Oh, katakanlah "Szeret-zeret tadi padaku…."



"Mahal kita" kata orang Filipina, "Ya lyublyu tebya" kata orang Rusia, "Tora dust daram" seru orang Persia, "Ti amo" kata orang Italia, dan seterusnya dan seterusnya… Begitu banyak versi kalimat I Love You di belahan dunia. Saking banyaknya, tak terhitung… Karena bahasa-bahasa setempat juga punya versi sendiri. Di Indonesia saja ada lebih 300 bahasa lokal, maka akan ada 300 pula versi kalimat "Aku cinta padamu?" Di Sumedang, Banten sana, Padang, Pulau Enggano, Pelosok Papua, Sulawesi, pedalaman Kalimantan, dan entahlah…



Teman, pernahkah ada yang berpikir bagaimana manusia mengungkapkan "I Love You" pada jaman pra-sejarah? Saat bahasa belum ada? Saat manusia masih ber "a-a-a, u-u-u, a-a-a-a"… masih mengejar2 dan dikejar2 dinosaurus? Kan mereka belum punya kalimat sama sekali, jangankan "I Love You", mau bilang makan saja susah, "a-a-a-a… i-i-i…" Menurut temanku, yang amatiran soal antropologi dan sejarah manusia, katanya mereka menyampaikan rasa cintanya dengan pentungan batu. Benaran. Pakai pentungan batu. Jdut! Sang cowok akan memukul kepala cewek idamannya, terus berteriak-teriak…."i-i-i…u-u-u…" Nah, loh! Celakanya lagi, katanya semakin dalam cintanya, maka semakin keras sang cowok akan menggunakan pentungan batu yang sehari-hari buat melempar gajah purba tersebut. Si cewek mati karena digebuk? Ah, mana ada "kalimat cinta" membuat mati seseorang. Semaput sih iya. Si cewek cuma pingsan dikit, lantas akan siuman, kemudian tentu saja akan membalas memukul tak kalah kerasnya, "i-i-i…u-u-u…." Aku cinta kamu juga. BANGET LOH".



Teman, pernahkah kalian juga berpikir bagaimana pula dengan pasangan yang cacat, kurang beruntung? Pasangan yang buta dan tuli misalnya? Bagaimana mereka akan bilang cinta? Melihat tak bisa, mendengar juga tak bisa… Ah, Tuhan selalu punya skenario hebat untuk urusan ini… Aku pernah terkesima menyaksikan sepasang buta yang naik kendaraan umum. Mereka saling berpegangan tangan sejak memasuki pintu kereta. Mesra nian. Meski umur mereka berbilang lima puluhan. Yang laki dengan gentle membimbing yang wanita menuju kursi memakai tongkat-nya (meski sebenarnya penumpang lain yang membantu mereka menyibak padatnya kereta). Lantas mereka duduk bersisian. Yang wanita lantas meraba2 sakunya, mengambil dua butir permen. Membukakan satu untuk pasangannya, satu untuk dirinya sendiri. Mereka buta, jadi amat menyentuh hati melihat kemesraan dua butir permen Hexos itu. Butuh dua menit untuk membuka dua permen itu… Aku menghela nafas panjang… Bagi mereka, sungguh kecantikan wajah tak ada gunanya, ketampanan pasangan tidak penting… Cara tangan mereka meraba2, menyentuh lengan kekar pasangannya sudah bilang sejuta cinta… Dan aku mendadak jengah! Malu. Ya Tuhan, bandingkan cinta mereka dengan cinta yang kupahami dan kuinginkan… Sungguh mereka mengajarkan makna cinta yang sesungguhnya….



Teman, kita punya banyak cara menyampaikan cinta kita. Punya banyak kalimat. Bahasa. Tapi sadarilah, cara terbaik untuk menyampaikan cinta adalah dengan perlakuan. Dengan perbuatan. Dengan pengorbanan yang tulus. Tidak peduli apakah seseorang itu akan membalas cinta kita atau tidak. Tidak peduli apakah perlu kalimat itu diucapkan atau tidak… Ucapkanlah dengan memberi tanpa mengharap, memberi tanpa mengambil, itulah simbolisasi cinta yang paling indah…



Makanya tak perlu heran jika menemukan sepasang kekasih, berumur 90 tahun. Sudah menikah 70 tahun. Memiliki anak 12, cucu 30, cicit 67. Tinggal sederhana di kaki Gunung Kerinci. Kemarin lusa sang istri tercinta pergi… Dan saat sang suami yang tua menatap sedih butir demi butir tanah dimasukkan menutupi jasad istrinya, meski menangis, dia tersenyum rela… Sadahal sempurna. Dia sempurna tidak pernah bilang "Aku cinta padamu" kepada almarhum istrinya. Tidak pernah selama 70 tahun kebersamaan mereka. Karena kalimat itu selalu kelu saat akan diucapkan. Selalu tersumbat saat akan dikatakan… Tapi almarhum istrinya tahu persis, suaminya amat mencintainya… karena kalimat itu terukir indah bersama hari-hari mereka yang hebat… 25.500 hari… hari2 suka-cita, hari2 pertengkaran, hingga hari2 kepergian…



Depok, 11 April 2007



NB : Nah... naskah ini copas dari fan page bang Tere-liye. diizinkan ko.

nah yang mau gabung di fan page beliau sialakn, klik berikut ya



http://www.facebook.com/notes/darwis-tere-liye/i-love-you/183581145025795